Chapter 20

4.7K 231 3
                                    

Sinar matahari yang menerobos masuk melalui jendela kaca kamar Aurel mengusik perempuan itu serta Devan yang tidur di sebelahnya. Aurel menyibak selimut dan melihat tidak satu pun kain menutup badannya serta pria di sampingnya.

Aurel tersenyum puas membayangkan apa yang sudah terjadi semalam antara dirinya dan Devan. Meski berpisah selama apa pun, tapi Aurel selalu yakin kalau Devan pasti akan kembali padanya. Buktinya saat ini, Devan berada di pelukannya.

Dalam diam Aurel memperhatikan Devan lekat-lekat. Hanya lelaki tampan ini yang membuatnya jatuh cinta berkali-kali. Usia hubungan mereka memang belum bertahun-tahun. Tapi, jangan tanya sedalam apa cinta Devan padanya. Devan yang keras, sedikit kasar dan temperamen, hanya Aurel yang tahu cara menaklukkannya. Aurel tahu persis kelemahan Devan. Salah satunya lelaki itu begitu mudah mengambil keputusan saat emosi. Contohnya saat mereka lost contact, tahu-tahu Devan mengambil keputusan bodoh itu; menikah dengan Tari.

Aurel beranjak dari tempat tidur. Dengan tubuh tanpa busana, dia melenggang ke kamar mandi. Perempuan itu menyiapkan air mandi untuk mereka nanti. Acara mandi bersama yang tertunda waktu itu tidak boleh gagal lagi. Bibirnya kembali mengembangkan senyum saat membayangkan nanti mereka akan mengulang romansa lama di dalam air hangat. Setelah semua siap, Aurel kembali ke kamar.

Devan membuka mata saat merasa ada yang menindihnya. Detik berikutnya dia melihat Aurel sudah berada di atasnya. Menempel dengan begitu rapat di atas kulitnya. Devan langsung merasa sesak oleh dada Aurel yang menyesak. Bukan sesak yang membuatnya sakit. Tapi, sesak menyenangkan yang mungkin akan membuatnya bersemangat memulai hari ini.

Devan lalu melingkarkan kedua tangannya di punggung Aurel. Lelaki itu memejamkan mata. Rasanya dia ingin berlama-lama di sini bersama Aurel, satu-satunya wanita yang kini diinginkannya. Tetiba, wajah Tari melintas lagi di depan matanya. Devan tidak mengerti kenapa setiap bersama Aurel bayang-bayang perempuan itu selalu muncul dan mengganggunya. Lekas ditepisnya wajah sendu Tari dengan menenggelamkan wajah di dada Aurel yang penuh.

"Dev, mandi, yuk! Aku sudah siapin airnya."

"Baju aku masih ada di sini, kan?" Devan tidak mungkin memakai lagi pakaiannya yang kemarin. Seingatnya, sejak pulang dari Kalimantan dia masih mengenakan baju yang sama.

"Ada, banyak kok di lemari."

Dulu, Devan memang sering meninggalkan bajunya di apartemen Aurel. Just in case, dia tidak akan bersusah-susah lagi kalau sewaktu-waktu tidak bisa pulang dan menginap di tempat kekasihnya itu.

"Tolong siapin ya, Rel!" pinta Devan.

Aurel turun dari atas lelaki itu dan memenuhi permintaannya. Lantas, duduk di tepi ranjang sambil memandangi Devan yang masih berbaring.

"Dev, jadi kapan kamu ceraikan dia?"

Pertanyaan Aurel membuat Devan tersentak. Meskipun pernikahannya hanya status, tapi bercerai dengan Tari tidak pernah ada dalam opsi hidupnya. Devan tidak akan menceraikannya. Tari itu istrinya. Apa nanti kata dunia kalau mereka baru saja menikah tapi sudah bercerai? Devan sadar diri. Dia bukanlah orang biasa. Dirinya sering dibicarakan di mana-mana dan terkadang dijadikan role model bagi sebagian kalangan.

"Devan!" Aurel menggoyangkan tangan Devan saat melihatnya mematung dengan pandangan kosong.

Devan mengembuskan napas berat. Tidak mungkin dia jujur pada Aurel. Mantan kekasihnya itu pasti akan meledak dan tidak terima. Sebentar! Sepertinya bukan mantan kekasih, tapi sudah berubah status kembali menjadi kekasih. Lebih tepatnya saat mereka memulai episode baru sejak tadi malam.

"Devan! Kenapa diam? Kenapa nggak jawab pertanyaan aku?" Suara Aurel yang terdengar mendesak kembali mengangetkan Devan.

"Rel, mandi yuk biar segar!" Devan lalu duduk, berniat mengajak Aurel ke kamar mandi.

"Jangan menghindar, Dev, jawab dulu pertanyaan aku!"

Aurel mengunci Devan dengan tatapannya, sehingga Devan tidak bisa melarikan mata ke mana-mana.

Satu-satunya yang barus dia lakukan adalah menjawab pertanyaan itu. "Iya, Rel, kamu sabar dulu ya, nanti aku pasti akan menceraikannya, tapi nggak sekarang. Aku harus jaga reputasiku juga. Tolong kamu mengerti, ya!"

"Tapi nanti kapan, Dev? Aku nggak bisa nunggu lama-lama." Aurel memberengut.

"Mungkin dua tahun lagi."

"Dua tahun? Itu terlalu lama, Dev!" protes Aurel tidak terima. Gila! Dia tidak akan sudi berbagi Devan dengan perempuan lain selama itu.

Devan kembali membuang napas. Ini pilihan yang sulit, tapi dia harus bersikap. "Kalo gitu satu tahun lagi."

"Sama saja, Dev... Itu masih lama!"

"Okay, fine, enam bulan lagi!" putus Devan tanpa bisa ditawar. "Udah dong, nggak usah cemberut kayak gitu, aku nggak suka ngelihatnya!"

Kendati berat, tapi Aurel akhirnya tersenyum, terlebih saat Devan memberinya kecupan singkat di bibir, lalu mengangkat tubuhnya dan membawa ke kamar mandi. Sayup-sayup terdengar alunan musik jaz yang lembut, bersamaan dengan wangi lavender yang menguar yang semakin membuat syahdu suasana kala mereka kembali bercinta pagi itu.

***

Sudah dua hari Devan tidak pulang. Tari juga tidak tahu ke mana atau sedang berada di mana. Iseng, Tari menghubungi nomor selulernya, tapi ternyata tak bisa dihubungi. Mungkin Devan memang sengaja mematikan ponselnya demi alasan privasi.

"Mbak Tari, kalau boleh tahu Pak Devan ke mana, Mbak? Kenapa sudah dua hari ini tidak pulang?"

Kunyahan Tari terhenti saat Inah bertanya. Roti tawar beroleskan selai stroberi yang berada di dalam mulutnya langsung tidak berasa apa-apa di lidahnya. Tari bisa saja mengatakan tidak tahu. Tapi, tentu saja hal itu akan menimbulkan penilaian negatif dari Inah. Bisa saja nanti Inah akan menggosipkannya dengan para pembantu lain saat mereka berkumpul, misalnya.

"Pak Devan ke luar kota, Bi," jawab Tari berdusta, lalu buru-buru menghabiskan susunya. Dia hampir saja tersedak oleh kebohongannya sendiri. "Aku pergi dulu, Bi." Tari segera berpamitan pada Inah. Dia harus segera berangkat agar tidak terjebak macet. Hari ini Tari memang sudah kembali bekerja seperti biasa. Kondisinya berangsur membaik setelah beristirahat sepenuhnya dua hari ini.

"Tari, kamu sudah sehat?" tanya Sabrina dan Rara serentak saat Tari muncul di kantor dan masuk ke ruangannya.

Tari tersenyum pada dua sahabatnya itu.

Sabrina keluar dari kubikelnya dan mendekati Tari. "Kayaknya dalam waktu dekat kita harus siap-siap kehilangan kamu, iya kan, Ra?" Sabrina melirik Rara yang disambutnya dengan anggukan cepat.

"Kenapa? Maksudnya kehilangan gimana? Aku nggak ngerti, serius!" Tari bertanya heran.

"Kalo kamu hamil, otomatis kamu resign dong. Devan pasti nggak kasih izin buat kerja lagi," kata Sabrina sok tahu.

"Hahaha... Apaan sih?" Tari tertawa sumbang. "Siapa yang hamil?" sambungnya kemudian.

"Jadi, kamu pingsan kemarin bukan karena hamil?" Rara menimpali.

Tari tersenyum kecut. "Bukan," sangkalnya membantah. "Dokter bilang aku kelelahan."

"Ooo..." Sabrina dan Rara serentak membulatkan mulut. Tadinya mereka sudah berharap akan dianugerahi seorang keponakan kecil.

"Permisi, ruangan Pak Pak Dhanu yang mana ya?"

Ketiganya sontak menoleh pada sumber suara dan sama-sama kaget saat melihat Rayhan berdiri di sisi pintu.

====

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang