Meninggalkan coffee shop, Tari menarik langkah panjang menuju lantai dua puluh lima. Bukan ke kantornya, tapi dia mampir di toilet. Tari rasa dia butuh waktu untuk menenangkan diri. Ucapan dan sikap Devan tadi membuatnya sakit, bahkan teramat sakit.
Di depan kaca wastafel, Tari berdiri sambil memandangi wajahnya sendiri. Berkali-kali dia mengerjap, menahan air matanya yang hampir saja tumpah.
'Aku nggak boleh nangis, aku nggak boleh lemah. It's okay. I'm fine.' Tari mensugesti dirinya sendiri sama seperti sebelum-sebelumnya setiap kali dia merasa jatuh. Ini adalah fase paling terendah dalam hidupnya. Tapi, sejauh ini Tari mampu bertahan. Dan, dia yakin kali ini pun pasti bisa.
'Aku nggak butuh dia. Aku bisa sendiri menjaga anak ini, sampai dia lahir, sampai dia besar, sampai dia dewasa.'
Tari menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Dia lantas mencoba berpikir positif dan membuang segala pikiran negatif. Ada atau tidak ada Devan hasilnya akan sama saja. Sekarang pilihannya hanya satu; tidak ada Devan di sisinya. Dia harus mengambil dan menjalani pilihan itu dengan segenap konsekuensinya.
Tari akan keluar dari toilet, tapi belum sempat tangannya menyentuh handle, pintu toilet terbuka, bersamaan dengan seraut wajah cantik yang menyembul setelahnya. Fani.
"Ternyata kamu di sini. Dari tadi Pak Arga mencari kamu." Fani memberitahu. "Tari, kamu nggak muntah lagi kan?" Fani mengamati muka Tari baik-baik kalau saja dia lama di toilet karena hal itu.
"Nggak, tadi aku lagi buang air. Yuk!" Tari mengajak Fani meninggalkan toilet.
Tari pikir pasti Arga mencarinya karena ingin membahas hasil meeting tadi. Kali saja ada yang harus di follow-up. Tapi ternyata dugaannya meleset. Begitu masuk ke ruangan Arga setelah dipersilakan, Tari mendapati Rahardja juga ada di sana.
"Silahkan duduk dulu, Tari," kata Arga mempersilakan.
Tari menarik kursi di sebelah Rahardja setelah tersenyum sekilas dengan sedikit menganggukkan kepala.
"Ini Tari yang saya maksud, Pak," ujar Arga pada Rahardja.
Dari caranya berbicara pada Rahardja, Tari pikir pasti tadi Arga sedang membicarakan dirinya dengan lelaki itu. Entah mengenai hal apa. Apa mungkin soal pekerjaan dan kinerjanya?
"Iya, waktu itu kami sempat bertemu di rumah sakit," ujar Rahardja menimpali.
"Jadi Bapak sudah kenal dengan Tari?"
Lelaki itu mengangguk. "Waktu itu Devan yang mengenalkan Tari pada saya saat di rumah sakit. Iya kan, Tari?" Rahardja memandang pada Tari yang duduk di sebelahnya.
"Iya, Pak," jawab Tari membenarkan.
"Wah, kebetulan sekali ya... Jadi begini, Tari, Pak Rahardja ini katanya suka masakan di resto mama kamu, jadi dia mau pesan untuk acara di kantornya," kata Arga menjelaskan.
Tadi saat meeting mereka memang mengonsumsi nasi kotak yang dipesan di resto Ratih. Bukan hanya kali ini, tapi setiap ada acara kantor mereka selalu memesan makanan untuk konsumsi di resto milik Ratih. Lebih tepatnya, sejak Arga tahu kalau orang tua Tari memiliki resto. Dan kebetulannya lagi, rasanya ramah di lidah.
"Jadi bagaimana Tari, apa bisa saya memesan di resto kamu?" Kali ini Rahardja bertanya langsung.
"Tentu saja bisa, Pak, tapi resto itu milik orang tua saya, bukan punya saya. Kalau Bapak butuh, nanti saya akan kasih nomor kontaknya." Tari sedikit meluruskan.
Rahardja terkekeh geli. "Punya kamu atau orang tua kamu jatuhnya sama saja, kan?"
"Iya sih, Pak."
"Kalau begitu biar lebih mudah saya minta nomor handphone kamu saja. Nggak apa-apa, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️
Roman d'amour[SEBAGIAN CHAPTER TELAH DIHAPUS] Tari dan Devan sama-sama dikhianati pasangan mereka, membuat mereka akhirnya memutuskan untuk menikah. Tanpa rasa cinta. Mereka menjalani kehidupan rumah tangga yang hampa, namun memilih untuk tetap bertahan atas das...