Terperangkap

12 1 0
                                    

Ketakutan mendorongku cepat-cepat melarikan diri. Ada sedikit kekuatan dalam kesulitan. Upayaku berhasil. Berdiri, menggapai gagang pintu untuk kemudian berlari bagai larinya babi hutan. Sambil melibasi anak tangga kupanggil-panggil Pak Wi.

Pak Wi tak menyahut. Yang lebih pasti, ia tidak berada di atas kasur. Hanya televisi yang menyala. Aku yang masih disergap panik mencarinya di dapur. Kosong ruangan itu.

Sesudah itu baru terpikir meninggalkan rumah ini. Memang ini langkah yang paling masuk akal. Maka aku langsung bergegas ke pintu. Sialan, pintu menuju ke luar juga dikunci.

Ada kunci serep yang kuduplikasi beberapa hari lalu tapi kutaruh di atas. Mau tidak mau harus kembali agar bisa melepaskan diri.

Kuatur nafas lebih dulu hingga lebih stabil. Takkan ada apa-apa yang mengganggu lagi, gumamku untuk menyuntikkan nyali, walau sekujur badan masih merinding.

Aku membuka pintu kamar Wina, tetapi dihentikan oleh karena bunyi pintu dibuka dari kamar yang lain. Kamar pojok itu. Rasa penasaran berbisik untuk mencaritahu siapa pembuka kamar tersebut.

Pak Wi muncul dari dalam. Aku tak ingin percaya pada apa yang terlihat. Andaikata boleh menentukan, penampakan Sukma masih lebih baik. Sekali lagi kuharap penglihatan ini meleset.

“Alvin, Mas Alvin, kenapa begitu melihat saya,” suara itu agak serak, setengah berbisik.

Pak Wi mendekat. Pakaian yang menghiasinya tak lain beskap putih dan kain batik. Seluruhnya sama persis dengan gambar tembus pandang yang diputar dalam cermin.

Mataku membelalak ketika Pak Wi semakin mendekat. Ia kembali memanggil.

“Ada apa, Alvin? Apa yang kamu lihat?” Pak Wi mencangkup lenganku. Caranya yang demikian membuat kesadaran tersentak.

“Sedang apa Pak Wi di dalam sana tadi?”

Tanpa menurunkan tangannya ia senyum lalu menjawab dengan tenang,

“Saya harus meruwat lagi kamar itu. Karena Fani sudah bikin gaduh.”

Keadaan berangsur normal dan aku jadi tak nyaman dengan tangan Pak Wi. Maka aku saja yang menurunkan. Untungnya ia tak melawan.

“Tadi saya dengar kamu berisik sekali itu. Panggil-panggil nama saya, ada apa?”

Pertanyaannya membikin aku menelan ludah.

“Pak Wi…, saya melihat apa yang bapak lakukan di kamar itu.”

Penjaga rumah itu terkekeh, tandanya tidak percaya. Ia berkata-kata lagi,

“Kamu bisa melihat apa saja di rumah ini. Tapi… penglihatanmu, pendengaran bahkan perasaan kamu bukan yang berkuasa atas kebenaran."

“Sukma sejak awal mengincar siapa saja. Kamu tahu bagaimana cara menjerat ular? Pasang perangkap sedekat mungkin, tapi kamu ndak akan tahu ular mana yang akan masuk jebakan.”

Itu kata-kata Azazil! Sungguh mustahil Pak mengucapkan kalimat yang sama.

Pak Wi tak peduli aku gemetar dalam arti yang sebenar-benarnya. Sorot matanya runcing, dan ia belum akan mengakhiri perkataannya.

“Tanpa disadari kamu memasuki perangkapnya. Keinginannya sudah lebih mudah. Sukma tinggal menjemput kamu sesuai kapan yang dia tentukan. Ia semakin dekat dan tambah dekat lagi setiap waktu.”

“Saya tahu kamu ndak bakal mengerti. Tapi ini sudah jadi tanggung jawab saya. Saya akan minta petunjuk untuk menghadapi Sukma.”

“Pacarmu seharusnya ndak pernah tinggal di sini. Saya sudah beri kesempatan untuk pikir-pikir.”

“Kali ini tolong dengarkan pesan saya,” suara Pak Wi lebih menekan, “Jangan percaya pada penglihatan atau pendengaran atau prasangkamu. Biarkan saya yang bereskan ini. Saya akan minta petunjuk lebih dulu.”

Aku langsung mengangguk penuh keraguan dan Ia pergi setelah mengucapkan pesannya. Nafasku lega bukan main-main. Aku bersumpah dalam hati bahwa aku akan mengingkari kata-katanya. Azazil mungkin benar, Pak Wi merencanakan sesuatu demi keuntungannya sendiri.

Namun juga tidak benar jika selalu menafikan perkataan Pak Wi, karena mungkin pula ada kebenaran pada sebagian sedikit ucapannya.

Segera aku mengambil kunci di kamar Wina. Aku turun lagi dengan membawa sebotol air pemberian Pak Wi. Air yang diberi judul air zam zam. Siapa mudah percaya! Maka aku mengembalikannya pada Pak Wi. Dia berlagak heran.

“Saya juga nggak suka, rasanya aneh,” ujarku meniru alasannya.

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang