"Jika kita memang tidak ditakdirkan untuk bersama. Setidaknya, aku bahagia pernah berada di sisimu."
-Selat Gibraltar
•••
Satu bulan sudah berlalu. Rasha dan Chesa sampai saat ini pun sudah semakin dekat. Ibaratnya, sendal dan kaki. Tidak bisa dipisahkan. Contohnya, seperti saat ini.
"Lo tunggu di sini aja, ya. Gue mau print proposal buat dikasih ke kepala sekolah nanti."
Baru saja Rasha berdiri. Chesa sudah menahan pergelangan tangan laki-laki itu. Menatap dengan mata yang menyorotkan kesedihan. "Chesa mau ikut aja. Gak mau di sini." Sudah diduga. Chesa pasti akan menolak untuk ditinggal sendiri.
"Nanti gue beliin cokelat, deh. Di sini juga ada David, kok. Lo jagain Chesa, ya, Dav." Rasha menunjuk David yang sedang duduk di kursi kebanggaannya. Lalu sedetik kemudian laki-laki itu menganggukkan kepalanya.
"Iya udah, deh," balas Chesa dengan sedikit pasrah. Rasha tersenyum melihat wajah Chesa yang terlihat murung. Karena sangat menggemaskan—spontan Rasha mengacak rambut gadis itu dengan pelan.
Ceklek.
Setelah Rasha menghilang dari pandangannya—Chesa hanya bisa berdiam diri di tempat duduknya. Ia tidak tahu ingin melakukan apa di ruangan ini.
"Lo tambah lengket aja sama Rasha. Udah jadian, ya?"
Chesa mendongakkan kepalanya. Menatap David dengan bibir yang membentuk bulan sabit. Akhirnya, laki-laki itu membuka suara lebih dulu. Jadi, Chesa tidak akan merasa bosan sampai Rasha pulang.
"Belum jadian, kok."
"Tapi kalian saling suka?"
Chesa terdiam. Menatap jari-jarinya yang saling bertautan. Dirinya sangat bingung untuk menjawab pertanyaan dari David. Apakah Rasha sudah menyukai dirinya? Atau bahkan, sudah jatuh cinta? Mengingat bahwa laki-laki itu sangat perhatian dan penyayang dengannya. Jadi, tidak salahkan kalau Chesa berharap lebih?
"Bukannya kalian itu beda agama, ya?" tanya David lagi.
Sepertinya, ketua OSIS itu sangat penasaran dengan hubungan Chesa dan Rasha. Tapi pertanyaan tadi mampu membuat Chesa kembali tersadar oleh fakta itu.
"Terus kenapa, Kak?" tanya balik Chesa yang membuat David menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Laki-laki pemilik mata cokelat itu tersenyum canggung.
"Bukannya apa. Tapi hubungan kalian itu nantinya akan menentang Tuhan kalian masing-masing."
Kembali. Entah apa yang membuat David begitu bebas mengucapkan sederetan kata yang membuat Chesa merasa sangat tertampar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selat Gibraltar [COMPLETED]
Romance⚠️WARNING⚠️ CERITA BUKAN UNTUK DITULIS ULANG! TOLONG HARGAI IDE DARI PENULIS. JADILAH PENULIS YANG BERKARYA DENGAN HASIL OTAK SENDIRI BUKAN DARI ORANG LAIN. BERANI BERKARYA ITU BAGUS! YUK, KURANGI POPULASI PLAGIAT. Blurb: Selat Gibraltar, dua...