Chapter 50

5K 228 3
                                        

"Ma, ini di mana?" tanya Luna yang terbangun saat mobil Arga berhenti di depan rumah Tari. Sepasang mata bulatnya berlarian ke sana kemari.

"Ini di rumah Mama, Lun," jawab Tari. "Arga, mampir dulu yuk!" ajaknya kemudian.

"Udah malam, Tari, nggak enak," jawab Arga menolak.

"Ayolah, Pa, kita turun, aku pengen lihat rumah Mama." Luna menarik tangan Arga.

"Iya, Arga, nggak apa-apa kok, cuma sebentar."

Arga mengangguk pelan dan memenuhi keinginan Tari.

Rumah itu terlihat sepi seperti tidak ada penghuni.

"Kayaknya mama sama Sandra belum pulang dari resto," kata Tari, lantas mengeluarkan kunci cadangan dari dalam tas dan membuka pintu. "Masuk dulu, yuk, di luar banyak nyamuk," ujarnya lagi.

Semula Arga ingin duduk di beranda. Walau bagaimanapun, dia hanya ingin mengantisipasi omongan dan pikiran buruk orang-orang. Apalagi tidak ada orang dewasa lain kecuali mereka berdua. Pada akhirnya, Arga pun memilih masuk setelah Luna menarik-narik tangannya.

"Jadi di sini cuma tinggal mama sama adek kamu ya?" tanya Arga setelah mereka duduk di sofa ruang tamu rumah Ratih. Matanya menjelajah dinding kalau saja ada potret seseorang yang bisa menjelaskan keadaan di rumah itu.

"Iya, cuma mama sama Sandra." Tari membenarkan.

"Biasanya mereka pulang jam berapa?"

"Nggak tentu sih, Arga. Kalo resto lagi ramai biasanya suka agak malam," jawab Tari sembari melihat jarum jam dinding yang tidak berhenti berputar. "Oh iya, kamu mau minum apa, Arga?"

"Nggak usah, tadi kan baru minum."

"Kalo Luna gimana? Kayaknya tadi di kulkas ada salad buah, Luna mau nggak?"

"Mau, Ma," angguk Luna cepat.

"Oke... tunggu dulu di sini ya! Oh ya, Arga, kamu gimana, nggak sekalian?" Tari bertanya sekali lagi sebelum beranjak.

"Nggak usah, Tar, buat Luna aja." Jawaban Arga masih sama seperti tadi.

Tari lalu menarik langkah pelan. Sudah beberapa hari berlalu, tapi bagian inti bawah tubuhnya kadang masih terasa perih. Apalagi saat buang air kecil. Ingat itu semua, Tari menjadi ingat Devan. Tanpa dia inginkan kejadian malam itu kini kembali terbayang olehnya. Malam di mana untuk pertama kali Devan menyentuhnya. Begitu lembut dan mesra. Sampai-sampai membuat Tari hampir saja jatuh cinta padanya. Tapi hanya malam itu. Karena setelahnya, segala rasa yang hampir saja tumbuh lenyap tanpa bekas. Dan, Tari sudah berjanji pada dirinya sendiri tidak akan pernah ada cinta untuk Devan.

Meong...

Kalau saja kucingnya tidak mengeong, mungkin Tari masih larut dalam lamunan. Dia segera membuka kulkas dan mengambil satu cup medium salad buah, lantas kembali ke ruang tamu.

Luna menerima salad buah yang diberikan Tari, lantas segera mencicipinya. "Enak banget, Ma," komentarnya setelah potongan buah pertama lolos ke dalam perutnya.

Tari tersenyum tipis. "Kalo Luna mau tambah nanti bilang sama Mama ya!"

"Iya, Ma."

Arga dan Tari kemudian mengobrol ringan. Mereka membicarakan hal-hal seputar kehidupan sehari-hari. Sesekali menyelinginya dengan gurauan.

Obrolan keduanya terhenti sesaat kala mendengar suara mesin mobil yang berhenti di depan rumah.

"Mama kamu ya?" tanya Arga.

"Bukan. Aku nggak punya mobil, Arga. Mama sama Sandra biasannya pake motor." Tari menjawab memberitahu.

Keduanya kemudian sama-sama bungkam sambil mengira-ngira siapa yang datang tanpa beranjak dari tempat duduk masing-masing.

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang