Berburu Kost

15 1 0
                                    

Setelah berulang kali tertunda, baru sekarang bisa mengajak Wina mencari tempat tinggal baru. Kulakukan itu usai memastikan tugas makalah teman Wina beres. Kami berangkat pukul 11 jelang siang, tetapi sudah berpanas-panas disengat matahari yang pongah.

"Ke mana kita?" bertanya Wina dalam nada senang.

Kuhiraukan dia, aku sendiri tidak yakin ke mana baiknya. Hanya belakangan kuingat beberapa referensi dari teman-temanku. Meski kala itu dicegah Siska, lebih baik tentu mengujinya langsung.

Bagaimana metode ujinya? Nah, ini yang masalah. Baik aku juga Wina hanya memiliki lima indera. Haruskah aku memanggil seorang lagi untuk menaksir-naksir energi astral di rumah yang bakal didatangi? Jangan bercanda, itu lucu dan terkesan terbelakang. Namun bagaimanapun perlu ada pisau uji agar tidak terjebak keadaan sulit yang baru.

Lalu kutanyakan pada Wina, dan dia menjawab dari belakang, "Kita tanya saja sama penghuni di situ, juga orang-orang di sekitar."

"Orang-orang di sekitar?"

"Ya, bisa penjaga warung asongan, tukang ojek."

"Begitu saja cukup? Kalau mereka bilang aman berarti aman?"

"Gimana lagi? Paling nggak kalau kita bisa tanyakan empat dari 20 penghuni, itu cukup akurat."

Dari dalam helm aku terkekeh. Dia pikir menguji kos berhantu atau tidak sama halnya survey politik. Konyol, sungguh lucu, lebih konyol lagi aku menerima usul tersebut karena tidak punya pengganti yang lebih baik.

Alhasil kami memulainya dengan sebuah rumah indekos di Jalan Siaga Raya. Bangunannya menjorok ke dalam, dipisahkan lorong sepanjang kira-kira 50 meter yang cukup dilewati mobil.

Penjaga rumah ini menyambut kedatangan kami dengan cekatan, seperti orang yang kerjanya memang menunggu tamu. Wina membuka, menanyakan langsung ke intinya.

"Tinggal satu yang kosong," ujar laki-laki penjaga itu.

Aku melihat-lihat kamar tersebut, di pojok letaknya. Bangunan ini model era 80-an, terawat cukup baik dan, tentu saja terkesan lama. Halamannya cukup lapang dan kata si penjaga, banyak anak kuliahan.

Wina menanyakan informasi lebih lengkap dan turut kudengar. Harga sewa Rp 650 ribu per bulan, fasilitas dapur umur, akses pagar 24 jam. Menurutku masih masuk akal, walau ukuran kamar dan fasilitasnya kalah jauh jika diukur dengan yang sekarang ditinggali Wina.

Dua kamar di kiri kamar kosong itu terbuka. Sekitar delapan orang atau mungkin lebih ada di dalam sebuah kamar, bermalas-malasan, ada yang bermain catur, domino, ada pula yang menirukan lagu keras-keras. Terlihat mereka laki dan perempuan campur, masih muda-muda, dan cuek terhadap apa pun.

Berjalan aku mengamati kamar-kamar berbanjar itu. Selebihnya tertutup, tetapi kulihat sebuah pintu di ujung yang berlawanan terbuka setengah. Seorang pria muda muncul dari dalam, menenteng handuk, ia membuat isyarat menyapa dan langsung berbalas.

"Cari kos, Mas?"

Aku mengangguk, "Adem juga di sini ya."

Ia tersenyum, berkata mengulang apa yang dibilang penjaga. Aku menghargai usahanya membantu orang lain. Kemudian dia mengimbuhi, "Tapi sebaiknya jangan di sana."

Suaranya padat dan lebih berat saat mengatakan kalimat terakhir, sehingga membuat keningku agak berlipat. Mungkin ini penting, jadi kutanyakan, "Kenapa?"

"Atapnya bocor, Mas!" ia menggerak-gerakkan telunjuknya ke tembok atas di kanannya, "kalau hujan pasti merembes."

Nafasku berhembus lancar seketika, "Gue kira apa."

Tetapi agaknya ia menangkap keanehan dari ucapanku, bertanya sambil tertawa tipis, "Memangnya ada apa, Mas?"

"Ehhm, ya, gitulah, namanya juga cari tempat baru."

"Hantu maksudnya?"

Aku tak menjawab pasti, namun ia memanjangkan dengan penjelasan sendiri, "Katanya iya, tapi puji Tuhan gue enggak pernah diganggu."

Saat selesai bicara, dia memegang rosario di bawah lehernya. Tentulah lelaki ini percaya pada gaib, tetapi lebih yakin pada kebesaran Yang Maha Kuasa.

"Buat bokin gue sih, soalnya kos yang sekarang super angker."

Mendadak saja wajahnya agak kaget, mungkin terkejut. Ia menanyakan di mana tempatnya yang sekarang dan beberapa hal lain, lalu kujawab sebisanya.

"Coba Mas tanya ke kamar yang kebuka itu, dengar-dengar ada yang pernah diganggu," ujarnya.

"Penghuninya yang mana?"

"Mereka semua ngekos di sini."

Oh begitu rupanya, pikirku. Baiklah, daripada berlama-lama segera aku pamit diri saja.

Kembali ke dua kamar tadi, waktu seolah tidak bergerak. Kegiatan di salah satu kamar masih bertahan pada kartu domino, papan catur, dan musik death metal. Aku merapat ke kamar yang bersebelahan dengan kamar kosong, mengucap permisi beberapa kali. Bahkan mereka mengacuhkanku sama sekali.
Ketika kesabaran nyaris lari meninggalkanku, barulah seorang pemain gaple menyahut. Tetapi ia memanggil temannya untuk menerimaku. Seorang wanita kemudian beranjak dari kasur, kakinya padi dan mengenakan celana yang hampir menonjolkan bokongnya.

Sementara Wina masih berbicara dengan si penjaga kos. Aku diperbolehkan masuk, namun kutepis ajakan itu.

"Ada apa, Mas?"

Kuceritakan maksudku dengan cepat. Persetanlah jika ia menganggapku berlebihan.

Rupanya sebaliknya, wanita muda itu cukup sabar mendengarkanku. Begitu aku selesai, ia langsung berkata, "Aku sering dengar suara asing di sekitar kamar ini, tapi nggak pernah melihat langsung."

Aku tak menanggapi ucapannya, berharap ia mengatakan lebih rinci. Lalu ia menjawil seorang temannya yang khusyuk mengamati kartu domino, berbisik-bisik sebentar, lantas teman wanita itu yang juga wanita berucap,

"Benar, Mas! Beberapa kali gue lihat...," dia menyela untuk bersumpah tidak ada kebohongan, "Wujudnya cowok, hitam besar, genderuwo!"

"Gargantuar," seorang teman prianya mengoreksi.

"Genderuwo, bloon!"

"Lha, mau gue gargantuar emang kenapa?"

"Ih, bahasa itu kesepakatan!" cerocos wanita muda tadi yang kakinya empat kali lebih besar dari gadis berkaki padi.

"Hukum kali sepakat."

"Bahasa juga!"

"Oke kalau gitu," ujar si penggagas nama baru. Lantas ia menggelar voting untuk memutuskan perkara tersebut. Tujuh orang sepakat menamainya gargantuar, hanya perempuan berkaki lebar yang berlawanan. Maka di area yang terbatas ini makhluk halus itu telah berganti nama. Mau tidak mau aku juga sebaiknya patuh.

"Kalau gitu apa nama untuk tuyul?" tanyaku dengan lebih dulu menebak jawabannya.

"Im!" seru pria yang sama. Aku setuju saja daripada ia harus mengadakan pemungutan suara lagi.

Omong-omong, sejak tadi aku melihat beberapa benda yang identik dengan kampusku. Kutanyakan hal itu pada mereka, rupanya hampir seluruhnya mahasiswa fakultas hukum semester 2. Saat aku memperkenalkan diri, suasana tiba-tiba berubah. Anak-anak ini menjadi sopan dan bertutur kata halus. Mereka meninggalkan permainan dan mengecilkan musik, berbaris seperti menunggu perintah. Ah, budaya macam apa ini, tentangku. Namun demikianlah yang tumbuh dan dirawat, bahwa mahasiswa baru wajib merendahkan diri di hadapan mahasiswa senior. Maka kupikir lebih baik meninggalkan mereka supaya tidak merusak semuanya.

Dalam beberapa saat saja kami telah meninggalkan rumah kos tersebut. Pencarian berlanjut masih di seputar kawasan Siaga. Sayangnya hingga hampir petang, kami baru menyadari hari ini belumlah beruntung. Rumah kos yang kami datangi sepenuhnya isi, atau tidak ada yang membukakan pagar.

Pilihan terakhir adalah pulang dan melanjutkan pencarian esok atau kalau ada waktu, sebab Wina punya jadwal kelas hari ini. Wajah Wina yang tadinya sumringah dengan sendirinya berubah murung. Mau bagaimana lagi, kataku dalam hati.

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang