Pembicaraan Rahasia

14 0 0
                                    

Mereka menyebutku sudah gila, ya, mereka itu, Moris dan Wina. Kedua-duanya kompak berkata tidak ada listrik padam, sehingga aku dikira kurang waras karena mau repot-repot membuat lilin ala anak kos dari kapas dan minyak sayur.

“Waktu kami masuk, lampu nyala kok,” kata Wina.

“Apa salahnya lampu nyala, kalian juga dari tadi di luar,” Aku mengelak.
Mereka ini terang-terangan ingin menakutiku. Mungkin itu rencana yang terlintas saja tiba-tiba, dan mereka kompak mengerjaiku seketika. Aku tidak sebodoh itu juga, kan?

“Jadi apa yang kalian bawa?” tanyaku sekaligus mencari pembicaraan baru.

Namun kusadari pertanyaanku itu suatu kebodohan. Dari kardusnya pun aku sudah tahu Wina membawa pizza, dan kami sebelumnya sudah bersepakat soal ini.

Kemudian mulailah kami menyantap makan malam tersebut. Aku sedikit kecewa karena tidak ada salad. Bahkan tidak ada yang lain-lain kecuali pizza.

“Cuma ini?” kataku tak puas.

“Sudah, makan saja, sampai perut juga sama rasanya,” balas Wina.

Wina benar. Beberapa jam sebelumnya aku belum pasti bisa makan malam. Jadi sudah semestinya makanan ini disambut dengan syukur tak terhingga.

Mulut kami mengunyah cepat, tetapi pandanganku berhenti pada jejak-jejak hitam yang sedari tadi urung dibersihkan. Bercak itu amat mengganggu sekaligus menurunkan derajat nafsu makanku. Segera kusudahi makan kemudian keluar untuk menyiapkan alat pel. Biasanya benda itu ada di depan kamar mandi, hanya malam ini tak terlihat di tempatnya.

Aku turun, tujuannya meminjam pel ubin. Di kursi makan, Mbak Fani duduk sambil menyuapi bayinya dengan bubur sayur. Si parlente masih betah menempel di sisinya. Kusampaikan maksudku dan ia pun menunjukkan barang yang kubutuhkan. Ternyata pel ini ada yang membawa ke bawah.

“Alvin,” wanita itu memanggil saat kakiku baru menapak sebuah anak tangga.

“Ada apa, Mbak?”

Ia terdiam beberapa saat seperti ada yang enggan dikatakan. Sedangkan pria yang sejak tadi menemaninya tiba-tiba saja angkat kaki, masuk ke kamar Mbak Fani.

“Ada apa, Mbak Fani?” kuulang sekali lagi supaya lenyap keraguannya.

“Tadi aku lihat kamu membuat lilin di dapur.”

Aku segera sadar diri. Sekali-kali aku telah berbuat tidak sopan. Bahkan aku tidak meminta izin untuk beberapa sendok minyak sayur pada sang empunya rumah ini. Tanpa menunggu-nunggu kuminta maaf dengan rasa menyesal seraya menyebutkan listrik padam sebagai alasannya. Perbuatanku sungguh tidak pantas, meskipun dia seorang yang pemurah.

Akan tetapi Mbak Fani malah mengherankan sikapku dan menyatakan tak perlu meminta maaf. Lalu keluar kata-katanya yang kemudian lebih baik tidak kudengar.

“Itu hanya perasaan kamu saja, dari tadi listrik di rumah ini baik-baik saja.”

Setelah ucapan itu, biji jakunku naik turun karena menelan liur yang tak kering-kering. Sebenarnya ia sedang mengerjaiku atau apa?

“Aku baru tahu mbak bisa bercanda begini.”

“Alvin....”

“Seandainya padaku mbak mengatakan yang lebih-lebih, bagaimana aku percaya?”

Mbak Fani saat itu pula meraih Blackberry yang tengah memutar nada Twinkle Twinkle untuk menyenangkan anaknya. Ibu jarinya bergerak cekatan di atas trackball hitam itu. Sebentar kemudian dia menunjukkan sesuatu, yaitu video. Aku belum tahu maksudnya, sedang ia segera memutar film itu untukku. Dalam rekaman tersebut Tampak diriku berjalan dengan pemantik api di tangan kanan. Kedua kakiku sempat sedikit gemetar, seperti orang yang ragu pada penglihatan, padahal ruangan itu diterangi lampu.

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang