Langkah Tengah Malam

11 2 0
                                    

“Sakit lo Na, sakit! Sudah gue bilang kosan itu angker masih juga lo samperin. Otak lo terbuat dari apa sih?” semprot Siska seketika Wina selesai bercerita.

“Kerjaan laki gue itu, Sis!”

“Ye...sudah tahu cowok lo begitu masih aja lo nurut.”

Aku menyimak obrolan yang tak begitu penting itu dari meja yang lain di kantin d’Tree. Tinggal tersisa empat pengunjung di sini. Aku, Siska, Wina, dan seorang perempuan lagi duduk di sebelah Siska. Yang terakhir kumaksud tak bereaksi apa pun terhadap situasi di dekatnya kecuali sibuk menggulir trackball Blackberry Curve 8900.

Biasanya hujan membuat kantin ini penuh. Sebab dingin mendatangkan lapar dan orang-orang melahap apa saja. Namun barangkali musim ujian menyebabkan lupa urusan perut demi menyiapkan diri untuk esok.

“Tapi gue udah agak tenang sekarang. Pak Wi hari ini exorcism,” kata Wina.

“Yakin? Sajen-sajen gitu?”

Wina mengangguk.

“Dia ngerti banyak sih,” ujar Siska pelan, “Lo rencananya kasih dia berapa? Atau dia duluan minta mahar?”

“1,5 juta,” Wina menjawab singkat sambil mengaduk-aduk gelas berisi es teh.

“Mahal amat!" pekik Siska seolah tak percaya. "Itu sih penggusuran, bukan pengusiran.”

Selanjutnya Siska membodoh-bodohi Wina yang dianggap baru saja dibodohi. Pendek kata, biaya mengusir setan lebih tinggi dari tarif sewa kamar dua bulan. Diam-diam aku membenarkan perkataan Siska.

“Mending lo kos di situ,” Siska menelunjuk ke belakang, aku tahu kos yang dimaksud, “1 juta sudah AC, bebas, kamar mandi dalam.”

“Hari ini juga batal ritualnya,” aku ikut bicara.

“Ih gimana, Pak Wi sudah janji,” protes Wina.

“Kan sore tadi hujan,” kataku sembari mengingatkan tentang “langit merah”.

Siska tampak tidak mengerti, meminta dijelaskan. Setelah mengerti, katanya, “Waw, alamat kena tipu lagi lo, Bang.”

“Kenapa?”

“Ya iya lah, musim hujan begini mau nunggu senja Kaimana.”

“Artinya?”

“Artinya nanti dia beralasan belum bisa ngusir karena cuaca, terus kalian ditawarin bayar jasa pawang hujan.”

“Ya sudah tunggu saja sampai cerah,” kataku sederhana.

“Kalian mau diteror tiap saat?”

“Eeh, bagaimana dong baiknya?” Wina mulai panik.

“Kalau kira-kira betul kata Siska, minta dibatalkan saja,” ujarku.

“Sembarangan lo, Bang,” bantah Siska.

“Lho? Sewa orang lain saja.”

“Mana bisa, itu kan wilayah Pak Wi.”

Tak kusangka dia mampu berpikir sejauh itu dan taktis. Namun Wina pernah membocorkan sedikit riwayat temannya itu. Ia sudah yatim sejak belia. Mendiang ayahnya mewariskan beberapa rumah petak sewaan di Kramat Jati. Ketika masih bersekolah, atas kemauan sendiri, Siska mengambil alih pengelolaan aset tersebut. Dengan jeli dan sabar rumah-rumah sewaan itu direnovasi agar bisa menarik uang sewa lebih banyak. Dengar-dengar juga, ia sedang mencari pinjaman untuk meningkat sekaligus membangun bidang tanah yang masih tersisa. Kalau berhasil, Siska akan mengelola sekurang-kurangnya 32 rumah petak dengan potensi pendapatan kotor mencapai Rp 25 juta per bulan.

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang