Chapter 2

7.8K 472 2
                                    

"Are you kidding me?" tanya Sabrina, sahabat Tari, dengan muka bingung saat Tari mengatakan padanya akan menikah dengan Devan. Apa hidup memang selucu ini? Setahunya, Tari akan menikah dengan Rayhan, tapi kenapa malah jadinya dengan Devan? Yang notabene adalah kakak kandungnya Rayhan. Hanya saja selisih usia mereka tidak terlalu jauh.

Tari mengangguk dengan yakin, seyakin hatinya untuk menikah dengan Devan.

"Tari, coba kamu pikirkan lagi. Pernikahan itu bukan mainan, yang kamu cintai itu Rayhan, bukan Devan!" tegas Sabrina mengingatkan.

"Iya, aku tahu. Tapi itu dulu, sekarang aku sudah tidak mencintai Rayhan," dusta Tari sambil menyembunyikan perasaannya sejauh mungkin.

Sabrina mencebik. "Aku nggak percaya. Kalian pacaran bertahun-tahun, tapi dengan mudahnya kamu bilang udah nggak cinta lagi? Please, Tari, aku bukan anak kecil yang bisa dibohongi."

"Tapi memang gitu kenyataannya, Sab. Semua rasaku sudah hilang untuk Rayhan."

"Dan rasa itu akan kamu berikan pada Devan?"

"Entahlah," jawab Tari sembari mengembuskan napas berat. Dia juga tidak tahu apa rasa itu akan ada atau tidak akan pernah ada.

Sabrina hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia sama sekali tidak bisa mengerti keputusan kilat yang diambil sahabatnya itu. Sabrina bisa memastikan, Tari mengambil keputusan itu pasti hanya karena emosi dan sakit hati atas apa yang dilakukan Rayhan padanya.

***

"Mungkin kamu hanya salah paham. Sebaiknya kalian bicarakan lagi baik-baik dengan kepala dingin." Ratih, satu-satunya orang tua Tari yang tersisa menasihati saat anaknya itu mengatakan akan menikah dengan Devan, kakak dari calon suami Tari.

"Nggak, Ma, aku nggak salah paham. Bukan orang lain yang mengatakannya padaku, tapi Rayhan sendiri yang membatalkannya. Apa itu bisa disebut salah paham?"

Ratih terdiam kala Tari memukul telak kata-katanya. Sampai saat ini dia masih belum bisa memercayai keputusan setengah gila itu.

Suara bel pintu yang menggema mengalihkan perhatian keduanya. "Biar Mama yang buka," cetus Ratih berinisiatif. Wanita kepala lima itu melangkah keluar dari kamar putrinya.

Seorang lelaki muda dengan setelan jas abu-abu berdiri tegak di hadapan Ratih saat dia membuka pintu. Lelaki berambut klimis itu tersenyum hangat padanya.

"Selamat siang, Ibu Ratih!" sapanya ramah.

"Siang!" balas Ratih, merasa heran karena pria itu mengetahui namanya.

"Saya Bagas, supir Pak Devan, saya diminta Pak Devan ke sini untuk menjemput Mbak Tari." Pria itu mengatakan tujuan kedatangannya.

Ratih tertegun. Matanya melirik Land Cruiser hitam yang terparkir di depan pagar rumahnya demi meyakinkan kalau orang yang berada di hadapannya memang benar supir Devan. Bisa saja dia menipu. Satu-satunya petunjuk bagi Ratih adalah logo huruf DC yang sekilas terlihat di kaca mobil. DC adalah singkatan dari Devan's Company, nama perusahaan yang dipimpin oleh Devan.

"Baiklah, tunggu sebentar, saya akan panggilkan Tari." Ratih berlalu ke dalam, kembali ke kamar anaknya.

Di dalam hati dia bertanya-tanya untuk apa Devan menyuruh orang menjemput anaknya? Apa mungkin untuk mengurus pernikahan mereka yang mendadak itu?

"Sudah pergi tamunya, Ma?" tanya Tari saat Ratih kembali muncul menemuinya.

"Belum. Dia bilang namanya Bagas, supir Devan. Dia ingin menjemput kamu."

"Menjemputku?" tanya Tari bingung. Devan tidak mengatakan apa pun pada dirinya sebelum ini.

"Iya, memangnya kalian mau ke mana?"

Tari mengangkat bahu. Dia juga tidak tahu apa rencana Devan. Setelah mengganti baju, Tari keluar dari kamar menemui Bagas yang sudah menunggu.

"Mbak Tari?" tegur Bagas dengan nada bertanya.

Tari mengangguk membenarkan.

"Pak Devan menyuruh saya menjemput Mbak Tari. Oh iya, kenalkan, saya Bagas, supir Pak Devan."

Tari menyambut uluran tangan Bagas yang mengajaknya berjabatan. "Tari." Perempuan itu menyebutkan nama, lalu menarik tangannya kembali.

"Kalau begitu mari ikut saya sekarang."

"Kita akan ke mana?" tanya Tari. Meskipun Devan yang menyuruh, tapi akan asing rasanya jika dia mengikuti begitu saja tanpa tahu tujuan ke mana Bagas akan membawanya.

"Ke bridal boutique, Mbak."

"Bridal boutique?"

"Iya. Pak Devan meminta saya mengantar Mbak Tari ke sana untuk fitting baju pengantin."

Tari termangu. Dia sudah memiliki gaun pengantinnya sendiri. Gaun putih yang indah dengan ekor menjuntai. Meskipun bukan hasil rancangan desainer ternama, tapi Tari sangat menyukainya.

"Ayo, Mbak Tari!"

Tari tersadar dari lamunan singkatnya saat mendengar suara Bagas. Mungkin tidak akan etis jika dia menikah dengan Devan tetapi menggunakan gaun pilihan Rayhan. "Iya," jawabnya kemudian, lantas berpamitan pada Ratih.

Bagas memperlakukan Tari dengan sangat baik. Pria itu begitu sopan. Bicaranya pun halus. Tapi, sepanjang perjalanan dia tidak banyak bicara karena harus fokus menyetir. Pun dengan Tari, dia memilih diam dan melempar pandangan ke ruas jalan yang mereka lintasi.

Lima belas menit kemudian mereka tiba di Bridal Boutique. Bangunan bertingkat tiga yang berdiri kokoh di hadapannya itu Tari ketahui sebagai butik milik Adjie Sastranegara, yang merupakan seorang desainer ternama. Hasil rancangannya sudah sampai ke berbagai negara. Tidak hanya di Asia, tapi juga di Eropa. Adjie dikenal memiliki banyak prestasi. Dia sempat beberapa kali mengikuti peragaan busana kelas dunia. Tari tahu itu karena sering membaca berita tentangnya.

"Silakan turun dulu, Mbak Tari!" pinta Bagas yang sudah berada di luar membukakan pintu untuk Tari.

"Terima kasih," jawab Tari, lantas turun dari mobil.

Bagas mempersilakan Tari berjalan duluan, dan dengan sigap membukakan pintu butik untuknya.

"Jadi, ini calon istri Pak Devan?" Seorang lelaki berbadan tinggi besar dengan potongan rambut cepak langsung menyambut saat pintu terbuka. Tari mengenalinya sebagai Adjie Sastranegara. Rasanya dia tidak percaya kalau sekarang bisa berhadapan langsung dengan perancang busana penuh prestasi yang selama ini hanya dilihatnya di media.

"Iya, saya Tari." Tari menjawab dan tersenyum canggung.

Sang desainer terlihat mengamati tubuh Tari dari puncak kepala hingga ujung kaki. Tari agak risih dengan tatapan menilai laki-laki itu. Namun, sesaat kemudian kepercayaan dirinya kembali meningkat saat Adjie memujinya.

"Tubuh kamu bagus, wajah kamu juga cantik. Serasi sekali dengan Pak Devan."

"Terima kasih, Mas Adjie," jawab Tari merasa tersanjung. Awalnya dia ragu akan memanggil siapa. Lelaki itu dia pikir terlalu tua untuk dipanggil 'Bapak', sehingga Tari memanggilnya dengan sebutan 'Mas'.

"Ayo, kita lihat-lihat dulu, saya punya banyak koleksi yang cocok untuk kamu."

Tari mengangguk pelan. Dia mencari sosok Bagas yang menghilang tiba-tiba. Tari rasa membutuhkan pria itu. Hanya berdua dengan Adjie membuatnya merasa canggung. Matanya kemudian menangkap sesok Bagas yang sedang menelepon seseorang dan terlihat begitu serius. Entah siapa.

====

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang