Persembunyian Terakhir

13 1 0
                                    

Lariku terburu-buru, membabi buta, menerabas ke kamar Fani untuk berlindung. Sampai-sampai menabrak rak arsip, membuatnya bergeser dan terangkat sedikit miring. Bahkan aku nyaris lupa menutup pintu rapat-rapat.

Kamar Fani ibarat bungker persembunyian perang. Dari luar suara-suara menyeramkan masih kedengaran. Lebih sayup. Setan itu mengamuk. Aku harus percaya bahwa tidak akan terjadi apa-apa di kamar Fani. Semoga tidak salah.

Aku harus membenahi rak yang bergeser berikut beberapa benda yang sudah jatuh berantakan. Tanganku buru-buru memberesinya dan pada beberapa saat terakhir aku tidak sengaja menjatuhkan sebuah bola golf hiasan yang sebenarnya aku mau kembalikan di tempatnya. Jatuhnya benda tersebut menimbulkan bunyi hantaman pada granit.

Pada saat itu juga aku tertegun. Bunyinya lain. Kopong. Seharusnya terdengar bunyi yang lebih padat.

Entah bagaimana aku mendapatkan semangat lebih. Aku menggeser rak dan kalau perlu membuat isinya berantakan lagi. Kemudian aku mengetuk-ngetuk granit yang tadi dengan lipatan keras jari tengah. Ternyata benar, granit ini seperti tidak dialasi dengan benar.

Maka aku memungut bola golf lalu membantingnya kuat-kuat tepat mengenai granit. Lantai itu retak seketika. Aku mengulanginya sekali lagi dan sekali lagi sehingga titik itu menganga. Sekarang lebih mudah membongkar sisanya. Ketika aku berhasil mencabut kepingan granit itu aku baru menyadari bahwa kata-kata Sukma tentang kotak misterius bukan omong kosong.

Dadaku berdegup tak teratur menatap benda terlaknat itu. Bukan takjub padanya, tidak juga berpuas diri. Aku membayangkan 98 nyawa yang dipertaruhkan demi perjanjian setan. Mengandaikan diri melihat orang-orang itu menghabiskan sisa waktu hidupnya dengat amat menderita. Sementara di tempat lainnya satu dua oknum sedang bersiap menyambut hari yang ditunggu-tunggu. Dan aku mengingat tiga orang yang telah dipersiapkan menjadi korban terakhir.

Hati-hati aku mengangkat benda itu dari persembunyiannya. Sebuah peti persegi panjang berbahan kayu solid. Jati, hitam warnanya bersolek ukiran halus. Sebentar aku amati ukirannya. Seperti menceritakan ombak lautan. Peti kayu ini punya Mas Haji Satar, diwariskan pada putranya yang ambisius seperti dirinya sendiri.

Kotak azimat ini tidak dikunci atapnya melainkan dikait sejenis dowel dengan warna serupa. Jadi membukanya sangat mudah.

Penglihatanku yang kemudian tidak bertentangan dengan dugaan. Di dalamnya disimpan tiga cawan yang seluruhnya dibuat dari kayu hitam. Masing-masing wadah punya penutupnya. Aku berusaha membukanya namun penutupnya sangat rapat. Sekiranya benda ini dibuat oleh pengrajin kayu hebat. Setelah mengeluarkan banyak keringat juga menahan sabar, sebuah tutup cawan akhirnya berhasil terbuka. Isinya abu. Tidak semuanya halus. Entah ini abu pembakaran siapa. Tidak ada catatan. Mungkin Haji Mufid cukup mengingat letak penempatan cawan-cawan ini. Aku cepat berpaling pada wadah yang lain, mengeluarkan tenaga sama banyaknya untuk membuka. Yang kedua juga isinya abu. Kemudian pada yang terakhir aku baru mendapati isi yang berlainan. Yang aneh, darahnya kelihatan masih segar. Bukankah waktu, kelembaban, dan cuaca seharusnya mengubah fisiknya. Tak habis pikir, sesungguhnya memang tidak perlu dipikir, sebab sedang berurusan dengan perkara di luar akal pikiran. Namun keheranan ini belum berhenti. Cawan yang terakhir mengaromakan wangi gaharu. Apa mungkin ada tekniknya atau bagaimana, entahlah.

Ketiga cawan itu aku tutup serapat mungkin, lalu mengembalikannya menurut susunan semula. Aku tetap harus memikirkan siasat mengakhiri petaka malam ini. Namun pada saat itu terdengar pagar rumah dibuka. Seseorang sedang menuju ke dalam! Bersamaan dengannya aku baru menyadari suara-suara menyeramkan dari luar kamar lenyap sudah. Amukan Sukma telah berhenti.

Menunggu beberapa saat sambil mencari cara, hingga mendapat akal, lebih tepatnya siasat; aku akan lebih dulu bersembunyi sementara waktu.

Derap kaki menapaki tangga di luar yang asalnya dari area bawah tanah. Dari bunyinya aku pikir hanya seorang di luar. Lantas aku menguping suara bocah berceloteh. Langkah itu mendekat lagi, aku mendengar bunyi gagang pintu yang menghubungkan ruang utama.

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang