Sirkus Tengah Malam

13 3 0
                                    

Petikan nada berhenti berbarengan hadirnyanya perempuan itu. Hening dalam beberapa waktu sudah sewajibnya. Oleh sebab dialah sesungguhnya nada itu.

Aku mematung, tak membiarkan diri bergeming untuk merayakan kehadiran Fani. Hingga waktunya sadar lalu menggeser duduk walau kasur ini sebenarnya luas. Fani menyodorkan sebuah tatapan yang sukar dimengerti. Sebab tatap mata perempuan selalu menyembunyikan arti dalam saat-saat hening berdua.

Dia akhirnya duduk juga. Dekat sekali sehingga mudah tercium aromanya. Perempuan matang ini tampil dengan baju rumahan; atasan tanktop hitam dan celana piyama bawahannya.

"Kayanya kita pernah bertemu seperti ini," ujarku sambil melirik pakaiannya.

Fani mengangguk. "Kamu masih ingat rupanya."

"Mana mungkin lupa? Ehmm, gimana pekerjaan kamu? Sybillia mana? Pulang naik apa?" kalau dituruti masih banyak lagi yang bisa kutanya.

Fani malah gugup karena diberondong pertanyaan. Namun sebentar saja tiba-tiba berubah guritan pada parasnya. Murung dan muram. Ia berucap, lirih, "Aku mimpi teramat buruk."

Kurebahkan gitar dengan segera agar membuat suasana lebih tenang. Kemudian timbul keberanian lebih untuk mendekapnya dari samping, sambil kukatakan, "Itu bukan apa-apa. Menurutku nggak lebih dari mimpi. Jangan terlalu khawatir begini."

“Apa yang terjadi pada kamu kemarin?” Fani bertanya.

Aku katakan tidak ada apa-apa padaku. “Aku pulang kemarin malam. Sampai di rumah langsung siap-siap tidur. Tapi ada panggilan dari kamu.”

“Pasti kamu terganggu,” gumamnya.

“Sama sekali enggak.”

Fani menghirup udara lebih dalam. Berkata, “Aku harus menghubungi kamu. Mimpiku begitu menyeramkan. Seperti nyata. Bahkan aku percaya, diriku sedang berada di dalam rumah ini.”

Sekarang giliranku menarik napas panjang oleh karena perempuan ini belum tenang juga. Sedangkan gelisahnya secara langsung menjadi gelisahku. Sambil tetap mendekapnya aku memulai dengan lebih serius, “Fani…, mimpimu yang kemarin itu cuma mimpi kosong. Sama sekali bukan pertanda apa-apa. Sekarang kamu sudah di sini, terbukti kan, nggak terjadi apa-apa?”

Bola mata perempuan itu pelan-pelan merekah sehingga lebih binar dari beberapa saat lalu. Meski begitu mku masih menangkap selintas kecemasan di dalam pikirannya. Dan ia masih berkata, “Jika ternyata ada apa-apa?”

“Fani. Bisa kita memulai tentang yang lain?”

Lalu bibirnya yang selalu kilau seperti delima itu dilipat sejenak. “Apa maksud kamu tentang yang lain?”

“Kamu belum menjawab pertanyaanku.”

Dia malah tertawa setengah sinis. “Jangan basa-basi ah. Aku ngerti kamu enggak betul-betul ingin tahu.”

“Pekerjaan kamu gimana?” kuulang dengan memaksa kali ini.

Fani menjejali pandangannya lagi ke separuh kamar. Kupikir ia mengenal ruangan ini dengan baik dan barangkali sedang mengingat beberapa hal.

“Yang kamu lihat sekarang. Aku pulang lebih dulu.”

“Bukan karena mimpi, kan?”

“Kata kamu sebaiknya memulai tentang yang lain?” sindirnya seraya melepaskan lenganku yang masih saja lekat seperti diolesi lem kayu.

Aku mengangguk, menyinggung mimpinya adalah kesalahan.

“Event yang ini terlalu banyak drama. Jadi aku langsung ambil take off sore tadi.”

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang