Chapter 48

4K 221 7
                                    

Meski Tari merasa kondisinya setelah malam eksekusi itu masih belum membaik, tapi hari ini dia tetap memaksakan diri untuk bekerja. Mungkin terlalu berlebihan, tapi jujur saja sampai saat ini Tari masih merasa sakit di bagian selangkangannya. Sebegitu hebat Devan menyakitinya. Bukan hanya hati, tapi fisiknya juga.

"Kamu yakin udah benar-benar sehat?" tanya Arga saat bertemu Tari pagi itu di kantor. Tari terlihat sedikit lesu, hanya saja berusaha dia samarkan.

"Udah, Arga, lagian aku nggak sakit kok, cuma nggak enak badan biasa."

"Terus tadi ke sini kamu pake apa?"

"Pake taksi, Arga."

"Tahu kayak gitu mending aku jemput kamu."

Tari tersenyum tipis. Dia membayangkan jarak rumahnya dan rumah Arga yang berlawanan arah.

"Oh iya, kemarin Devan telfon, dia nanyain kamu," ucap Arga memberitahu. Hingga sekarang masih terngiang di telinganya betapa keras suara Devan saat menyergahnya.

"Terus, dia bilang apa?"

"Ya gitu deh, dia marah kayaknya."

Tari tersenyum kecut. Memangnya apa lagi yang bisa Devan lakukan selain marah-marah, ngamuk dan membentak-bentak?

"Terus gimana? Apa dia menjemput kamu?"

Tari menggeleng. "Nggak, Arga, yang datang malah supirnya. Dia mana berani jemput aku. Jatuh dong harga dirinya. Iya, kan?"

Arga dan Tari sama-sama mentertawakan Devan. Ada ya orang kayak gitu? Bahkan hingga sekarang, Tari rasanya masih belum percaya kalau Devan adalah suaminya. Manusia paling absurd, aneh, sombong, dan entah apa lagi sebutan yang cocok untuk menamakannya.

Keduanya kemudian sama-sama menyimpan tawa. Arga yang tetiba ingat sesuatu mengatakannya pada Tari.

"Tari, nanti malam kamu bisa nggak menemaniku?"

"Ke mana, Arga?" Tari rasa dia butuh udara segar. Jujur saja, berada di rumah Ratih membuatnya merasa pengap. Tapi pulang ke rumah Devan akan sama saja. Ketahanan jantung dan hatinya begitu diuji di sana.

"Ke wedding party temanku. Gimana? Bisa?"

"Hmmm... gimana ya? Tapi Luna ikut juga apa nggak?"

"Kalau kamu mau kita ajak dia. Itu kalau kamu nggak keberatan sih."

"Ya, nggaklah! Aku malah senang kali..."

Arga tersenyum senang. Setelah sekian lama dia selalu tampil solo di setiap acara sehingga menjadi bahan olokan teman-temannya, akhirnya nanti ada yang mendampinginya.

"Okay, berarti fix ya?"

"Yup!" jawab Tari. Perempuan itu kemudian langsung teringat suaminya sendiri. Beberapa kali pergi dengan Devan, lelaki itu selalu meninggalkannya karena orang yang sama. Mungkin dia akan merasa sakit kalau saja dia mencintai Devan. Beruntung, hatinya sudah mati rasa.

***

Bara membuka pintu apartemennya. Dan tidak berbeda dengan tadi pagi, dia masih menemukan hal yang sama. Devan masih tidur dan meringkuk di bawah selimut.

"Devan...! Devan...!"

Sayup-sayup, Devan mendengar namanya dipanggil seseorang. Ingin membuka mata, tapi terasa begitu berat. Seperti diberi perekat yang membuatnya menempel dan tidak bisa dibuka.

"Dev... Devan..., udah jam dua belas, Dev..." Suara itu terdengar lagi, kali ini bersamaan dengan tubuhnya yang diguncang-guncang.

Devan berdeham guna menjernihkan suaranya yang keruh, lalu membuka mata pelan-pelan. Susah payah dikumpulkannya nyawa. Juga serpihan ingatan yang berserakan.

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang