P A R T - 07

561 191 76
                                    

"Jika semesta yang memulai cerita ini, izinkan aku untuk tidak mengakhirinya seperti yang dilakukan oleh takdir."

—Angelina Chesa Annora

—Angelina Chesa Annora

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

Satu minggu sudah berlalu semenjak kejadian Chesa yang menginap di apartemen Rasha. Kedekatan di antara keduanya sudah tidak diragukan lagi. Sekeras apapun Bryan untuk menjauhkan adiknya dari waketos Nusa Bangsa itu, maka lebih keras lagi perlawanan yang diberikan oleh Chesa dan Rasha.

"Rasha, kamar kamu rapi banget, ya."

Sekarang keduanya pun sedang berada di apartemen Rasha. Setelah selesai beribadah di Gereja, Chesa langsung dijemput oleh Rasha. Awalnya, gadis itu sangat terkejut dengan kehadiran Rasha yang ada di sana, begitu juga dengan keluarganya.

Rasha yang sedang membuat minuman pun menoleh sekilas sambil tersenyum tipis dan menjawab, "harus rapi, dong. Gue tinggal sendiri, jadi, gue harus terbiasa buat semuanya."

Mendengar itu membuat Chesa yang tadinya sedang memegang bingkai foto berukuran kecil di atas meja pun langsung menoleh. "Orang tua Rasha di mana?"

Rasha tidak langsung menjawab, ia meletakkan dua cangkir berisi cokelat dingin itu di atas meja dan beralih mengambil bingkai foto yang berada di tangan Chesa. "Mereka keluarga angkat gue," ucap Rasha menatap dua figur yang sangat berharga bagi dirinya.

"Gue ke Jakarta buat cari informasi tentang keluarga kandung gue yang udah lama terpisah," sambungnya lalu kembali meletakkan bingkai foto itu ke posisi semula.

"Semoga cepat ketemu, ya, Rasha."

"Aamiin," balas laki-laki itu cepat.

Chesa terdiam beberapa saat. Seketika gadis itu memikirkan sesuatu yang terlintas begitu saja di dalam pikirannya. "Rasha, Islam?"

Rasha tersenyum lalu memberikan cangkir itu kepada Chesa. "Iya, kenapa?"

"Kita beda," gumam Chesa dengan pelan. Namun, dengan posisi yang tidak jauh membuat Rasha masih bisa mendengar gumaman itu dengan jelas.

"Chesa, perbedaan bukan menjadi penghalang untuk kita dekat. So, ada apa dengan ekspresi itu?" tanya Rasha menatap wajah Chesa dengan lekat. Sangat jelas jika Chesa sedang mengkhawatirkan sesuatu.

Chesa menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Senyum paksa. "Ah, enggak, kok, makasih minumannya," elak Chesa lalu berjalan ke arah sofa.

Selat Gibraltar  [COMPLETED] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang