Chapter 53

4.2K 237 4
                                    

Pagi ini Devan tiba di kantor dengan kepala berat. Dia sudah terlambat, bahkan sangat terlambat. Tapi dia tidak peduli. Memangnya siapa yang akan menyalahkannya?

Devan langsung menghempaskan tubuh ke atas kursi kerjanya yang empuk dan besar setelah masuk ke ruangannya. Mungkin tubuhnya jauh lebih ringan setelah pelepasan solo tadi pagi. Tapi rasa pusing di kepala sisa hangover semalam masih membekas. Sepasang matanya pun memandang nanar pada tumpukan dokumen di atas meja yang harus dia periksa. Tapi ada yang lebih menarik perhatiannya. Selembar amplop cokelat yang tergeletak pasrah di sebelah dokumen-dokumen itu. Paling surat penawaran kerja sama, pikir Devan.

Malas-malasan Devan mengambilnya. Mata lelaki itu kemudian melebar saat melihat nama pengirimnya. Dari Pangadilan Agama. Detak jantungnya mengencang saat itu juga. Dengan tidak sabaran Devan segera membuka amplop itu, atau lebih tepatnya merobek. Begitu terbuka Devan segera membacanya.

Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala tidak percaya ketika sampai pada kata-kata terakhir. Tari ingin bercerai dengannya. Rasanya tidak mungkin Tari akan seberani itu. Devan yakin pasti ada sesuatu atau lebih tepatnya seseorang yang memengaruhi Tari melakukannya. Tapi, siapa? Apa mungkin Arga?

Bangkit dari duduk, Devan bergerak menuju ruangan Amel. Seharusnya dia bisa memanggil sekretarisnya itu melalui telepon dari ruangannya. Tapi Devan sudah tidak tahan lagi. Dia harus mendengar sendiri penjelasan langsung dari mulut Amel.

Amel yang sedang mengetik sesuatu dan sedang fokus dengan layar monitor di hadapannya sedikit terkejut saat Devan masuk tiba-tiba tanpa mengetuk pintu ruangannya.

"Maaf, Pak, ada yang bisa dibantu?" Amel langsung bertanya sebelum Devan bicara. Melihat air muka Devan yang keruh, pasti ada sesuatu yang buruk telah terjadi.

"Siapa yang mengantar surat sampah ini?" tanya Devan sambil menunjukkan amplop cokelat di tangannya.

"Surat sampah?" ulang Amel tidak paham. Kerutan tercipta di dahinya. Namun sesaat kemudian, perempuan bertubuh ramping itu segera mengerti kala mengamati dengan saksama amplop cokelat yang Devan pegang. Ternyata yang dimaksud Devan adalah surat dari pengadilan agama yang tadi diberikan oleh pengacara Arga padanya.

"Tadi Pak Rama yang mengantarnya ke sini, Pak. Kebetulan Bapak belum datang." Amel akhirnya memberi jawaban.

"Rama? Maksud kamu Rama Adijaya?" tanya Devan minta diperjelas. Ada dua orang bernama Rama yang dikenalnya. Satu rekan bisnisnya, dan seorang lagi pengacara Arga yang andal dan piawai bersilat lidah.

"Iya, Pak. Rama Adijaya, pengacara Pak Arga," jawab Amel memperjelas. Tadi, Amel sempat melihat kop surat itu berasal dari pengadilan agama. Tapi, Amel tidak ingin berasumsi yang macam-macam. Apalagi menduga yang tidak-tidak.

Mendengar jawaban Amel, rahang Devan mengeras. Tanpa sadar tangannya ikut terkepal. Jadi, Rama yang mengurus ini. Dan, ini semua atas campur tangan Arga. Devan tidak bisa terima. Apa maksud Arga ikut campur dalam masalah rumah tangganya dengan Tari? Kenapa Arga selalu saja mencari masalah dengannya? Apa tidak ada lagi hal lain yang bisa dia urus? Apa pekerjaannya terlalu sedikit?

Devan yakin Tari tidak akan mungkin seberani ini kalau tidak ada yang memengaruhinya. Dan, satu-satunya tertuduh adalah Arga. Siapa lagi kalau bukan dia. Bukankah yang selama ini selalu ada dan dekat dengan Tari adalah Arga?

Devan tidak bisa membiarkan ini terjadi. Dia tidak akan membiarkan Arga memanfaatkan hubungannya yang sedang renggang dengan Tari. Menarik langkah kasar, Devan langsung keluar dari ruangan Amel, lalu membanting pintu. Tidak menimbulkan dentuman yang keras, tapi membuat ketahanan jantung Amel seakan diuji. Perempuan itu menahan napas, lantas melepaskannya pelan-pelan. Selalu begini. Setiap kali marah Devan tidak akan segan-segan menunjukkan temperamennya.

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang