Tari mondar-mandir sendiri di kamarnya yang luas dan besar. Sudah lewat jam dua malam, tapi hingga detik ini Devan masih belum pulang. Tidak ada kabar apa pun dari lelaki itu, semisal sebaris pesan singkat. Tapi, bukankah Devan tidak pernah memberinya kabar? Apa pun yang terjadi, Devan tidak akan peduli. Tari kembali mengingatkan diri bahwa mereka adalah dua orang asing yang disatukan dalam sebuah ruangan.
'Kenapa aku harus khawatir? Dia saja tidak pernah mempedulikanku.'
Atas pemikirannya barusan, maka Tari pun mencoba untuk tidur setelah merebahkan diri di tempat tidur. Diusapnya permukaan kasur yang kosong dan dingin. Sama dinginnya dengan hatinya saat ini. Semestinya Tari tidak perlu cemas, nyatanya dia sangat mengkhawatirkan Devan. Di mana Devan menginap sekarang? Apa di tempat perempuan itu?
Pernikahan macam apa ini? Sampai kapan akan seperti ini?
Tari larut dalam pikirannya sendiri. Entah berapa lama, sampai akhirnya dia tertidur sambil memeluk guling.
***
"Devan, bangun!"
Sayup-sayup Devan mendengar namanya didengungkan seseorang. Devan mencoba untuk membuka mata. Tapi, sungguh terasa berat.
"Devan! Bangun! Katanya kamu ada meeting pagi ini."
Kalau saja tidak mendengar kata 'meeting', mungkin Devan tidak akan mau membuka matanya yang terpejam. Pusing. Rasa itu dirasakan Devan setelah kelopak yang dengan susah payah dia gerakkan akhirnya terbuka.
Bara, lelaki berambut cepak dengan kulit sawo matang adalah orang pertama yang Devan lihat. Lelaki yang dimaksud bisa dikatakan salah satu sahabat sekaligus orang suruhan Devan.
Setelah nyawanya terkumpul, Devan mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi tadi malam. Terakhir diingatnya dia sedang berada di depan apartemen Aurel. Perempuan itu memaksa Devan agar menginap di apartemennya. Beruntung, Devan bisa bertahan dan menolak. Dari sana, Devan tidak pulang tapi mengajak Bara clubbing guna melepas stres. Dan, di sinilah dia berada pagi ini. Di apartemen Bara.
Tertatih Devan melangkah ke kamar mandi untuk mencuci muka. Hangover sisa semalam membuatnya kehilangan keseimbangan. Devan hampir saja terjatuh, untung dia segera berpegangan pada dinding.
"Kamu yakin akan pulang sendiri, Dev?" tanya Bara melihat keadaan Devan yang belum stabil.
"Kamu tenang saja, Bar, aku bisa kok," jawab Devan mencoba berdiri tegak agar Bara percaya kalau kondisinya sudah kembali seperti semula.
Meski ragu, akhirnya Bara melepas Devan. Ini bukan pertama kalinya Devan mabuk dan sejauh ini dia mampu mengatasinya sendiri.
***
Tari baru siap mandi dan masih memakai handuk ketika Devan datang. Refleks, Tari mundur selangkah sambil menyilangkan tangan di dada. Setelah mengambil pakaian kerja dari dalam lemari, Tari kembali masuk ke kamar mandi untuk memakai baju. Dia merasa risih melakukannya di depan Devan. Dan begitu Tari keluar dari kamar mandi, dia melihat Devan duduk di tepi tempat tidur sambil memegang pelipisnya dengan ekspresi meringis.
Tari mendekatinya dan berkata, "Dev, kenapa? Kamu dari mana saja? Kenapa kamu ninggalin aku tadi malam? Kamu nginap di mana, Dev?"
"Itu bukan urusan kamu, Tari!" sergah Devan setelah mengangkat wajah.
Tari tersentak dengan ucapan keras Devan. Dia berpikir sendiri, apa kesalahannya? Apa dia sudah salah bicara?
"Dev, aku minta maaf, tapi aku cuma nanya, Dev, tadi malam kamu tidur di mana?"
Devan berdiri dan memandang Tari lekat-lekat. "Dengar, Tari, aku ingatkan lagi sama kamu, pernikahan kita hanya status. Kamu nggak berhak mengatur dan mencampuri hidup aku. Ngerti?"
Tari mundur selangkah saat menghirup aroma alkohol yang sangat menusuk menguar dari mulut Devan dan terhirup oleh hidungnya. Dia mengerti sekarang, pasti semalam Devan mabuk dan terbawa-bawa hingga saat ini.
Tari pernah dengar dari Rayhan kalau orang yang sedang mabuk suka bicara sembarangan di luar batas kesadarannya. Tari berusaha memahami hal itu dan tidak mengambil hati ucapan Devan barusan. Tapi, mau tidak mau, Tari mulai membandingkan antara Devan dan Rayhan. Meskipun secara kehidupan Rayhan biasa saja, tapi dia sangat baik, tidak pernah bicara kasar dan keras, tidak pernah mabuk-mabukkan seperti Devan. Andai saja Rayhan tidak meninggalkannya dan memilih untuk menikah dengan yang lain, mungkin hidup mereka sekarang sudah sangat bahagia. Mengingat itu semua dada Tari kembali terasa sesak. Segera dinetralisir perasaannya agar kembali stabil.
"Dev, baju kamu udah aku siapin untuk kerja nanti, aku duluan ya!" Tari menyambar tas, lantas keluar dari kamar.
Tari melewatkan sarapan pagi. Dia sudah kehilangan selera. Mungkin nanti kalau perutnya lapar Tari akan membeli semangkuk bubur ayam atau seporsi mi ayam yang dijual di pinggir jalan di dekat kantornya.
"Pagi, Mbak Tari!" sapa Bagas saat Tari sampai di depan rumah.
"Pagi!" balas Tari sekenanya. Walaupun sudah mencoba untuk tidak mengambil hati, nyatanya ucapan Devan tadi cukup mengganggu mood Tari.
Tari lalu mengeluarkan motor matic merahnya dari dalam garasi. Motor itu Sandra yang mengantar kemarin.
Bagas terheran-heran melihat Tari yang kini sedang memanaskan mesin motornya. "Mbak Tari mau ke kantor pake motor?"
"Iya, Gas."
"Nggak usah, Mbak, biar saya saja yang antar." Bagas menawarkan diri. Dia rasa tidak pantas istri seorang pengusaha sukses seperti Devan masih menggunakan kendaraan roda dua ke mana-mana.
"Makasih, Gas, tapi nggak usah, saya pake motor saja," tolak Tari, kemudian naik ke motornya dan melaju keluar setelah meninggalkan segaris senyum selamat pagi.
Bagas terpaku di tempatnya berdiri menyaksikan kepergian Tari, hingga akhirnya dia mendengar dehaman seseorang.
"Pak Devan, sudah siap, Pak?" sapanya saat melihat Devan berdiri di dekatnya dengan pakaian rapi. Devan terlihat segar dengan rambut setengah basah. Entah sejak kapan Devan berdiri di sana. Bagas tidak tahu karena terlalu fokus memperhatikan Tari.
Devan mengangguk kecil, lalu masuk ke mobil setelah Bagas membukakan pintu untuknya.
Dari spion tengah Bagas melirik pada Devan yang duduk di jok belakang. Wajah Devan terlihat datar dan nyaris tanpa ekspresi. Bagas kesulitan untuk membaca mood Devan pagi ini. Namun, dia memberanikan diri untuk bertanya.
"Pak, apa Pak Devan tadi melihat Mbak Tari berangkat pake motor?"
"Ya," sahut Devan singkat.
"Pak, apa itu nggak masalah?" Entah kenapa Bagas yang merasa khawatir. Dia merasa berkewajiban untuk menjaga reputasi sang atasan.
"Apa salahnya? Biarkan saja dia sesukanya."
"Tapi kalau orang-orang tahu gimana, Pak?" ucap Bagas khawatir.
"Aku nggak peduli. Persetan dengan orang-orang." Ekspresi Devan masih seperti tadi.
Bagas kembali melihat spion untuk memandang Devan. Lelaki itu kini memakai sunglasses dan memandang ke arah jalan. Sama seperti biasanya kalau sudah seperti itu Devan tidak ingin diajak berbicara banyak.
====
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️
Romance[SEBAGIAN CHAPTER TELAH DIHAPUS] Tari dan Devan sama-sama dikhianati pasangan mereka, membuat mereka akhirnya memutuskan untuk menikah. Tanpa rasa cinta. Mereka menjalani kehidupan rumah tangga yang hampa, namun memilih untuk tetap bertahan atas das...