Chapter 16

4.2K 269 1
                                    

Pagi ini Tari merasa badannya tidak seperti biasa. Tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Saat Tari memegang dahinya, dia merasa hangat pada bagian itu. Tari tahu kondisi tubuhnya saat ini sedang menurun. Mungkin sebentar lagi dia akan demam. Hal itu diperkuat lagi dengan badannya yang meriang setelah mandi tadi.

Devan masih belum pulang hingga saat ini, dan Tari mencoba untuk mengabaikannya.

"Mbak Tari sakit? Muka Mbak Tari pucat lho," ujar Inah melihat wajah Tari yang agak pucat saat sarapan di ruang makan.

Tari memegang pipinya, seolah dengan begitu dia bisa membuktikan perkataan Inah.

"Nggak kok, Bi, aku nggak sakit," sangkal Tari membantah.

Inah terlihat kurang percaya, tapi dia tidak ingin mengusik Tari yang pagi ini terlihat sedikit berbeda. Mungkin merasa sedih kalau boleh Inah nilai.

"Bi Inah, Pak Devan sering ya nggak pulang ke rumah?" tanya Tari tidak mampu lagi menyimpan sendiri rasa ingin tahunya.

"Kadang-kadang sih, Mbak, kalau lagi sibuk."

"Terus, apa dia kasih kabar ke Bibi kalo nggak pulang?"

Inah terkekeh geli. "Ya nggak lah, Mbak, memangnya siapa saya?"

Tari tersenyum kikuk, tapi dalam hatinya menggumam perih, 'Kalo gitu nggak ada bedanya sama saya, Bi'.

Tiga puluh menit kemudian Tari sudah berada di kantornya. Berkutat dengan pekerjaannya sebagai salah satu staff back office di sebuah perusahaan multifinance.

"Tari, udah sarapan belum?" tegur Sabrina dari balik kubikelnya.

"Sudah." Tari menjawab dari kubikel yang ukurannya sama dengan punya Sabrina. Di ruangan itu hanya ada mereka bertiga; Tari, Sabrina, dan Rara. Walaupun satu ruangan, namun mereka dipisahkan oleh partisi-partisi.

Tari lalu melakukan tugasnya seperti biasa, menginput data mentah dan memprosesnya menjadi 'siap pakai'.

Baru beberapa menit, Tari sudah merasa matanya perih. Dia mengerjap beberapa kali, dan begitu melihat kembali ke layar komputer, matanya masih sama seperti tadi. Perih dan pedih.

Tidak hanya mata, sekarang kepalanya mulai berat, pun badannya yang menggigil. Tari mengambil jaket yang tersampir di kursi. Jaket itu selalu digunakannya setiap berkendara. Melindungi tubuhnya dari serangan angin.

"Kenapa, Tari?" tanya Sabrina melihat Tari memakai jaket. Dia rasa ruangan mereka tidak terlalu dingin. Temperatur AC pun masih dalam batas normal.

"Aku nggak enak badan, Sab." Tari menjawab jujur.

"Kalo sakit izin pulang aja, Tari."

"Tapi laporanku belum selesai," keluh Tari. Jangankan laporan, bahkan Tari belum siap menginput semua data yang akan diolahnya menjadi laporan. Lagi pula, masih terlalu pagi untuk meminta izin. Tari merasa sungkan meskipun dia tergolong sebagai karyawan yang nyaris tak pernah absen.

"Nggak apa-apa, Tari, kalo sakit nggak usah dipaksakan. Pak Dhanu pasti ngerti kok," ujar Sabrina menyebut nama sang atasan.

Tari mencoba untuk bertahan. Dia pikir apa gunanya di rumah, yang ada dirinya sendiri di kamarnya yang luas. Pikirannya pasti akan bertambah kacau di sana. Jadi, lebih baik dia tetap bertahan di tempatnya sekarang.

"Aku rasa aku masih bisa, Sab, nanti kalo udah nggak sanggup lagi aku baru pulang," ujar Tari bersikukuh dengan pendiriannya.

Sabrina tidak memaksa. Dia mulai membangun konsentrasi untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Tari pun demikian. Matanya berpindah-pindah dari kertas-kertas berisi data penjualan ke layar monitor komputer di hadapannya. Yang dirasakannya sekarang tidak hanya perih. Pandangannya mulai memburam. Apa pun yang tertangkap oleh matanya berubah menjadi dua dan membentuk bayangan sendiri. Tari masih bisa mendengar suara printer dot matrix yang bersumber dari kubikel Sabrina. Setelahnya, dia tidak tahu apa-apa lagi.

***

Tari terheran-heran sendiri saat membuka mata dan menyaksikan dirinya sudah berada di kamar. Di rumahnya. Matanya dengan jelas melihat pajangan bendera Prancis di atas meja kerja Devan. Ya, ini memang di rumahnya. Lebih tepat lagi rumah Devan.

Seingatnya tadi dia sedang berada di kantor, di depan layar komputer dan disibukkan dengan rutinitasnya seperti biasa.

"Mbak Tari, sudah bangun?" Suara itu berasal dari sisi kanannya. Saat Tari menoleh, dia melihat Inah. Ternyata perempuan itu yang bicara padanya.

"Bi Inah, kenapa aku bisa ada di rumah?" tanya Tari heran. Pikirannya mengurai ingatan tentang kronologi kejadian yang baru saja menimpanya.

"Tadi Mbak Tari pingsan di kantor, terus teman-teman Mbak Tari yang mengantar ke sini. Dokter tadi juga sudah memeriksa," jelas Inah memberitahu.

Tari sudah ingat sekarang. Tadi dia memang merasa pusing, pandangannya tetiba buram, ditambah lagi dengan kepalanya yang berat membuat Tari tidak sanggup untuk bertahan.

"Jangan-jangan Mbak Tari hamil," celetuk Inah dengan senyum di bibir.

Tari tersenyum kecut. Hamil? Bagaimana mungkin dia bisa hamil, sedangkan Devan sama sekali tidak menyentuhnya. Kalau pun Devan melakukan hal itu padanya pasti mereka akan merasa canggung satu sama lain.

"Nggak mungkin, Bi," bantah Tari mematahkan dugaan Inah.

"Kenapa nggak mungkin? Mbak Tari nggak menunda, kan?"

"Iya, Bi, aku menundanya," jawab Tari berbohong.

Inah menampakkan wajah kecewa. "Kenapa ditunda, Mbak? Sayang lho, mumpung Mbak Tari masih muda."

"Eh, iya, Bi, paling cuma satu tahun ini." Tari berdusta lagi demi menyempurnakan kebohongannya yang pertama.

"Asal jangan lama-lama aja, Mbak Tari, nanti kalo kelamaan jadinya susah," kata Inah menasihati.

"Iya, Bi," tandas Tari, berharap Inah tidak akan membahas masalah kehamilan lagi.

Devan yang baru datang dan masuk ke kamar menghentikan percakapan keduanya. Tahu diri, Inah segera keluar.

"Kamu kenapa rebahan? Nggak kerja?" tanya Devan sepintas lalu pada Tari.

"Tadi aku udah ke kantor, Dev, tapi pingsan, terus teman-teman mengantarku pulang."

"Pingsan? Teman-teman kamu gimana sih? Kenapa malah diantar pulang? Bukannya ke rumah sakit?"

"Bi Inah bilang tadi aku sempat diperiksa dokter."

"Ooo..." respons Devan, tanpa ingin tahu penyebab kenapa istrinya itu sampai pingsan. Lelaki itu membuka lemari dan mengambil beberapa helai baju, lalu memasukkan ke dalam travel bag kecil. Dia tampak sangat terburu-buru.

"Dev, kamu mau ke mana?" tanya Tari.

"Aku ada urusan."

"Jadi, nggak tidur di rumah?"

"Nggak."

Tari termangu setelah Devan pergi. Sudah seharusnya seperti ini, dan dia harus tahu diri, tidak boleh meminta lebih.

====

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang