Pantulan Terbalik

11 1 0
                                    

Pukul 11.04 malam. Ketika itu segala bunyi yang bersembunyi siang hari bersimpang siur menyunting malam. Jangkrik-jangkrik yang tak kelihatan berkerik-kerik, bahkan raungan lokomotif pengangkut barang dapat terdengar bukan sayup-sayup.

Ketika itu pula kami, tiga-tiganya, menekuni naiknya malam dengan cara duduk membentuk segitiga di meja bundar. Di tengah-tengah kami berdiri sebotol brandy klasik. Wadahnya usang tapi begitu kami puja dengan mengharapkan banderol selangit. Lama-lama benda ini serupa berhala. Sepertinya masing-masing hati kami menaikkan doa supaya minuman ini lekas terjual sehingga beban hidup ini berkurang.

Tetapi jujur saja, aku mau tahu bagaimana rasa brandy 90 tahunan. Pikiran ini bukan pertama kali terungkap sekarang, melainkan sejak menerima barang itu. Pasti ada rasa dan aroma yang begitu tajam, menusuk rongga hidung sampai menjalar memutari kepala dalam regukan pertama. Aku merasa telingaku bisa berasap dan ketenangan segera datang jika cairan itu kunikmati.

Masih terbuka jalan untuk mewujudkan angan-angan itu. Moris bisa dibujuk karena ia peminum yang baik dan bersemangat. Dan ia pernah menyinggungnya sekali. Sedang Wina, walau tidak begitu fanatik pada alkohol, dia cukup tergila-gila pada kemewahan dan pengalaman langka. Kupikir pengalaman tidak pernah bisa bersanding dengan label harga.

Baik meminumnya atau menjualnya, keduanya adalah pikiran yang datang dari setan. Tidak ada yang perlu dibela, kecuali keinginan sendiri. Sebentar lagi aku akan memulai godaan pada Moris karena ia lebih pendek akalnya dan tentu mudah meledak. Lagipula, aku kan pemegang saham terbanyak pada barang ini.

Moris kemudian, sesudah aku berpikir, menyebutkan jam yang sudah lewat batas dan bertanya, apa selanjutnya.

Kujawab....

Oh tidak, Wina duluan bersuara, “Sudahlah, sabar dulu. Baru lewat lima menit.”

“Maka kita perpanjang deadiline-nya?” aku memastikan.

“Terus apa lagi memang?”

“Paling ujung-ujungya cancel lagi,” kata Moris sambil memandangi botol brandy.

“Tuh kan! Dasar kau sendiri nggak bisa sabar,” tukas Wina.

“Bukan gitu,” aku berlagak menengahi dengan simpanan akal bulus, “Minuman ini sudah hampir dua bulan di tangan kita.”

“Terus?”

“Kita nggak punya tempat penyimpanan sebaik Pak Kris, pemilik sebelumnya.” Aku memastikan Wina masih menanti kelanjutannya, “Kita mesti jual cepat, bahkan kalau malam ini batal.”

“Ke mana lagi kita jual cepat?” jawab Wina, kemudian menoleh pada Moris, “Sama teman kau itu?”

Moris hanya mengangkat dahi. Wina melihatku dan mendapati reaksi serupa.

“Kalau tidak...,” perkataanku pupus begitu saja, keraguan melintas untuk membunyikan maksud yang sebenarnya.

Mereka tidak bereaksi setelah ucapan “kalau tidak” itu, atau barangkali tidak terdengar karena begitu sibuknya dengan pikiran sendiri-sendiri.

“Kalau tidak, mungkin itu sudah jadi takdir kita,” kataku lagi.

Sekali lagi mereka tak menggubris. Lagian, siapa sih yang bisa memahami kalimat bias itu.

Aku berkata sekali lagi, “Aku lama-lama bosan menunggu. Baiknya kita minum saja kalau nggak ada hasil sampai tengah malam.”

Dua pasang mata tiba-tiba saja berpaling padaku dan langsung mendakwa. Untuk selintas kutegasi balik dua tatapan itu, sebab mata menjadi teropong untuk melihat pikiran dan hati.

Dan pada saatnya kulihat Moris cepat-cepat mulai goyah. Mendengus dua kali diikuti pandangan yang kehilangan fokus. Sebentar lagi pasti anak ini bakal membenarkanku.

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang