Mediasi

15 0 0
                                    

Oke, sekarang bukan waktunya lagi berpikir lain-lain. Lari! Lari! Lari! Bisikku berulang-ulang. Kugapai gagang pintu untuk menuruti saranku seorang. Entah bagaimana pintu kamar yang biasanya mudah dibuka jadi sangat berat. Sesuatu menahannya dengan cara yang mustahil, hingga akhirnya aku yakin, usaha membuka pintu sia-sia bakalnya.

Kulepas genggamanku dari gagang pintu tersebut. Basah rupanya tuas itu dari keringat di telapak tanganku.

"Anda....Anda siapa?" suara itu betul-betul payah. Sungguh, barusan aku yang bertanya sendiri. Apa lagi yang bisa kulakukan?

Tidak ada jawaban, mestinya juga begitu, kecuali dorongan dari dalam hatiku membuat aku berkata lagi.

Maka kuberkata dengan bibir bergetar, "Biarkan aku keluar dari kamar ini."

Setelah kalimatku habis, yang ada cuma keheningan. Penglihatanku merambat ke seluruh sisi, kemudian menjauh hingga ke timur rumah ini. Dedahanan pisang bergoyang dibaluti gelap.

Sekali lagi kuperiksa pintu, kalau saja ia sudah bisa terbuka. Dan sama saja, dua kali usaha hasilnya percuma.

Aku memajukan diri beberapa langkah. Berkata sekali lagi, "Apa yang Anda inginkan dari kehadiranku?"

Sebenar-benarnya aku tidak lagi yakin mendapat jawaban. Namun terdengar bunyi kerincing dari arah pintu. Aku membalik badan, melihat nyata-nyata bandul gantungan kunci tersebut bergerak-gerak, lalu berbunyi...ceklak!

Sialan! Sejak tadi pintu kamar terkunci! Hanya takut yang merajalela yang membikin aku kerepotan membuka pintu. Bahkan sesuatu yang tidak tampak itu yang kini menyilakan aku keluar.

Bahkan...

Tiba-tiba pintu kayu itu terbuka dengan cara dihempas kasar. Bola mataku rasanya hampir meloncat lantaran begitu kaget.

"Jangan beraninya sembunyi dan bikin kaget!" seruku masih dengan gemetar, kesal bercampur merinding. "Coba tampakkan wujud Anda!"

Hening lagi seperti sebelumnya. Kupikir sekarang waktunya melarikan diri. Jadi aku segera memacu langkah ke luar.

Namun di muka pintu terdengar bunyi binder kembali terbanting, dan seperti dilempar menyeret lantai. Apakah ia menulis sesuatu lagi?

Ragu-ragu menonjol lebih besar, tapi lama kelamaan rasa penasaran membenam ketakutanku. Maka kuputuskan mencari tahu tentang bunyi tersebut.

Benarlah pendengaranku, buku catatan bersampul marun itu tak tampak di meja rias. Aku langsung menunjuk tempat yang paling mungkin, kolong lemari. Ya, benda tersebut terlempar ke situ!

Agak ragu aku menjulurkan tangan ke bagian itu, takut-takut sesuatu menarik tanganku. Bukannya yang demikian kerap kejadian di film hantu?

Namun aku tetap mengambilnya, dan binderku segera saja berdebu.

Terbukalah halaman yang tadi, yang tertulis dengan tulisan besar-besar. Sekarang terdapat tulisan yang paling mutakhir, ukuran hurufnya tidak kalah, juga masih dalam tulisan latin bersambung berbahasa Jawa.

"Uripku mbiyen nelongso*."

Sudah, begitu saja. Sinting! Pemilik tulisan ini sudah membuat takut dan penasaran hanya demi menulis begini ringkas. Sinting!

Tapi pikiranku yang lain mengatakan ini bukan permainan tebak-tebakan kata. Tulisan ini boleh jadi tentang sesuatu yang hendak disampaikan. Aku berpikir sejenak untuk menduga arahnya, dan akhirnya kutetapkan untuk menaruh buku catatan itu di meja rias, lalu keluar dari kamar dengan pelan-pelan.

Lagi, binder milikku terlempar menyeret di atas ubin. Seketika kubawa diriku masuk dan memungut buku tersebut.

Ada tulisan baru lagi, "Senajan patek, aku urip. Aku weruh awakmu.**"

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang