Perjamuan Malam

11 2 0
                                    

Sepanjang petang langit mengarak awan. Gelap tipis di atas sana. Seperti kapas hitam berterbangan.

Awan berfirasat, sebentar lagi hujan mengguyur. Kelembaban naik. Anginnya adalah kenikmatan. Dan bau tanahnya selalu menyimpan kerinduan kala kemarau. Aku duduk seorang diri di teras rumah. Di atas kursi rotan yang bagaikan tak pernah menua. Mengamati peralihan masa hujan kepada masa kering yang seharusnya sudah berlalu. Tetapi gerimis dan hujan tidak pernah terlarang turun.

Lalu butiran tirta benar-benar rintik dari mega. Bunyinya ramai, berjatuhan ke atap rumah, dedahanan dan dedaunan atau di mana saja menurut kehendaknya. Hujan adalah panggung musikalitas alam. Nada yang harmonis, iramanya menghanyutkan, menjadi konser musik gratis dari Tuhan semesta.

Ingatanku mundur secara acak, kepada orang-orang yang telah memberi warna dalam masa hidupku. Pikiranku sudah dasarnya mudah takluk pada kenangan. Biasanya pengulasan itu berhenti pada perempuan. Aku terlampau lemah untuk mengakui bahwa perempuan yang sekarang menghinggapi benakku ialah Fani.

Untuk namanya aku pergi malam nanti, juga untuk putri kecilnya.

***


Tiba di rumah Fani jam 10 malam. Pagar belum lagi dikunci. Mesin bebek mati lalu aku mendorongnya ke dalam. Seandainya Pak Wi melihat siapa yang datang tentu dia bakal naik pitam. Tapi malam ini penjaga kos itu pergi untuk menemui dia yang bernama Haji Mufid.

Parkir motor sesak. Untung masih ada ruang sempit untuk menyelinap. Banyak mahasiswa kumpul-kumpul. Agaknya baru selesai rapat. Kuperhatikan, satu persatu dari mereka gelagatnya ingin pulang. Ada seorang dua orang yang kenal, jadi aku mengangkat alis seperlunya. Tujuannya menyapa.

Kamar Pak Wi dari luar tak bercahaya. Aku langsung beranjak ke dalam. Lorong masuk terasa lebih sempit dari biasanya. Keberanian sebetulnya kembang kempis. Pengetahuan tentang yang terjadi di depan sungguh terbatas. Aku cuma melakukan apa yang kuinginkan.

Di depan pintu besi yang membatasi ruang utama dan lorong aku berhenti. Di dalam yang teramati hanya nyala lampu ala kadarnya. Kunci sudah siap kalau-kalau pintunya rapat.

Kuturunkan gagang pintu. Berbunyi krek! Satu langkah sudah diambil, maka pantang mundur lagi.

Akan tetapi pemandangan di dalam berkebalikan dari sangkaan. Ada lima pasang mata di meja makan, serempak menengok ke arah pintu!

Aku menggosok-gosok kelopak mata barang sebentar, memastikan bahwa penglihatan tidak meleset. Sekali-kali tidak! Satu persatu aku menghitung mulai dari sebelah kiri. Fani, pacarnya yang konon sudah bubaran, Pak Wi, Mbak Asih, dan suaminya.

Ternyata rencana Fani pulang tidak main-main. Semarang-Jakarta memang bukan jarak yang serius, apalagi jika lewat udara. Wajar saja dia sudah sampai. Aku seharusnya gembira, tetapi ada misi penting malam ini yang tidak boleh ia ketahui.

Yang sedang dikerjakan lima orang dewasa itu ialah perjamuan makan besar-besaran. Hidangan utamanya ayam kalkun. Lauk pauknya masih banyak rupa selain itu, membuat sempit meja yang cukup besar. Siapa yang sanggup habiskan makanan sebanyak itu?

Fani menawari makan bersama. Parasnya ramah dan segar. Rambut diikat sehingga batang penyangga kepalanya agak berkilap terpapar cahaya. Aku menolak tawaran itu dengan gelengan kepala. Tak habis pikir, mana bisa kenyataannya begini!

Pada anak tangga pertama terdengar Fani menggumam, "Sombong amat." Masa bodoh lah! batinku kesal. Aku jadi bingung apa rencana setelah ini. Kenapa dia mesti pulang sekarang? Belum lagi bagaimana urusanku dengan Pak Wi yang sudah tegas-tegas mengusirku.

Sampai di atas aku semakin bingung. Andai tahu begini tak perlu jauh-jauh datang, sebab kedatanganku hanya mengakibatkan Pak Wi tambah gondok. Toh, ucapannya yang kemarin bisa jadi semacam sabda pandita atau tidak mungkin ditarik lagi.

Aku berjalan lebih lambat ketika sudah lebih dekat ke kamar Wina. Mataku mengelibat lagi pada pemandangan di meja makan. Akhirnya aku masuk kamar. Bunyi krekk lagi berasal dari pintu kamar. Namun aku berhenti. Perasaan baru saja melewatkan sesuatu yang penting; Orang-orang di meja makan itu; sepertinya ada yang berubah dalam perjamuan di bawah.

Badanku berbalik arah, memepet pada kayu pembatas koridor. Aku menonton ada apa gerangan di bawah.

Tidak mungkin!

Ke mana perginya orang-orang itu!?

Yang terlihat di meja makan hanya Fani. Hanya ia seorang-orang! Tidak bertambah tidak berkurang. Ke mana selebihnya? Mengapa aku tidak mendengar bunyi kursi bergerak jika keempat orang yang lain beranjak!? aku protes dalam senyap. Ke mana bunyi dentingan sendok dan piring-piring itu. Bahkan tidak ada makan besar di bawah. Hanya Fani bersama semangkuk mi dan gelas air.

Siapa mereka yang sebelumnya ramai?

Batinku mengumpat serapah saat itu langsung, bercampur aduk dengan ketidak percayaan dan...kengerian.

Fani melirik dari bawah, meringkus wajahku yang sedang terbelalak. Wajahnya seolah-olah hendak bertanya. Pikiranku jadi lebih carut. Maka kutinggalkan wanita itu sambil menampar-nampar muka sendiri. Tidak mungkin!

Di dalam kamar aku berharap menemukan ketenangan, karena memecahkan misteri di meja makan hanya menambah kesuraman. Mereka pasti gaib.

Aku ingat Pak Wi dan barang tentu ia benar; ada makhluk lain sejenis Sukma yang mendiami bangunan ini.

Beberapa saat lamanya aku termenung. Masih memikirkan keramaian di meja makan. Sampai gitar pinjaman di pojok dekat lemari tiba-tiba saja menggugah, seperti melambai lehernya, minta senarnya dipetik. Yap! Ini merupakan cara yang baik untuk mengganti suasana. Aku segera menghampiri alat tersebut. Debunya mulai tebal lantaran lama tidak disentuh.

Yang kumainkan ialah lirik milik The Cure, "Friday I'm in Love". Nadanya sederhana dan repetitif. Syairnya hiperbolis. Lagu ini mengatakan, biarlah semua hari dalam tiap pekan jadi petaka, asal Jumat bahagia. Ada benarnya juga. Terkadang satu kesenangan atau keberhasilan dapat memupus pengalaman kelabu yang sudah menahun. Namun juga ada yang merasakan sebaliknya; sekali kesedihan atau kegagalan menghapus kebahagiaannya bertahun-tahun. Tiap orang tinggal memilih ikut tim yang pertama atau kedua.

Namun besok bukan jumat. Bukan harinya jatuh cinta, kata syair yang tengah kutembang. Tetapi tidak ada larangan mengkhayalkan datangnya seorang perempuan dengan gaun yang anggun. Mengajak bersenang-senang. Bersemangat sampai melakukan segalanya, melupakan hari-hari sial terbelakang.

Semata-mata pengkhayalan itu tak lebih dari angan-angan. Fungsinya baik untuk menenangkan pikiran daripada memikirkan setan-setan yang berkeliaran di meja makan. Sehingga ketika lagu itu tuntas aku mengulangnya sekali lagi. Yang berbeda khayalannya saja. Tentang perempuan yang sedang sendirian menghabiskan makan malamnya. Dia pasti tidak mengerti siapa saja yang menemani waktunya. Ia juga tidak pernah menyayat daging kalkun untuk dilumatnya malam ini. Jadi kupikir sempurna apabila wanita itu datang ke sini. Kalau tidak aku pun boleh menjemputnya.

Satu saat kemudian terbetik derap kaki menapaki tangga. Pasti itu Fani, bukan lelembut yang tadi duduk berjamaah. Langkahnya semakin jelas, dan siluet tubuhnya dari balik tirai sebentar lagi terungkap nyata.

Terbukalah pintu kamar Wina. Itu Fani. Perempuan yang selalu kujangkau dari dalam alam pikiran. Senyum yang ringkas mengembang dari bibir itu. Dia lebih dulu melihat-lihat kamar sebelum memandu kakinya yang jenjang masuk.

"Apa kabar?" suaranya tanggung seperti malu-malu.

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang