Chapter 27

3.8K 221 0
                                        

"Mbak, make up-nya jangan terlalu tebal, ya!" pinta Tari saat Yanti mulai mendandaninya. Tari biasanya hanya menggunakan riasan minimalis dalam kesehariannya.

"Nggak kok, Mbak," jawab Yanti sambil terus mendandani Tari. Yanti memang menyapukan blush on tipis-tipis di wajah Tari. Perempuan itu menonjolkan bagian bibir dengan memberi sentuhan bold melalui polesan lipstik warna merah terang di bibir Tari, hampir senada dengan gaunnya.

"Ini bukan aku banget," gumam Tari menatap pantulan dirinya sendiri di depan cermin.

"Gimana, Mbak Tari suka?" tanya Yanti meminta pendapat atas hasil kreasinya.

Tari mengangguk. Selama ini dia selalu menggunakan warna-warna soft untuk riasannya. Dia belum terlalu percaya diri untuk tampil menonjol dengan riasan yang lebih berani. "Makasih ya, Mbak," ujar Tari setelahnya.

"Sama-sama, Mbak." Yanti tersenyum puas. Ikut bahagia melihat Tari yang merasa senang.

Untuk kedua kalinya, Devan terkaget-kaget melihat penampilan Tari yang kini berjarak tak lebih dari satu meter dengannya.

Tari menggigit bibir melihat Devan yang membatu. Khawatir kalau kali ini Devan tidak menyukai penampilannya lagi.

"Gimana, Dev?" tanya Tari meminta pendapat. Dia harap jawaban yang akan didengarkannya bisa membangkitkan mood-nya hari ini.

Devan memandang lurus pada Tari, mengamati inci demi inci bagian wajah istrinya itu. Tari terlihat berbeda dari hari-hari biasanya. Kalau sehari-hari dia lebih sering tampil natural cenderung polos, kali ini dia terlihat seperti seorang foto model yang baru saja dirias oleh MUA profesional.

"Dev, gimana?" ulang Tari sekali lagi kala melihat Devan yang mematung sambil terus memandanginya.

Devan yang masih termangu dan memandang Tari tanpa kedip, kini mengerjapkan mata. "Nggak cocok. Baju kamu sudah merah, masa lipstiknya juga merah lagi. Kecuali kalo baju kamu warnanya gelap, itu baru cocok pake lipstik terang kayak gitu," komentar Devan.

Tari masih berdiri di tempatnya sambil memegang bibirnya sendiri. Sementara Devan sudah bergerak keluar, masuk ke dalam mobil. Segenap kepercayaan diri Tari hampir saja runtuh oleh tanggapan Devan. Tapi, Tari mencoba menganggap Devan tidak berkata apa pun. Dia langsung teringat Taylor Swift yang sudah lekat dengan signature style bibir merahnya yang juga kerap dipadu dengan baju-baju berwarna merah atau terang lainnya. Tidak ada yang salah. Memang pada dasarnya Devan saja yang tidak suka, sehingga apa pun yang Tari lakukan tidak ada yang benar dan bagus di matanya.

Sadar dari lamunannya, Tari beranjak. Di mobil, Devan dan Bagas sudah menunggunya. Devan diam saja seraya melempar pandangan ke luar. Sementara itu, Bagas melirik dan melontarkan pujian.

"Cantik, Mbak Tari," ujar lelaki itu sambil tersenyum.

"Makasih, Gas," balas Tari atas sanjungan itu.

Devan masih membuang mata ke luar, dan itu berlangsung hampir sepanjang perjalanan mereka ke rumah.

***

Pukul tujuh malam lewat dua puluh menit, Devan dan Tari sudah berada di Violet Hotel. Acara gala dinner itu diadakan di sana. Anthonie adalah salah seorang teman Devan yang juga merupakan pengusaha jam tangan mahal. Dia baru saja meluncurkan produk teranyarnya. Jam tangan yang terbuat dari berlian dipadu dengan asterit yang diklaim tidak akan hancur kendati digilas beban hingga seberat satu ton.

Awalnya, Devan dan Tari berjalan saling berjauhan. Namun, saat tiba di pintu masuk ruangan acara itu akan diadakan, Devan langsung merangkul Tari dan merapatkan jarak dengannya. Tari terkesiap. Tidak menyangka aksi tiba-tiba Devan. Untung saja, tubuhnya langsung menyesuaikan diri. Tari bersikap sewajarnya. Dia cukup pintar untuk mengetahui apa tujuan Devan melakukan semua ini. Sebagai seseorang yang di mata publik mempunyai nama baik, tentu saja Devan ingin reputasinya tetap terjaga. Setidaknya Devan pasti ingin menunjukkan pada orang-orang bahwa dia mempunyai istri yang cantik dan kehidupan pernikahan yang harmonis.

Dari jauh, seorang pria berbadan bongsor dan berkepala botak lengkap dengan kacamata bulatnya yang kecil melempar senyum pada pasangan itu, atau lebih tepatnya pada Devan. Mereka sama-sama berjalan menghampiri, lalu berjabatan tangan.

"Apa kabar, Pak Devan?" tanya pria itu.

"Baik, Pak Anthonie," jawab Devan seraya tersenyum ramah. Tari bahkan tidak pernah melihat Devan tersenyum sehangat ini pada orang lain, termasuk pada dirinya.

"Oh iya, ini istri anda ya? Maaf saya tidak bisa datang waktu anda menikah. Kebetulan waktu itu saya sedang berada di luar negeri." Anthonie melirik Tari yang berdiri di sebelah Devan.

"Iya, Pak, nggak apa-apa kok. Kenalkan ini Tari, istri saya." Devan menyikut tangan Tari agar segera bersalaman dengan Anthonie.

Mengerti kode dari Devan, Tari pun mengulurkan tangan untuk berjabatan dengan lelaki itu sambil menyebutkan nama.

"Cantik sekali istri anda, Pak Devan," puji Anthonie dengan tatapan kagum pada Tari. "Kalian pasangan yang serasi. Anda sangat beruntung, Pak."

"Makasih, Pak Anthonie. Saya memang sangat beruntung memilikinya," balas Devan dengan senyum yang semakin lebar. Tangannya yang tadi berada di pinggang Tari, sekarang naik mengusap-usap punggung perempuan itu.

Tari yang malam itu tampak hampir sejajar dengan Devan karena high heels setinggi delapan senti yang menopang kakinya ikut tersenyum. Perempuan itu mengikuti alur drama yang Devan mainkan.

"Long last, ya!" ucap Anthonie menabur harapan. Dia pikir pasangan sempurna seperti Devan dan Tari pastilah akan selalu langgeng dan harmonis. "Semoga cepat diberi momongan," ujarnya sebelum meninggalkan keduanya untuk menemui tamunya yang lain.

Baru selangkah Anthonie berjalan, Devan segera menjauhkan tangannya dari tubuh Tari, lalu melebarkan jarak di antara mereka. Tak masalah bagi Tari. Justru tindakan Devan tadi yang berpura-pura mesra padanya membuatnya merasa tidak nyaman.

Keduanya lalu duduk di kursi yang melingkari sebuah meja bundar. Devan terlihat mengedarkan mata ke setiap penjuru ruangan. Entah apa yang dicarinya, Tari tidak tahu. Tari ikut memandang ke sekelilingnya. Berharap di antara orang-orang yang hadir malam itu ada yang mengenalinya. Atau setidaknya, ada yang dia kenal. Nyatanya, yang dilihatnya di sana adalah wajah-wajah asing yang belum pernah dia temui. Dan, Tari tidak akan heran karena lingkup pergaulannya dengan Devan sudah jelas berbeda.

"Devan!"

Devan dan Tari sama-sama menoleh ke sumber suara. Saat itu juga mereka melihat seorang perempuan muda, cantik dan bertubuh ramping datang menghampiri. Dengan jelas mata Tari menangkap seulas senyum di bibir Devan begitu melihat perempuan itu.

"Aurel, kamu di sini juga?" tanya Devan.

Aurel mengangguk senang dan duduk di sebelah Devan, di tengah-tengah, di antara Devan dan Tari. Perempuan itu duduk menyamping ke arah Devan dan memunggungi Tari. "Kenapa nggak bilang dulu kalo mau ke sini, Dev? Tahu gitu kita kan bisa barengan..."

Suara manja Aurel menggema di telinga Tari. Tapi, perempuan kuat itu tetap bersikap wajar. Tidak ada rona cemburu di wajahnya atau pun kesal, meskipun dia mendengar semua percakapan suaminya dan wanita masa lalunya.

"Kamu bilang lagi sibuk, makanya aku nggak ajak kamu ke sini." Devan beralasan. Lelaki itu cukup cerdik. Dia tidak mau mengambil risiko dengan memamerkan perempuan yang bukan istrinya ke hadapan publik. Mungkin dia bisa saja mengajak Aurel ke luar daerah seperti saat mereka ke Bali tempo hari. Tapi setidaknya, di sana lebih minim risiko karena lebih sedikit orang yang mengenalinya.

====

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang