Devan berdiri sendiri di beranda dengan tangan terlipat di depan dada. Dia menunggu kedatangan Tari. Sudah dua puluh menit berlalu, tapi masih belum ada tanda-tanda kalau istrinya itu akan tiba. Pasti mereka mampir ke mana-mana dulu. Tidak mungkin tidak. Devan menggeram sendiri menahan kesal dan membendung emosi.
Devan mondar-mandir untuk membunuh waktu. Kenapa hatinya segelisah ini? Rasanya Devan tidak bisa menerima sikap Tari yang bertindak semaunya. Seharusnya tadi Tari minta izin dulu pada Devan. Meskipun Devan sedang tidak berada di rumah, tapi setidaknya Tari bisa meneleponnya sekadar memberitahu kalau dia akan meninggalkan rumah.
Deru mesin mobil membuat Devan memutar tubuh. Land Rover Discovery berwarna putih memasuki halaman rumahnya. Itu mobil Arga. Dan yang dinantinya sejak tadi akhirnya datang juga. Tari turun dari pintu depan sebelah kiri.
"Dari mana saja kamu?" tanya Devan dingin dengan tatapan menyelidik.
"Dari rumah sakit," jawab Tari pelan, berusaha bersikap setenang mungkin meskipun suara Devan terdengar mengintimidasinya.
"Ke rumah sakit mana sampai selama itu? Mana perginya dengan cowok lain lagi, tanpa seizin aku."
"Devan, tadi di jalan macet, antriannya panjang. Aku juga minta maaf karena sudah membawa pergi Tari tanpa bilang kamu dulu, aku kasihan sama kondisi kesehatan Tari, makanya aku bawa dia ke rumah sakit. Lagian bukankah aku sudah meneleponmu dan memberitahu keadaan Tari? Tapi kamu yang bilang lagi sibuk." Arga yang menjawab. Dia tidak suka pada cara Devan menginterogasi Tari.
Devan beralih pada Arga. "Makasih sudah mengantar istriku, sekarang kamu boleh pulang," usirnya halus.
Arga yang merasa Devan tidak suka padanya pun tahu diri. Lelaki itu lalu berpamitan pada Tari. "Tari, aku pulang ya! Kamu jaga kesehatan, jangan banyak pikiran!"
"Iya, Ga, makasih, hati-hati ya!" Tari bisa merasakan tatapan Devan yang mengawasinya. Tapi, dia tidak peduli dan justru menarik langkah ke dalam rumah.
Devan merasa Tari tidak menghargainya. Diikutinya langkah Tari dari belakang sampai masuk ke kamar.
Tari bersikap tak peduli. Dia membuka kantong plastik putih lalu mengeluarkan obat-obatan dari dalamnya. Tetiba, Devan mencekal lengannya yang tentu saja membuat Tari kaget. Matanya menatap Devan dengan sorot bertanya-tanya.
"Aku nggak suka cara kamu, Tari," desis Devan tak kuat lagi menahan kemarahannya sendiri.
"Nggak suka gimana?" balas Tari tak mengerti.
"Jangan kayak orang bodoh, Tari! Harusnya kamu sadar kalo kamu itu istri aku. Kamu nggak boleh keluar rumah tanpa izin aku, apalagi perginya sama laki-laki lain!"
Hah? Apa Tari tidak salah dengar? Apa ada ya orang seegois ini?
"Kamu ngelarang aku ke mana-mana, tapi kamu pergi sesuka hati, bahkan aku sampai bingung harus jawab apa kalau orang-orang pada nanyain kamu ada di mana."
"Jangan ngelawan, Tari, aku nggak suka!" Devan melepaskan cekalan tangannya di lengan Tari dengan kasar. Lelaki itu lalu keluar dari kamar tanpa sempat mengganti baju.
"Dev, kamu mau ke mana?!" seru Tari melihat Devan yang meninggalkannya, tapi suaranya tertelan deru mesin mobil Devan yang menjauh, pergi meninggalkan rumah.
Tari termangu sendiri. Apa dia salah? Kenapa Devan semarah itu padanya? Apa pelan-pelan Devan mulai memperlihatkan sifat aslinya satu demi satu? Egois, keras, dan temperamen?
Tari kembali ke kamar dan berusaha melupakan kejadian barusan. Dia lalu meminum obat dan berharap segera tertidur setelahnya. Merebahkan tubuh di kasur, Tari memainkan ponsel. Iseng, dibukanya sebuah portal hiburan online. Detik itu juga matanya yang meredup sontak melebar saat melihat wajah Devan dan Aurel terpampang nyata di sebuah artikel yang memuat berita tentang konferensi pers perempuan bernama Aurelia Rahardja itu. Namun bukan hal itu yang menarik perhatian Tari, melainkan judul artikel tersebut yang ditulis besar-besar. Seluruhnya caps lock dan bold.
"SAHABAT RASA SUAMI".
Tari tersenyum getir. Hanya itu. Dia tidak akan cemburu atau pun terluka. Toh, dia tidak mencintai Devan. Dia mencoba mengingatkan dirinya sendiri sekali lagi bahwa pernikahan mereka hanyalah status. Tidak perlu ada perasaan apa pun.
***
Apartemen Aurel, 21.00.
Aurel terkejut ketika membuka pintu apartemennya dan menemukan Devan sedang berdiri di sana. Selama sepersekian detik dia tertegun.
"Boleh aku masuk?" Suara Devan yang bertanya mengejutkannya.
"Tentu saja boleh, Dev," jawabnya dengan senyum merekah sempurna, lalu menggamit lengan Devan setelah menutup pintu.
Devan mendudukkan diri di sofa lalu menyandarkan punggung, sementara Aurel menatapnya. Ada kegelisahan yang dia temukan di wajah Devan, tapi dia mencoba mengabaikannya. Aurel tidak peduli alasan apa yang membawa Devan datang ke apartemennya, yang jelas lelaki itu sudah berada bersamanya sekarang.
"Rel, aku haus."
"Oke, tunggu sebentar ya, aku ambilin dulu."
"Yang banyak, Rel..."
"Iya, Dev." Aurel tersenyum manja lantas berlalu ke belakang. Dia tahu apa yang diinginkan Devan. Bukan air putih atau pun kopi. Tapi...
Devan memerhatikan gerakan Aurel yang menuangkan red wine ke dalam gelas bening tinggi. Gerakannya begitu perlahan dan teramat anggun. Ah, perempuan satu ini berhasil mengisi hatinya sampai penuh. Membuatnya lemah, gila, dan nyaris bodoh. Devan yakin bahwa hatinya masih menginginkan Aurel. Sama seperti dulu.
Devan tidak menunda lagi. Dia langsung menyesap minuman yang diberikan padanya hingga habis setengah gelas. Bagi Devan, satu gelas wine tidak akan membuatnya hangover. Biasanya dia baru akan teler setelah menghabiskan gelas ketiga. Ya, tiga.
Aurel ikut menyesap minumannya, lantas menyandarkan kepala ke bahu Devan setelah meletakkan gelas di atas meja. Sedangkan, Devan melingkarkan tangannya ke pundak Aurel dan mengusap-usap mantan kekasihnya itu lembut. Pikirannya mulai menerawang pada kejadian satu bulan yang lalu. Saat itu, hubungannya dengan Aurel merenggang karena kesalahpahaman di antara mereka. Karena tidak ada yang ingin mengalah semua jadi berlarut-larut. Aurel pergi ke New York untuk pemotretan di sana. Saat itu juga Devan mendengar rumor kedekatannya dengan Nick, seorang fotografer pendatang baru yang saat itu bertugas memotret Aurel. Devan menganggap Aurel berkhianat dan membencinya mulai saat itu. Maka, itulah sebabnya dengan tanpa ragu Devan mengajak Tari untuk menikah waktu itu. Siapa sangka semua akan berakhir seperti ini. Dasarnya Devan masih cinta, maka dia pun kembali luluh.
"Tambah lagi, Dev?" tanya Aurel melihat gelas Devan yang sudah kosong. Dia yakin, Devan tidak akan merasa cukup hanya dengan satu gelas.
Devan mengangguk sambil menyalakan api rokok dan menghirupnya dalam-dalam. Lelaki itu lalu mengembuskan asap rokoknya ke depan hidung Aurel. Perempuan itu tertawa dan menerima rokok sisa Devan. Keduanya mengisap sebatang rokok itu secara bergantian. Kebiasaan mereka sejak dulu yang entah kenapa menimbulkan sensasi yang berbeda dan membuat keduanya merasa sama-sama saling membutuhkan.
Devan menyesap sampai tandas gelas kedua minumannya. Lalu, menyambungnya dengan menyesap bibir Aurel yang manis. Gelas ketiga berlanjut setelahnya. Hanya beberapa menit setelah itu Devan merasa kepalanya mulai berat tapi pikirannya begitu ringan. Dia merasa berada di tempat yang sangat tinggi dan butuh tempat untuk berpegangan.
Devan pun tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Dalam beberapa detik, Aurel sudah berada dalam dekapannya. Di bawah selimut, di tempat tidur bersamanya. Mereka menyambung lagi kisah yang sempat tertunda malam itu.
====
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️
Romance[SEBAGIAN CHAPTER TELAH DIHAPUS] Tari dan Devan sama-sama dikhianati pasangan mereka, membuat mereka akhirnya memutuskan untuk menikah. Tanpa rasa cinta. Mereka menjalani kehidupan rumah tangga yang hampa, namun memilih untuk tetap bertahan atas das...