Chapter 21

3.7K 223 0
                                    

Ketiganya saling berpandangan penuh tanda tanya saat melihat kehadiran Rayhan yang muncul tiba-tiba. Sabrina dan Rara langsung bersikap waspada. Mereka khawatir lelaki itu akan menyakiti sahabat mereka lagi.

Sabrina maju beberapa langkah. "Mau apa ke sini?"

Rayhan memandang sekilas ke arah Tari yang juga tengah menatapnya. "Sabrina, aku ke sini mau ketemu sama Bapak Dhanu Wijaya, manajer perusahaan ini. Bisa kasih tahu yang mana ruangannya?"

"Cari aja sendiri!" jawab Sabrina sinis.

Rayhan tahu, sebagai sahabat Tari pasti Sabrina marah padanya. Dia mencoba memaklumi. Lelaki itu lalu keluar. Dia mencari sendiri ruangan yang dimaksud.

"Ngapain sih dia ke sini?" tanya Rara pada Sabrina.

Sabrina mengangkat bahu, dia rasa mereka sama-sama tidak tahu urusan apa yang membuat Rayhan berada di kantor mereka sekarang.

Sedangkan, Tari hanya menunduk. Dokumen-dokumen di atas mejanya sudah menunggu untuk dianalisis. Tari mulai membangun konsentrasi. Nyatanya, kemunculan Rayhan tadi begitu mengusik. Untuk apa dia di sini? Kalau ingin membayar cicilan di lantai satu tempatnya, bukan di ruangan ini. Atau, ingin mengambil BPKB setelah kredit motornya lunas? Ah, entahlah. Tapi, bukankah tadi Rayhan mengatakan ingin bertemu dengan Pak Dhanu? Jadi, apa maksudnya?

Pertanyaan Tari terjawab setelah sepuluh menit setelah itu sang manajer datang. Tidak sendiri, melainkan bersama Rayhan.

"Tari! Sabrina! Rara!"

"Iya, Pak!" Ketiganya serempak menjawab dan memusatkan perhatian pada Dhanu.

"Kenalkan ini namanya Rayhan, karyawan baru di perusahaan kita. Mulai hari ini dia akan bergabung di divisi kalian. Dia akan menjadi team leader kalian," jelas Dhanu menerangkan.

"Pak, saya nggak setuju!" Tari refleks menolak yang tentu saja membuat atasannya itu menjadi heran.

"Kenapa Tari, ada masalah?"

Tari tidak mampu menjawab. Tidak mungkin dia mengatakan bahwa Rayhan adalah mantan kekasihnya dan hubungan mereka berakhir dengan buruk. Dhanu pasti akan men-cap-nya sebagai karyawan yang tidak profesional.

"Bukan, Pak, bukan begitu. Maaf saya salah bicara." Tari buru-buru mengklarifikasi.

Dhanu tersenyum bijak. "Tidak apa-apa. Jadi, apa ada yang mau ditanyakan?" ujarnya pada Tari, Sabrina, dan Rara.

"Nggak ada, Pak, sudah jelas," jawab Sabrina.

Setelah berbicara pada Rayhan dan menunjukkan mejanya, Dhanu meninggalkan mereka berempat. Memang di ruangan itu ada tiga kubikel yang berisi, dan satunya lagi kosong. Kubikel itulah yang ditempati Rayhan sekarang.

Tari mengatur napas yang sesak akibat oksigen di sekitarnya yang menipis. Lebih tepatnya, sejak kedatangan Rayhan tadi. Bagaimana mungkin ini terjadi? Kenapa mereka harus bertemu lagi? Apa semesta masih belum ikhlas melihat mereka berpisah? Tapi, bukankah semesta juga yang dulu memisahkan mereka? Semuanya akan menjadi semakin berat bagi Tari. Pasti setelah ini interaksi mereka akan semakin intens.

Tari keluar dari ruangan. Dia butuh udara segar. Di toilet, Tari berkaca sendiri pada cermin wastafel. Rasanya dia tidak akan sanggup. Apa mungkin dia harus resign demi menghindari Rayhan? Tapi, itu adalah pilihan yang mustahil. Tari sudah bertahun-tahun bekerja di sini. Dia sudah merasa betah berkarier di perusahaan multifinance itu.

Setelah berpikir lama, Tari lantas memberanikan diri untuk menemui Dhanu di ruangannya. Perempuan dua puluh lima tahun itu pun melangkah masuk setelah terdengar sahutan dari dalam.

"Maaf, Pak, saya mengganggu." Tari membuka suara.

"Tidak apa-apa. Ada apa Tari?" Dhanu memberi kesempatan pada Tari untuk bicara.

"Pak, saya ingin pindah divisi, Pak."

Dhanu mengernyit heran. "Kenapa, Tari? Apa ada masalah?"

"Tidak ada, Pak, saya hanya merasa butuh pengalaman baru. Mungkin dengan pindah divisi salah satu caranya." Tari mengemukakan argumen yang sekiranya bisa diterima oleh atasannya itu.

Dhanu menatap bawahannya itu lekat-lekat. Dia sedikit merasa heran atas permintaan Tari yang begitu mendadak.

"Tari, saya mengerti, mungkin saat ini kamu merasa jenuh karena sudah bertahun-tahun berada pada divisi yang sama. Tapi saat ini kamu sudah berada di tempat yang tepat. Saran saya, kalau kamu mau mungkin kamu bisa ambil cuti dulu."

Tari mengeluh kecewa di dalam hati. Bukan itu yang dimaksudkannya. Tari sama sekali tidak merasa jenuh. Dia hanya ingin menghindari Rayhan. Tapi, sepertinya sang atasan salah menangkap maksudnya. Dengan langkah lunglai Tari keluar dari ruangan manajer. Tari kembali ke toilet. Dia butuh waktu untuk menenangkan diri. Berada satu ruangan dengan Rayhan jujur saja membuatnya merasa tidak nyaman.

"Tari, dari mana saja?" Baru saja membuka pintu toilet Tari disambut oleh suara Sabrina yang ternyata juga berada di tempat yang sama dengannya.

"Dari ruangan bos," jawab Tari lesu. Dia ikut berdiri di sebelah Sabrina yang sedang berkaca di cermin wastafel.

"Minta naik gaji?"

"Bukan, ah!"

"Terus?"

Tari menghela napas dalam-dalam. Dia mencoba menetralisir perasaannya yang tetiba kacau gara-gara kemunculan Rayhan. "Aku minta pindah divisi, tapi bos nggak mau."

"Pindah divisi? Karena ada Rayhan?"

"Iya, apalagi kalo bukan karena dia."

"Brengsek memang! Ngapain sih dia pake ngelamar di sini? Dia pasti sengaja." Sabrina ikut mengomel mengutuki Rayhan. Kebetulan yang sangat kebetulan. Kebetulan perusahaan mereka membuka lowongan, kebetulan lagi ada yang qualified. Dan sialnya, itu Rayhan.

"Sab, aku nggak bisa seruangan sama dia, aku nggak sanggup," ujar Tari menyampaikan perasaannya.

"Tari, jangan bilang kalo kamu masih cinta sama dia. Ingat Tari, dia udah mengkhianati kamu!"

Tari menggigit bibir. Justru itu masalahnya. Perasaan itu masih ada, meski hanya secercah. Walaupun rasa itu dikalahkan oleh kebenciannya pada Rayhan.

"Tari, jawab aku! Apa benar kamu masih cinta sama Rayhan?" Suara Sabrina terdengar lagi. Memintanya untuk memberi jawaban sesegera mungkin.

"Iya, sedikit," jawab Tari lirih. "Tapi aku tahu, Sab, aku sudah menikah. Aku nggak akan macam-macam. Aku juga nggak akan mengharapkan dia lagi."

Sabrina mengusap pundak Tari dengan tatapan prihatin. "Kamu yang sabar, ya! Ini namanya ujian."

Tari tersenyum getir. Ujian kehidupannya memang sudah dimulai sejak hari pertamanya menikah dengan Devan.

Saat Tari kembali ke ruangan, hanya ada Rayhan di sana. Entah ke mana perginya Rara. Sedangkan, Sabrina masih berada di toilet.

"Tari!"

Tari terkejut saat lengannya tiba-tiba sudah berada dalam cekalan Rayhan. "Lepasin! Mau apa kamu?" bentaknya galak.

"Kenapa kamu menikah dengan kak Devan, Tari? Apa hidup kamu sudah terlalu desperate sampai-sampai menikah sembarangan?"

"Apa?" Tari sungguh tidak suka akan tudingan Rayhan yang ditujukan padanya.

"Dengar, Tari, aku terpaksa menikah dengan Kania. Tapi itu bukan alasan buat kamu juga menikah dengan sembarangan orang. Sekalipun itu adalah kakakku."

"Bullshit!" maki Tari dengan tatapan benci. "Dengar ya, Ray, aku sungguh nggak suka kamu ada di sini! Kamu udah bikin aku nggak nyaman. Dan satu lagi, aku cinta sama Devan, kakak kamu sendiri," ujar Tari menekan nada suaranya pada kata 'kakak' agar Rayhan sakit hati.

Tari lalu keluar dari ruangan itu. Kepalanya dipenuhi pikiran, kenapa laki-laki semuanya egois? Rayhan dan Devan sepertinya tak berbeda.

====

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang