Persiapan Ritus

12 1 0
                                    

Kami sudah menemukan sikap yang mantap; Pak Wi kami beri izin menggunakan kamar untuk melakoni sesaji. Selasa dan Kamis. Mengingat Kamis jatuh hari ini, orang tua itu dapat memulainya segera.

Wina kudaulat menyampaikan hal itu pada Pak Wi. Aku masih malas berurusan dengan penjaga kos itu. Malah, dugaanku Pak Wi sepertinya merasa mendapat angin untuk mengatur nasib kamar ini sesukanya. Di luar itu, cara-cara klenik, dengan nama apa pun amat berat kuterima.

Alasannya? Tauhid! Metode komunikasi dengan jin atau pengusiran ala Pak Wi tentu saja bertentangan dengan prinsip-prinsip keimanan Islam. Meski diri ini bisa membiarkan ragam kepercayaan dan ritualnya, bukan dengan sendirinya aku turut serta.

Tapi apa ada jalan lain? Aku menggugat kesadaran sendiri. Bukankah Tuhan mempunyai dispensasi dan rahmat yang begitu luas dibandingkan kekhawatiranku ini?

Diam-diam aku mencari pembenaran terhadap semuanya. Teringat bahwa Tuhan memaafkan suatu perbuatan terlarang dalam situasi terpaksa. Berbohong pun boleh dalam darurat, makan daging ular pun dimaafkan asalkan kepepet. Bahkan banyak kisah-kisah orang berpindah keyakinan hanya dalam lisan untuk mencegah diri dianiaya atau dibunuh, dan itu digaransi mendapat pengampunan. Daripada mati!

Menjawablah pikiranku yang lain dengan pertanyaan; Memang siapa yang bakal mati karena hantu? Kau pikir hantu bisa menikam atau menjerumuskan manusia ke dalam sumur timba seperti di film?

Sebaiknya kusudahi berdebat dengan diri sendiri daripada mati karena banyak pikiran. Lagipula, aku tidak percaya. Biar keyakinan itu jadi milik Pak Wi sepenuh-penuhnya. Toh, ini cuma kamar sewaan. Pak Wi sebagai penjaga punya hak lebih jelas ketimbang Wina, apalagi aku yang penumpang gelap.

Jangan-jangan Siska benar. Jin harus diladeni sesuai kayakinannya. Sehubungan barangkali jin di kamar Wina penghayat kepercayaan, metode itu pula yang bakal mempan.

Tetapi pikiranku yang usil itu tak berhenti pula mengoceh; Kamu lupa, perjanjian sewa itu turut mengalihkan hak pakai atas ruangan sepetak ini? Soal keyakinan, bagaimana jadinya ritual akan berhasil tanpa keyakinan? Kamu mesti turut mengimani keyakinan Pak Wi, kecuali kamu orang bodoh yang menolak logika.

Seandainya bisa kupisahkan sementara waktu sebagian sisi otakku agar tidak terus-terusan berdebat, dengan senang hati kulakukan sekarang juga.

Syukurnya Wina datang, jadi monolog kusir itu tak lagi berkepanjangan. Wina baru saja berbicara dengan Pak Wi. Untuk tahu isinya, segera kuhadang.

“Apa dia bilang?” intonasiku tak sabar.

Ia tak menjawab. Malah memutari ruangan dengan lambat. Sebalah tangannya ditangkup, yang lainnya memilin-milin dagu.

“Repot juga kalau begini,” ucapnya setengah menggumam.

“Repot gimana? Apa kendalanya? Cepat cerita!” Aku mencecar.

Gemas melihat Wina terus berputar, aku menangkap pundaknya, sehingga kami berhadapan.

Wina langsung berkata, “Kamu punya teman yang suka main dukun?”

“Hah? Enggak!”

“Kalau kenalan dukun?”

“Enggak juga. Ada apa, sih?”

“Saudara kamu ada yang jadi dukun?”

Kusentil saja keras-keras daun kupingnya dan langsung terdengar ia mengerang minta ampun. Tapi suara berikutnya tetap datar. Berkata, “Banyak juga, ya.”

“Apanya banyak?”

“Yang perlu disiapkan.”

“Misalnya?”

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang