Chapter 9

4.6K 345 1
                                    

"Mewah sekali!" Itu komentar pertama yang keluar dari mulut Ratih saat datang mengunjungi Tari di istana barunya yang megah.

"How lucky you are, Sis!" Sandra, adik Tari satu-satunya memandang takjub ke sekeliling rumah Devan. Interior yang unik serta furnitur klasik menjadikannya sebagai perpaduan yang sempurna.

Tari tersenyum tipis. Dia memikirkan Devan yang hingga saat ini masih belum pulang padahal sudah malam. Sayangnya, Tari tidak tahu bahwa Devan sudah biasa pulang malam bahkan larut malam. Bahkan, tak jarang lelaki itu juga tidak pulang ke rumah.

"Oh iya, Tari, Devan mana?" Ratih bertanya karena sejak datang tadi tidak melihat sosok sang menantu.

"Belum pulang, Ma, mungkin masih di kantor."

"Mungkin?" ulang Ratih demi meyakinkan pendengarannya. Dahinya pun berkerut. "Kenapa mungkin? Seharusnya kamu tahu suami kamu sedang berada di mana." Bagi Ratih, kata 'mungkin' adalah jawaban yang tidak pasti.

"Aku tadi lupa tanya, Ma. Biar aku telepon Devan dulu."

Tari mengambil handphone dan baru saja akan menelepon Devan ketika terdengar deru mesin mobil yang memasuki halaman rumah. Ternyata Devan yang pulang. Jujur saja, Tari menjadi lega.

"Malam, Tante! Sudah lama?" sapa Devan pada Ratih. Tidak terlalu ramah, tapi juga tidak bisa dibilang biasa saja. Devan menunjukkan kalau dia cukup menghargai orang tua Tari.

"Belum terlalu lama, kamu baru pulang?"

"Iya, Tante, saya agak sibuk di kantor, makanya baru bisa pulang." Devan beralasan. Dan, wajah lelahnya mendukung untuk hal itu.

"Devan, mulai sekarang nggak usah panggil tante lagi, panggil mama saja sama seperti Tari."

"Oh, iya, Mama," ujar Devan dengan lidah kelu. Sepertinya mulai saat ini dia harus membiasakan diri dengan panggilan tersebut.

Ratih tersenyum senang. Kalau seperti ini lebih enak didengar, dan kesannya pun lebih dekat seperti sebuah keluarga.

"Ma, saya ke dalam dulu ya, mau mandi," ujar Devan sambil menunjuk ke arah kamar.

"Silakan, Devan!" Ratih tersenyum pada Devan yang dibalas lelaki itu dengan lengkungan samar di bibir.

Ketiganya menatap Devan yang pergi meninggalkan mereka dengan berbagai pikiran yang tersimpan di kepala masing-masing.

"Tari, kenapa diam saja?" tegur Ratih pada Tari yang mematung.

Tari memandang pada Ratih dengan sorot mata meminta penjelasan dari pertanyaan Ratih sebelumnya.

"Tari!" tegur Ratih sekali lagi.

"Iya, Ma, kenapa?"

"Kenapa masih di sini? Siapkan baju suami kamu!"

"Sekarang, Ma?"

"Iya, Tari..."

Tari mengangguk cepat dan berniat beranjak, tetapi Ratih buru-buru mencekal lengannya.

"Iya, Ma?"

"Tari, kamu beruntung menikah dengan Devan. Kamu harus jaga dia baik-baik. Kamu harus melayaninya sepenuh hati. Kamu harus melaksanakan tugas kamu sebagai istri sebaik mungkin," ucap Ratih menasihati.

"Iya, Ma, aku akan selalu ingat pesan Mama."

"Kalau begitu Mama pulang dulu, ya! Tolong sampaikan sama Devan."

"Nggak nanti aja, Ma?"

"Nggak usah, udah malam. Kapan-kapan Mama ke sini lagi.

"Aku juga pulang dulu, Kak." Sandra ikut berpamitan.

"Hati-hati, ya!"

Setelah mengantar Ratih dan Sandra sampai ke depan rumah, Tari masuk ke kamar. Ternyata Devan sudah selesai mandi dan memakai pakaian. Bukan pakaian harian, tapi setelan jas semi-formal.

"Dev, kamu mau ke mana?" Tari memberanikan diri untuk bertanya.

"Tari, ikut aku ke pesta sekarang!"

"Pesta apa, Dev? Pernikahan?"

"Bukan. Temanku baru saja menang tender, jadi dia merayakannya," jelas Devan agar Tari mengerti.

"Oh. Iya, Dev."

"Aku tunggu di depan." Devan lalu keluar dari kamar, meninggalkan Tari sendiri.

Tari membuka lemari, mencari pakaian yang pantas digunakan untuk menghadiri pesta tersebut. Hampir semua pakaiannya terlihat biasa dan tidak ada yang istimewa. Tari mengambil sehelai midi dress berwarna coklat. Gaun andalannya sejak lama setiap kali mendatangi acara-acara penting.

Tari ingat, dress yang kini sudah melekat di tubuhnya itu dibeli di sebuah butik saat dia menerima bonus dari perusahaan atas kinerjanya yang memuaskan kala itu. Modelnya simpel tapi Tari sangat menyukainya.

Merasa penampilannya sudah oke, Tari keluar dari kamar. Mungkin Devan sudah tidak sabar menunggunya.

Benar dugaan Tari. Devan sudah menunggu di dalam mobil yang menyala. Tanpa Bagas.

"Maaf, agak lama," kata Tari setelah masuk dan duduk di sebelah Devan.

"Nggak apa-apa," jawab Devan tanpa menoleh. Pandangannya lurus ke depan.

Sepanjang perjalanan itu tidak ada yang bersuara. Padahal Tari ingin meminta pendapat Devan mengenai penampilannya. Tari masih ingat, dulu Rayhan selalu mengomentari apa pun yang melekat di tubuhnya. Rayhan adalah teman berbagi sekaligus pendengar yang baik. Tari bisa mengadu mengenai apa saja padanya tanpa sungkan sama sekali. Ya, Rayhan dan Devan begitu kontras. Tapi, apa gunanya mengingat-ingat lagi kenangan menyakitkan itu? Ya, kan?

Pesta teman Devan diadakan di lounge sebuah hotel. Nyali Tari langsung menciut. Dia merasa kecil dan kerdil. Semua yang berada di sana kelihatannya adalah orang-orang penting. Yang laki-laki terlihat gagah dan berwibawa. Sementara yang perempuan terlihat sangat cantik, seksi, dan pakaian yang mereka gunakan pun sudah dipastikan tidak murah. Mereka datang dari kalangan kelas atas. Begitulah kesimpulan Tari.

"Devan!"

Devan dan Tari serentak menoleh pada sumber suara. Seorang wanita cantik dengan rambut coklat gelap, curly dan panjang mendekati keduanya. Senyumnya merekah sempurna melihat Devan. Tapi tidak dengan Devan. Air mukanya mengeruh dan terlihat tidak suka.

"Dev, apa kabar? Aku baru nyampe tadi siang. Dua minggu ini aku pemotretan di New York. Kamu tahu nggak? Aku datang-datang langsung shock begitu dengar berita tentang kamu. Katanya kamu sudah menikah. Tolong bilang sama aku sekarang, Dev, kalo berita itu nggak benar."

"Berita itu benar," sahut Devan dingin. "Aku sudah menikah, dan ini istriku."

Perempuan yang sejak tadi hanya terfokus pada Devan, kini mengarah pada Tari. Matanya yang menjelajahi Tari dari atas hingga bawah membuat Tari lagi-lagi merasa terintimidasi.

"Istri kamu?" tanya perempuan itu tidak percaya setelah beralih kembali pada Devan.

"Iya, Aurel, ini istriku, namanya Tari."

Perempuan bernama lengkap Aurelia Rahardja itu menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. "Nggak mungkin, Dev. Kamu nggak akan menikahi perempuan semacam ini. Tolong bilang sekarang kamu lagi bercanda kan, Dev?"

Tari merasa ada yang menusuk-nusuk jantungnya saat mendengar kalimat 'perempuan semacam ini'. Terlebih sekarang, Devan pergi meninggalkannya saat Aurel menarik tangan suaminya itu. Entah ke mana.

====

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang