Tari menatap kantong-kantong belanjaan yang tersusun di lantai dengan berbagai pikiran. Setelah mereka pulang dari dokter tadi, Devan mengajaknya belanja membeli beraneka perlengkapan bayi. Mulai dari pakaian, peralatan mandi hingga tempat tidurnya.
Tari tidak menyangka kalau Devan akan menjadi seantusias itu menyambut kehadiran calon anak pertama mereka.
"Dev, kita mau ke mana?" Tari bertanya saat tadi Devan tidak langsung mengajaknya pulang.
"Kita belanja dulu untuk Belle."
"Belle? Belle siapa?" tanya Tari dengan dahi berkerut. Dia rasa Devan belum pernah menyebut nama itu sebelumnya ataupun menceritakan padanya.
"Bellevia," jawab Devan lagi. Kalimatnya yang sepotong-sepotong membuat Tari gemas dan penasaran.
"Dev, tolong kalau ngomong itu yang jelas. Jangan setengah-setengah. Aku kan nggak ngerti."
Devan yang sedang menyetir menoleh pada Tari. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. "Bellevia Aliane Darrell. Itu nama anak kita nanti. Panggilannya Belle. Bellevia atau Belle dalam bahasa Prancis itu artinya perempuan yang cantik, sedangkan Aliane itu artinya perempuan yang berhati mulia dan ramah. Jadi nanti dia akan tumbuh menjadi anak perempuan berwajah cantik, berhati mulia dan juga ramah. Perfect kan, Yang? Sama kayak kamu."
Ya ampun! Entah mengapa akhir-akhir ini setiap Devan memujinya Tari sangat mudah meleleh, seperti lilin yang terbakar api.
"Iya, Dev. Tapi apa ini nggak terlalu cepat? Baru empat bulan, Dev. Pamali kalau kata orang," ucap Tari khawatir sambil memegang perutnya. Memang sih anggapan membeli atau menyediakan perlengkapan bayi sebelum usianya tujuh bulan atau mendekati hari lahir sepertinya hanya mitos yang sejak dulu berkembang dalam masyarakat. Tapi mau tidak mau Tari tetap merasa was-was.
"Pamali apaan? Kamu jangan kayak nenek-nenek mikirnya kolot gitu," tangkis Devan menepis asumsi Tari.
"Dev, ini bukan soal pemikiran yang kolot ataupun kayak nenek-nenek, tapi menurutku ada benarnya juga. Masalahnya baru empat bulan, masih banyak kemungkinan bisa terjadi."
"Jadi kamu mau yang aneh-aneh terjadi pada anak kita, begitu?" tuding Devan mematahkan argumen Tari.
"Bukan begitu maksudnya." Tari menggaruk leher belakangnya. Bingung harus menjelaskan pada Devan dengan cara seperti apa.
"Ya udahlah, yuk kita turun."
Pada akhirnya, Tari hanya bisa mengikuti kemauan Devan yang berakhir dengan kantong-kantong belanjaan yang hampir semuanya didominasi warna merah muda alias pink, termasuk tempat tidur bayi yang kini diletakkan di sudut kamar mereka.
Bangkit dari tempat tidur, Tari melangkah pelan mendekati ke pojok ruangan. Tempat tidur merah muda itu terlihat indah, cantik, lucu dan menggemaskan. Pasti nanti bayi mungilnya, siapa tadi namanya? Oh iya, Bellevia, akan merasa nyaman berada di sana.
Tari terkesiap saat perutnya terasa diusap dari belakang. Siapa lagi kalau bukan Devan.
"Lagi ngeliat apa, Yang?" tanya Devan retorik.
"Tempat tidurnya bagus, lucu, ngegemesin," gumam Tari mengagumi pilihan Devan. Tadi Tari menyerahkan sepenuhnya pada Devan untuk memilih peralatan maupun perlengkapan calon anak mereka karena Tari masih merasa setengah hati untuk membelinya.
Mendekap Tari dari belakang, Devan ikut tersenyum. Syukurlah kalau istrinya itu menyukai pilihannya. Detik berikutnya bibirnya mampir di pundak Tari. Devan bergumam di sana. "Yang, ini sudah waktunya kamu menepati janji kamu kasih aku hukuman."
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️
Romance[SEBAGIAN CHAPTER TELAH DIHAPUS] Tari dan Devan sama-sama dikhianati pasangan mereka, membuat mereka akhirnya memutuskan untuk menikah. Tanpa rasa cinta. Mereka menjalani kehidupan rumah tangga yang hampa, namun memilih untuk tetap bertahan atas das...