Baru saja Devan pergi, Arga masuk ke ruangan Tari.
"Devan sudah pergi?" tanyanya.
"Sudah, barusan," sahut Tari singkat. Dia sedang tidak ingin berbicara banyak. Sikap Devan tadi jujur saja membuatnya merasa tegang.
"Tapi dia nggak nyakitin kamu, kan?" tanya Arga tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya.
"Gimana bisa kamu bilang begitu?"
"Yaa... nanya aja sih." Arga mengembangkan tangan.
Tari tersenyum tipis. "Nggak kok. Tadi dia ngomongnya memang agak keras, tapi aku udah kebal. Kalau nggak keras dan nggak suka nyakitin bukan Devan namanya. Iya, kan?"
Arga meningkahi ucapan Tari dengan tawa. Sampai sekarang dia masih terheran-heran kenapa bisa sesantai itu Tari menanggapinya.
"Terus tadi dia juga mengancamku. Katanya aku belum tahu siapa dia. Memangnya siapa sih dia, Arga?" Tari meledakkan tawa diujung kalimatnya. Terkadang dia bingung sendiri dengan tingkah Devan yang konyol. Datang-datang langsung marah, mengancam, lalu pergi tiba-tiba.
Arga menatap Tari yang sedang tertawa lekat-lekat. Di dalam hati dia mengutuk Devan yang begitu bodoh dan tidak pandai bersyukur. Andai saja Devan mau mengubah sikapnya, mungkin Tari akan melunak.
"Terus tadi dia ngomong apa sama kamu, Arga?" Tari balas bertanya. Dia pikir pasti sikap Devan pada Arga hampir sama dengan yang ditunjukkan padanya.
"Dia bilang kalau aku mempengaruhi kamu untuk bercerai sama dia," jawab Arga jujur.
"Terus kenapa kamu nggak iyain aja? Akui aja semua tuduhannya biar dia tambah kayak cacing kepanasan."
"Hahaha... ya nggak mungkinlah. Aku jaga perasaan dia juga. Takutnya ntar dia kena darah tinggi."
"Jadi ceritanya yang satu kanker, yang satu lagi hipertensi, gitu ya?"
Tidak ada habisnya mereka mentertawakan Devan dengan segala kekonyolannya. Arga suka cara Tari menyikapi masalahnya. Baginya terlihat begitu dewasa. Entah buat orang lain.
"Aku ngerasa aneh aja sama sikap Devan. Dia selalu memperlakukan Aurel dengan lembut, tapi giliran ke aku kasarnya nggak nanggung-nanggung. Apa memang karena dia sebegitu cinta sama Aurel? Menurut kamu gimana, Arga?"
"Kamu nggak usah sedih, Tari. Aku rasa dia sudah mulai jatuh cinta sama kamu, tapi terlalu ego untuk mengakuinya. Dengan bersikap begitu artinya dia sedang mati-matian menyembunyikan perasaannya."
"Aku nggak sedih kok, tapi masa sih, Arga?"
"Iya, Tari... Kamu nggak lupa kan kalau aku ini juga laki-laki? Laki-laki dengan tipikal seperti Devan memang seperti itu."
"Oh... Terus menurut kamu apa aku terlalu egois? Aku nggak dendam. Aku bukannya nggak mau balik sama Devan. Aku juga mikirin calon anak kami, tapi hatiku menolak untuk bersama dia lagi. Mungkin aku bisa kembali menerima Devan, tapi yang namanya hati nggak bisa dipaksain kan, Arga?"
"Iya, Tari... Ikuti kata hati kamu saja ya... Jangan paksakan diri kalau memang sudah nggak sanggup. Mungkin orang lain bisa memberi saran inilah, itulah, tapi yang benar-benar tahu cara penyelesaiannya ya diri kita sendiri," ujar Arga lembut menuturkan pendapatnya.
Arga itu seperti air dingin yang menyejukkan. Sungguh sangat berbeda dengan Devan.
Tanpa sadar Tari kembali memegang perut. Akan seperti apa anaknya nanti? Apa akan mewarisi sifat serta semua karakter Devan?
Dalam diam, Tari membandingkan Arga dan Devan. Keduanya begitu berbeda. Tidak hanya dari segi fisik, tapi juga dari sifat, karakter, serta cara bersikap. Bahkan, Arga terlihat lebih dewasa ketimbang Devan. Arga yang tenang dan Devan yang meledak-ledak.
![](https://img.wattpad.com/cover/278055849-288-k479040.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️
Romance[SEBAGIAN CHAPTER TELAH DIHAPUS] Tari dan Devan sama-sama dikhianati pasangan mereka, membuat mereka akhirnya memutuskan untuk menikah. Tanpa rasa cinta. Mereka menjalani kehidupan rumah tangga yang hampa, namun memilih untuk tetap bertahan atas das...