P A R T - 39

187 48 29
                                    

"Benar adanya ... janji hanyalah kalimat penenang sementara."

-Selat Gibraltar

-Selat Gibraltar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

Hari minggu yang cerah. Matahari bersinar terang. Burung-burung mulai berkicauan. Tampak di salah satu rumah berwarna putih terlihat seorang gadis cantik yang sedang melamun di balkon kamarnya dengan satu batang cokelat yang setia menemaninya.

Sudah satu jam Chesa duduk di sana. Tanpa melakukan apa pun dan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Hanya dengan posisi kepala yang mendongak ke atas—menatap ke arah langit yang berwarna biru cerah. Mata cokelatnya menyiratkan banyak rasa sakit. Kejadian malam tadi ternyata bukanlah mimpi buruk—tapi memang nyata adanya.

Apakah sekarang semesta sedang tertawa bahagia?

Chesa menundukkan kepalanya. Menatap makanan kesukaannya dengan tak semangat. Biasanya, mood Chesa akan membaik setelah makan cokelat. Tapi sejak malam tadi Chesa sudah menghabiskan tiga puluh batang cokelat silverqueen dan semuanya berakhir ... sia-sia. Dan di tangannya sekarang adalah cokelat yang ke tiga puluh satu. Rasanya sangat lelah untuk sekedar mengunyah makanan manis itu. Entah mengapa, setiap gigitan cokelat yang Chesa rasakan selalu saja ada hubungannya dengan Rasha. Niat hati untuk menghibur diri—justru Chesa semakin tenggelam dengan rasa kecewa itu.

Sepuluh menit sudah bertambah. Terdengar helaan nafas lelah dari mulut Chesa. Gadis itu mulai membuka bungkus cokelat yang ada di tangannya dan mulai memakannya secara perlahan. Enak dan manis. Rasanya tetap sama. Hanya saja ada yang sedikit berbeda. Hubungan mereka ... sudah tandas.

"Kenapa Rasha tinggalin Chesa?" tanya Chesa pada dirinya sendiri. Suaranya pun sudah mulai bergetar dan serak. Siap untuk kembali menumpahkan tangisnya.

Rasha adalah laki-laki pertama yang Chesa suka sekaligus cinta. Laki-laki pemilik mata hitam itu mengajarkan Chesa banyak hal. Salah satunya adalah ... jatuh cinta. Seharusnya, dari awal Chesa sudah paham. Yang namanya jatuh itu pasti sakit dan sekarang semuanya terbukti.

"Chesa ... gak mau putus," gumam Chesa yang sudah kembali menangis. Bahu kecil itu mulai bergetar. Menandakan bahwa pemiliknya sedang sangat rapuh. Semesta sangat pintar dalam memainkan perannya. Permainan yang tercipta itu sungguh menyakitkan bagi Rasha dan Chesa.

Dengan cepat Chesa langsung mengusap air matanya dengan kasar dan menatap lurus ke depan. Memantapkan apa yang ia lakukan nantinya. Chesa tidak boleh ragu. Sama sekali tidak.

"Rasha harus tetap jadi milik Chesa," tegas Chesa menggenggam cokelat yang ada di tangannya dengan sangat kuat hingga makanan bertekstur lembut itu sudah hancur. "Selamanya," sambungnya dan berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah melepaskan Rasha dalam hidupnya.

Bukankah laki-laki itu sendiri yang memulai semuanya?

Bukankah Rasha sendiri yang sudah berjanji untuk berjuang bersama-sama sampai menemukan titik kebahagiaan? Dan sekarang mereka belum menemukan titik itu!

Chesa harus menagih janji itu. Biarlah orang lain menganggap dirinya jahat atau egois. Tapi Chesa tidak ingin dirinya tersakiti. Rasha hanya miliknya. Tetap miliknya. Bukan milik siapa pun—bukan pula milik Fely.

Rasha tetap milik Chesa.

•••

"Nih, buat hibur lo yang lagi sedih," ucap David dengan tangan kanan yang menyodorkan satu batang cokelat silverqueen ke hadapan adik kelasnya, Chesa.

Saat dirinya ingin mencari keberadaan Chesa tapi tidak menemukan di kelas maupun di kantin. Terpaksa David harus menelusuri satu sekolahan hanya untuk mencari seorang gadis.

"Kak David," gumam Chesa dengan mata yang terkejut tapi tetap mengambil cokelat itu dan mengucapkan, "makasih, Kak."

"Sama-sama." David langsung memilih duduk di samping Chesa. Menatap ke arah sekitaran taman dengan mata yang berbinar. David adalah laki-laki yang sangat menyukai bunga. Sangat memalukan jika itu diketahui oleh orang lain.

"Lo baik-baik aja?" tanya David sedikit hati-hati. Kejadian malam itu—David melihat semuanya dengan jelas. Di mana Rasha yang bertunangan dengan gadis lain. Di mana Chesa yang menangis histeris di depan cafe. Di mana Rasha yang memutuskan hubungan keduanya secara sepihak. Melihat itu David sangat tahu bahwa ... Chesa tersakiti.

"Chesa baik-baik aja. Memangnya kenapa?" tanya balik Chesa dengan senyuman yang terus menghiasi wajahnya. David menggelengkan kepalanya tidak percaya. Kenapa kebanyakan gadis sangat sulit untuk jujur?

"Lo gak baik-baik aja."

Chesa menaikkan sebelah alisnya bingung. Lalu detik berikutnya—Chesa tertawa pelan seakan mengerti maksud dari perkataan kakak kelasnya.

"Tentang kemarin malam?" tanyanya ingin memastikan. David menganggukkan kepalanya. "Chesa baik-baik aja, kok. Sayang aja, Rasha gak masuk hari ini."

Chesa mendesah kecewa karena laki-laki yang ia cintai itu tidak masuk sekolah. Tanpa keterangan apa pun. Dan secara tidak sengaja telinga Chesa mendengar berita bahwa Fely juga tidak masuk. Banyak yang mengatakan bahwa mereka pasti sedang jalan-jalan. Menikmati waktu setelah akhirnya bertunangan. Help! Chesa tidak percaya rumor itu sama sekali!

"Sa, kalau lo sedih, bilang sedih. Kalau lo nangis, silakan nangis. Jangan diam aja dan bilang ke semua orang kalau lo baik-baik aja. Jujur dan kami akan siap buat hibur lo," desak David yang tetap saja tidak percaya kalau keadaan Chesa sekarang baik-baik saja. Senyuman yang menghiasi wajah cantik itu sudah pasti hanyalah topeng untuk meyakinkan orang lain. Siapa yang tidak sakit melihat kekasih kita bertunangan dengan orang lain? Di depan mata sendiri?

"Kak ...," lirih Chesa menatap kedua bola mata David dengan tatapan yang sulit diartikan. "... Chesa ... baik-baik aja," sambungnya lagi lalu menarik kedua sudut bibirnya ke atas.

"Sebenarnya, Chesa gak terima Rasha tunangan sama Kak Fely. Tapi Chesa percaya. Rasha pasti gak niat untuk ngelakuin itu," papar Chesa yang sudah mengalihkan pandangannya ke arah langit. "Karena Rasha ... hanya milik Chesa."

David terdiam beberapa saat. Melihat wajah Chesa dari samping. Sungguh ciptaan yang sangat indah. Sangat disayangkan kalau Rasha meninggalkan Chesa. Tapi mau bagaimana lagi. Mau sekeras apa pun mereka berjuang—hasilnya tetap sama. Mereka tidak akan bisa bersama.

"Lo harusnya sadar, Sa," tegur David dengan suara lembutnya. "Mau sekeras apa pun lo bilang Rasha cuma milik lo—itu gak bakal menghilangkan sebuah fakta kalau kalian berbeda keyakinan."

Dan sekarang Chesa yang terdiam seribu bahasa. Gadis itu memutar kepalanya dan kembali menatap David. Menunggu laki-laki itu untuk kembali melanjutkan ucapannya.

"Mungkin ... apa yang terjadi sekarang adalah pertanda kalau kalian gak bakal bisa bersama selamanya." David membalas tatapan Chesa. Tatapan yang Chesa tidak paham apa maksudnya. Kenapa laki-laki di hadapannya sekarang begitu peduli dengan hubungannya dan Rasha?

"Terima apa yang udah di takdirkan dengan ikhlas, Sa. Dengan begitu lo bisa hidup bahagia," saran David lalu mengangkat tangan kanannya dan bergerak untuk mengusap puncak kepala Chesa dengan lembut. Dan  sedetik kemudian ia berdiri lalu berjalan meninggalkan Chesa sendirian di taman. Meninggalkan Chesa yang terdiam atas perkataan sekaligus perlakuannya.

Chesa benar-benar terdiam.

Apakah dirinya harus berhenti di sini? Sekarang?

•TBC•

See you the next chapter, guys♥️

Salam sayang, Bervi Athalla🌹

Bengkulu, 06 Agustus 2021.

Selat Gibraltar  [COMPLETED] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang