Kandas

11 2 0
                                    

Kepergian mereka menjadi waktuku untuk keluar dari tempat sembunyi. Mencari-cari beberapa benda yang mungkin berguna. Sebuah tongkat pemukul kasti sudah cukup untuk melumpuhkan Haji Mufid untuk sementara waktu. Ada risiko fatal, tetapi benda itu aku cabut juga dari sebuah keranjang. Aku juga mendapatkan benda yang lain. Semoga saja berguna.

Pada saat itu aku menyadari betapa ceroboh diri ini. Ponselku masih di meja rias Fani mengisi daya. Mestinya dia melihat waktu bercermin sehabis mandi. Bagaimana pun aku bersyukur tidak tertangkap mentah-mentah sebagai penyusup.

Aku menuju pintu, tujuannya mengintip sampai di mana orang-orang itu. Betapa herannya aku ketika melihat Haji Mufid sedang berdiri di depan kamar Wina. Dia memegangi gagang pintu yang sedikit terbuka. Wajahnya kelihatan tersenyum, beberapa kali mulutnya mengumak-umik seperti sedang bicara. Apa jangan-jangan ritual itu bakal dilangsungkan di kamar Wina. Aku kembali dituntut berpikir. Mungkin saja iya. Aku mendapat informasi tempat ritus itu dari Azazil alias Sukma, sedangkan ia sendiri penipu ulung sedunia seakhirat.

Haji Mufid bergeser dari tempatnya berdiri. Beberapa langkah saja. Berhenti di depan lukisan. Menyandarkan tongkatnya kemudian menurunkan bingkai. Lukisan itu hanya ia pandang-pandangi. Tidak jelas maksudnya, mungkin cuma ingin memuji karya sendiri. Kurang ajar bajingan tua itu! Aku lebih jengkel lagi mengetahui berdirinya masih lumayan tegak. Berarti tongkat itu hanyalah pemanis rasa.

Dia kembali ke kamar dengan tongkat, hanya sampai sebatas pintu. Tersenyum sekali lagi pada pedalaman kamar. Senyum ingin pamit. Tubuhnya lalu menyamping, berjalan dengan tenang. Tongkatnya mengeluarkan bunyi cengkrang cengkring. Begitu menjengkelkan. Aku hendak masuk lagi untuk bersembunyi. Tetapi sebelum itu mataku menangkap sebuah kertas stiker di atas kasur. Kubaca tulisan itu, “Sebenarnya aku nggak percaya pada orang yang datang ini. Bahkan dari dulu nggak percaya. Tapi biarlah, sudah terlanjur. Aku benci kamu malam ini. Kamu masuk kamar tanpa izin. Kamu penyusup dan pengintip! Nggak sopan! Maksudku, dasar kriminal!”

Rupanya Fani mengetahui aku ada di kamarnya. Bagaimana caranya? Pasti ponsel, kan? Aku masih sempat-sempatnya mencari tahu. Dan petunjuk datang dengan cepat. Perempuan itu rupanya menaruh cermin sepatu di bawah jendela dekat pintu. Benar-benar!

Bunyi tongkat Haji Mufid semakin dekat. Aku sudah kembali bersembunyi sambil berharap Haji Mufid tidak mengetahui keberadaanku seperti Fani.

Haji biadab itu niscaya datang. Waktu akan mengantarnya ke sini. Telapak tangan sedikit-dikit sudah berkeringat. Aku harus mengatur pikiran dan nafas supaya tidak berlebihan.

Dan dia akhirnya masuk juga. Langkahnya tenang tapi bunyi tongkatnya masih saja mengonari malam. Aku mendengar suara mendehem tiga kali. Barangkali empat, sebab deheman yang terakhir tak terlalu jelas. Apa yang dia perbuat sementara ini tidak pasti. Mataku belum ingin mengintip.

“Masih ada orang lain rupanya di rumah ini.” Haji Mufid menggumam pelan tetapi dengan begitu saja sudah langsung membuat jantungku turun naik. “Ini bukan rokok yang dihisap wanita itu tadi.”

Ya Tuhan! Rokokku pasti terjatuh dan ada di lantai. Bagaimana ini kalau sampai fatal akibatnya! Aku mengecam diri sendiri karena terlampau ceroboh. Selain itu aku akhirnya sedikit percaya bahwa merokok dapat membahayakan nyawa.

“Dan ini tas siapa? Kenapa ndak disimpan di tempat yang benar?”

Tas? Apa maksudnya dia bicara tas? Aku sudah menyembunyikan ransel di bawah kasur. Agak ke dalam. Juga sudah menggeser cermin sepatu. Kenapa dia bicara tas?

“Anakku juga dulu suka menaruh tas di bawah kasurnya. Aku larang kalau ketahuan. Sebab seperti ini, talinya bisa saja membuat orang terpeleset.”

Lagi-lagi aku hanya bisa mengecam diri seorang, pasrah seraya berharap selamat. Duh Gusti! Jauhkan aku dari pandangannya. Kalau bisa azab saja orang ini sekarang. Demikian doaku, tetapi sepertinya sulit terkabul.

“Ooo…tasnya seperti penuh dan berat. Apa benar wanita itu kuat menggendong seberat ini?”

Mau apa sih si brengsek itu?! umpatku dalam hati. Dan aku segera mengetahui maunya. Aku mendengar tubuhnya menumpu lantai. Disusul bunyi tongkat direbahkan…dan kain seprai disibak….dan dia berseru:

“Keluar kamu dari tempat sembunyi! Saya tahu kamu ada di bawah ranjang!”

Aku hampir saja menghembuskan nafas sekencang-kencangnya. Berdebar. Haji Mufid menengok bawah kasur. Masih beruntung karena tadi aku pindah bersembunyi di balik piano. Namun aku sungguh berharap dia tidak menggeledah tas ransel itu.

Orang itu tertawa sendiri jadinya. Lalu kembali berdiri. Berjalan lebih ke dalam dengan tongkatnya yang berisik sambil menggumam cerewet, “Namanya sudah tua, jadi gampang curiga. Hwahahahaha.”

“Tapi sebentara lagi saya bisa hidup kekal. Hwahahahaha. Dan kaya raya! Hwahahahaha.”

“Benar-benar jelek nasib orang-orang ini. Mati kok disantet! Buat apa hidup? Hwahahahaha.”

“Tapi saya ndak peduli! Hwahahahaha.”

Kedengaran kamar mandi dibuka pintunya. Lalu pintu lemari, gordyn, dan lain-lain.

“Ooo, piano itu masih ada! Saya juga masih suka main piano.” Kalimatnya yang terakhir seperti mengabarkan kematianku. Langkah Haji Mufid mendekat hingga semakin dekat lagi.

“Nanti piano ini akan terbengkalai. Pemiliknya sebentar lagi ndak akan bisa main-main sama nadanya.”

“Aku sudah pernah bilang pada Winarto, jangan pernah hidup di tanah Jawa. Pergilah. Di sini suram buatmu! Salah sendiri ndak percaya, cuma cengangas cengenges. Tapi saya pun sudah tahu kalau dia ndak bakal percaya.”

“Banyak orang menginginkan kekuatan itu. Kalau bukan saya, pasti ada orang lain.”

“Saya hanya mengerjakan cita-cita bapak. Beliau pasti sangat dongkol dari alamnya sana.”

Langkah Haji Mufid tiba-tiba berputar. Aku bersyukur lagi dengan syukur yang paling dalam. Kedengarannya sekarang berada dekat rak arsip. Kayunya mendecit halus. Orang tua itu menarik nafas dan menghembusnya beberapa kali. Tenaganya tentu sudah terbatas untuk bisa menggesernya sekali gerakan. Dia memulainya lagi setelah membuang tongkatnya. Percobaan kedua belum menghasilkan. Sekali lagi dia mencoba, kemudian lagi, nafasnya kian berkobar kian payah. Gilanya dia tidak menyerah. Dan ketika Haji Mufid mencoba lagi ia memperoleh hasilnya.

“Bajingan, alot benar digeser! Padahal tukang saya sendiri yang bikin lemari ini. Mestinya saya pecat dari dulu tukang itu!”

Aku lumayan puas mengerjainya. Rak itu tadi aku geser lebih ke tengah saat Fani berupaya masuk.

Aku menunggu saat-saat berikutnya.

“Hoooo…ladalaaa! Ke mana pusaka itu!!”

Haji Mufid yang setua itu merengek sepantasnya anak kecil. Aku mengintip, tubuh itu membungkuk, meratapi tempat simpanannya yang sudah dirusak. Dia menangis tanpa ragu, membuktikan bahwa menangis dapat dikerjakan siapa saja termasuk orang jahat. Dia merongrong minta benda itu kembali ke tangannya. Lalu aku mendekatinya senyap-senyap, menjawab rongrongan Haji Mufid melalui satu hantaman terukur di atas leher belakang.

Aku tidak berani menggunakan tongkat kasti. Hanya telapak tangan. Syukur dengan cara ini dia langsung rebah tanpa sadar lagi. Aku buru-buru mengerjai orang tua itu dengan lakban. Dari mulut sampai kaki. Kemudian menyembunyikannya di bawah kasur.

Semoga dia masih hidup nanti.

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang