Anjing Menggonggong

14 1 0
                                    


Malam itu aku tidak benar-benar pulang. Pagar sudah digembok dan semua pintu kamar di rumah ini telah tertutup rapat. Dengan terpaksa aku memanjat pagar, menginapkan motor lalu memikirkan tempat bermalam.

Berjalan dalam keremangan malam terus terang lebih nyaman meskipun seorang diri. Bunyi knalpot dan lampu mercury bisa menjadi teman yang baik. Melewati sebuah toko bangunan, aku dibuat kaget oleh gonggongan seekor anjing penjaga. Mereka bertiga, namun seekor saja yang keberatan dengan kehadiranku. Seekor itu merangsek seperti anjing pelacak, bahkan hendak melolosi pagar.

Kawanan anjing itu bukan pertama kali kulihat. Biasanya mereka semua tenang. Mungkin malam ini aku lebih mirip penjarah di mata yang seekor itu.

Beruntung pagar toko bangunan ini agak tinggi. Aku menghentikan langkah beberapa saat untuk menyulut kretek. Pemilik gonggongan yang baru saja perawakannya agak mirip German Shepherd, berjuang melompati pagar. Menurut perhitunganku yang didasari rasa takut, dalam beberapa kali percobaan ia akan berhasil. Petaka jika itu sampai terjadi, maka kupercepat langkah untuk menjauhkan diri dari nasib buruk.

Sampailah langkahku di depan kampus. Bangunan yang belum sepenuhnya sepi, walau hampir tengah malam. Masih terlihat beberapa mahasiswa keluar masuk, tentunya bukan urusan belajar.

Sederet nomor kuhubungi, milik seorang teman yang kamarnya akan kurepoti malam ini. Ia menjawab, mengatakan sedang berada di luar.

"Satu jam lagi pulang, Vin."

"Siap!" kataku ringkas.

Sambil menunggu lebih baik makan atau sekadar minum. Ada satu kedai tenda tak jauh dari tempatku berdiri. Aku berjalan ke arah Vila Pejaten Mas, sebuah perumahan yang sudah jarang penghuninya. Tepat di sisi kanan jalur masuk aku berhenti, masuk ke kedai yang kumaksud.

Pak Cung, pemilik usaha ini sedang menyiapkan pesanan. Orangnya ramah, punya humor, dan suka menyetel dangdut keras-keras. Terkadang ia membawa speaker aktif saat berjualan. Dan orang-orang kerap dibuat bingung, sebab ia berjualan ayam goreng dengan lagak penjual kaset. Namun mungkin dengan cara itu usahanya tidak pernah sepi pembeli.

Kenyataan lain, pendengaran Pak Cung sedikit terganggu. Jadi setiap pembeli harus bersuara lebih pekak dari bunyi musik. Kecuali aku, aku lebih suka mendekat dan mengatakan pesanan di dekat kupingnya.

"Ya, goreng, tapi tinggal dada. Sambalnya lagi pedas banget ini! tunggu ya!"

Begitulah caranya, Pak Cung jarang memberi kesempatan pembeli untuk memilih selera. Kalau dia membuat pedas, pelanggan makan pedas. Sekali waktu dia menyambal terasi, lain kali sambal jeruk nipis, tidak ada yang tentu.

Aku duduk bersila di antara pembeli yang lebih dulu tiba. Di depanku ada dua orang pria dan wanita, seperti berpasangan. Yang pria berkulit cokelat mengkilap seolah berasal dari dari pesisir. Sedangkan wanitanya bermata sipit, kulitnya langsat. Berdua pengunjung itu sama-sama ramah, tersenyum sekilas begitu aku duduk.

Dua orang di depanku mendapat pesanannya lebih awal. Mataku berkeliling ke jalan raya, ke warung tenda lain yang tengah membenahi gerobaknya. Kemudian pandangan berhenti pada dua ekor anjing domestik di dekat pos jaga. Tampaknya mereka bukan baru saja mengawasi kehadiranku. Matanya awas dalam posisi kaki siaga.

Cukup waktu menunggu, Pak Cung akhirnya membawakan makanan berikut segelas air hangat. Sambal dalam lambar merah menyala pertanda pedas. Kebetulan aku membutuhkan sensasi panas di lidah malam ini. Rahangku belum apa-apa sudah mengembang. Hap! Suapan pertama langsung membuat otot wajahku berdenyut cepat.

Anjing yang dua ekor itu rupanya bergelagat mengganggu makan malamku. Tiba-tiba saja mereka sudah ada di sisi luar tenda, menggonggong tidak karuan.

Semua orang menengok, tapi aku kira mereka hanya menuntut padaku. Badannya cukup besar, setengah potong ayam tentunya tidak akan bermanfaat buat dua ekor ini.

"Nggak usah dikasih, Mas, baru aja saya kasih makan," kata Pak Cung sambil mendekat untuk mengusir dua anjing tanpa tuan itu.

Sial! anjing-anjing ini tidak kapok menghampiriku. Gonggongannya tidak pula redam. Dengan hati terpaksa setengah potong ayam terlempar. Wanita sipit di depanku melakukan hal sama dengan tulang-tulang sisa santapannya.

Akan tetapi kedua mamalia bertaring ini tak bernafsu sedikit pun pada daging dan tulang ayam. Mereka mungkin lebih berminat melumat dagingku.

Kuperhatikan wanita itu sibuk membongkar tas cangklong miliknya, juga milik teman atau pacarnya. Mereka berdiskusi tentang sesuatu yang tidak bisa kudengar. Tetapi telunjuknya menuding-nuding anjing yang terus menggonggong.

Semua orang terkesan heran. Sedangkan Pak Cung tidak terlihat di tempatnya, barangkali sedang membeli sesuatu.
"Ada apa, Kak?" tanyaku pada wanita kuning langsat. Jujur saja aku penasaran.

Diam-diam aku pindah ke meja yang lebih jauh. Dan anjing itu tetap mengincar diriku seorang. Ia hanya menggonggong tanpa mendekat, namun matanya menyiratkan tidak suka.

"Nyari hio, Mas," jawab wanita itu dalam aksen Jawa.

"Hio?"

"Iya, hio, aku tadi baru sembahyang, mungkin masih ada hio di dalam tas," tangannya tidak berhenti menggeledah tas, "tapi kok ndak ada tho."

"Buat apa hio, Kak?"

"Dalam kepercayaan kami, hio bisa memanggil arwah. Takutnya karena aku anjing itu jadi begini."

"Anjing bisa mengendus arwah atau setan?" aku percaya, tapi perlu bertanya sebagai bahan pembicaraan.

"Betul, mereka juga bisa melihat."

"Semua hio?"

"Anggap saja semua hio yang sudah dibakar," katanya memperjelas.

Setahuku itu cuma mujarab di tempat angker.

“Mungkin di sekitar sini ada penghuninya,” ia menyambung lagi.

"Tetapi kakak enggak membakar hio di sini?"

Entah pertanyaanku tepat atau tidak. Ia kelihatannya berpikir. Aku memastikan yang penting, anjing itu hanya menyalak padaku, bukan pada yang lain-lain.

"Kalau begitu Masnya diikuti."

Kata-katanya yang terakhir makjleb! Dia tidak bisa seenaknya bilang begitu.

"Diikuti siapa?"

"Ya semacam itu, Mas."

"Jin, hantu, maksudnya?"

Wanita itu mengangguk. Aku tertawa untuk berpura-pura berani. Namun tertawaku lambat laun lirih, menyadari kepura-puraanku telah berubah menjadi kecemasan.

"Mas juga percaya yang begitu, kan?"

Kuhiraukan pertanyaannya, sayangnya dia tak mengharapkan jawaban.

"Aku kenal orang yang bisa mengobati. Beliau seorang haji," ia merobek kertas dan mencatat sesuatu.

"Hubungi saja kapan butuhnya, orangnya ramah," ia berdiri sambil memberikan nomor telepon.

"Pak Mufid," aku menggumam.

Pak Cung kembali ke warungnya, turun dari sepeda. Tak lama wanita itu pergi, diikuti pembeli yang lain susul menyusul. Aku ikut membayar pesanan dan berjalan ke tempat tinggal temanku. Lebih baik menunggunya di tempat lain, demikian anggapanku.

Dua anjing kampung itu masih menggonggong dari tempatnya saat aku telah menjauh ratusan langkah.

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang