Chapter 29

3.7K 217 0
                                    

Arga juga terlihat senang. Lelaki itu membungkuk dan merentangkan tangan menyambut anak perempuan berambut panjang itu. Mereka saling berpelukan.

"Kenapa belum tidur, sayang?" Arga bertanya lembut.

"Soalnya Papa belum pulang, Luna mana bisa tidur kalo nggak ada Papa."

Arga tertawa, sedangkan anak perempuan yang masih berada dalam pelukannya memandang Tari dengan penuh tanda tanya.

"Papa kan kerja, sayang, kalo Papa sudah selesai pasti Papa pulang. Lain kali kamu nggak usah tunggu Papa, ya!" kata Arga memberi pengertian.

"Pa, itu siapa?" Anak perempuan itu menanyakan Tari.

Arga melepaskan pelukan dan memutar tubuh menghadap Tari. Dengan senyum di bibir, Arga pun menjawab. "Itu namanya tante Tari, sayang."

Tari berdiri terpaku. Mencoba mencerna situasi. Papa? Apa maksud anak kecil itu memanggil papa pada Arga?

Arga lalu berdiri tegak dan mengajak anak perempuan itu menghampiri Tari. "Tari, ini Luna, anakku."

"Anak?" ulang Tari dengan lidah kelu.

"Iya, anak," tegas Arga mengiyakan.

"Kamu sudah menikah?"

Arga memberi anggukan pelan sebagai jawaban. Sedangkan, Tari masih mencoba memercayai kenyataan serta fakta yang baru saja dia ketahui. Kenapa dia tidak mengetahuinya selama ini? Tari sangka Arga masih lajang. Tidak ada tanda-tanda sama sekali kalau dia sudah menikah, apalagi memiliki anak.

"Ayo sayang, salaman sama Tante Tari!" suruh Arga pada Luna.

Anak perempuan itu lantas mengulurkan tangan untuk berjabatan. Tari menyambutnya dengan hangat.

"Apa kabar, Tante? Namaku Luna."

Tari tersenyum ramah. "Baik, sayang, kamu kenapa belum tidur?"

"Aku tungguin Papa dulu, Tante."

"Kenapa nggak tidur sama mama aja? Ini kan sudah malam."

Wajah anak perempuan itu berubah sedih. "Mama aku udah pergi, Tante."

"Mama kamu pergi ke mana malam-malam begini?"

Luna tak menjawab. Tatapannya pindah pada Arga yang berdiri di sebelahnya, seolah menyuruh lelaki itu mewakilinya memberi jawaban.

"Tari, mamanya Luna udah nggak ada. Dia sudah meninggal," ucap Arga pahit. Tangannya menggenggam jemari Luna yang berada di sampingnya. Mereka seolah sedang saling menguatkan.

"Maaf, Arga. Aku minta maaf!" ucap Tari cepat. Dia menyesali kebodohannya yang tidak mengerti maksud Luna tadi. "Luna, maafin Tante ya, Tante nggak tahu." Lagi-lagi, Tari merasa tidak enak hati karena sudah membuat sedih anak sekecil itu.

"Nggak apa-apa, kok." Arga yang menjawab. Lelaki itu tersenyum demi meyakinkan kalau ucapan Tari tadi tidak akan berdampak apa-apa pada kehidupannya. "Luna, Papa mau mengantar Tante Tari dulu ya, cuma sebentar kok, setelah itu Papa langsung pulang."

"Janji ya, Pa?"

Arga mengangguk sambil mengusap-usap kepala Luna. Lelaki itu kemudian memanggil pembantunya yang bernama Mirna dan memberitahu kalau dia akan pergi lagi. Tadi Mirna yang menelepon dan mengatakan bahwa Luna tidak mau tidur sebelum Arga pulang.

Tari kemudian berpamitan pada Luna yang menatapnya dengan penuh arti. Muka polosnya menyiratkan kesedihan yang membuat Tari menjadi tidak enak hati meskipun Arga mengatakan kalau semua akan baik-baik saja.

"Arga, maaf ya, aku nggak tahu kalo istri kamu sudah meninggal, aku nggak bermaksud bikin anak kamu sedih," ucap Tari setelah mereka berada di mobil.

"Nggak apa-apa, Tari, nggak masalah kok," ulang Arga sekali lagi. Lelaki itu menoleh pada Tari yang sedang memandangnya dengan raut yang menyiratkan rasa bersalah.

Tari mengatur napas. Dia mencoba menepis perasaan tidak enak yang masih saja mengganggu. Bagaimanapun, pasti ucapannya tadi membangkitkan kenangan Luna akan sosok sang ibu.

"Mamanya meninggal waktu melahirkan Luna empat tahun yang lalu. Dia sama sekali belum pernah merasakan kasih sayang seorang ibu." Arga bercerita tanpa diminta.

Tari termangu mendengar penuturan Arga. Rasa sedih juga kasihan menelusup ke dalam hatinya. Tari bisa membayangkan bagaimana rasanya kehilangan kasih sayang seorang ibu.

"Terus, sejak saat itu kamu nggak pernah menikah lagi?" tanya Tari hati-hati. Takut akan menyinggung perasaan lelaki itu atau paling tidak dianggap mencampuri hidupnya.

Arga menggeleng pelan. "Nggak," jawabnya kemudian.

Tari tidak ingin bertanya apa penyebabnya. Tapi menurutnya, mungkin karena Arga terlalu mencintai mendiang istrinya itu. Ah, betapa beruntungnya perempuan itu. Bahkan, saat sudah tinggal nama seperti sekarang dia selalu dikenang. Tidak seperti dirinya yang... ah!

"Nggak mampir dulu, Ga?" ucap Tari berbasa-basi setelah Arga mengantarkannya sampai ke depan rumah.

"Nggak usah, Tari, udah malam," jawab Arga menolak. Sekilas diliriknya ke halaman rumah. Tidak ada mobil Devan di sana. Mungkin sahabatnya itu masih belum pulang.

"Makasih ya, Ga."

Arga mengangguk pelan dan tersenyum pada Tari. Dia menunggu sampai Tari benar-benar masuk ke dalam rumah. Setelah itu, barulah dia pergi.

***

Apartemen Aurel, 23.05.

Devan masih berada di apartemen Aurel. Setelah mengantarnya beberapa jam yang lalu, perempuan itu masih belum mengizinkan Devan untuk pulang. Dan, saat ini mereka sedang menonton televisi berdua di ruang tengah apartemen Aurel.

Devan mengusap-usap serta menelusupkan jari di tiap helai rambut Aurel yang sedang berbaring di pangkuannya.

"Rel, aku pulang dulu, ya." Devan kembali mengulang kata-katanya setelah sejak tadi Aurel terus menahan dan tidak mengizinkannya untuk pulang.

"Nginap di sini aja ya, Dev, pulangnya besok aja."

"Tapi besok pagi aku ada meeting, Rel."

"Terus, masalahnya di mana? Baju kamu kan banyak di sini." Aurel masih terus menahan dan bersikukuh tidak mengizinkan Devan pergi.

Devan mengambil napas dalam-dalam. Pikirannya melayang ke ballroom Violet Hotel. Tadi dia meninggalkan Tari di sana begitu saja. Apa sekarang istrinya itu masih berada di sana? Kalau menurut yang tertera di undangan, acara akan berlangsung sampai jam dua belas malam. Berarti masih ada waktu lima puluh lima menit lagi. Devan pikir mungkin Tari masih ada di sana.

"Rel, mengertilah, aku harus pulang sekarang. Materi presentasiku ketinggalan di rumah, takutnya besok nggak keburu."

"Jangan kayak orang susah deh, Dev. Kamu kan bisa suruh supir kamu atau siapa kek buat ngantar ke kantor."

"Nggak semudah itu, Aurel. Aku butuh materi itu sekarang untuk dipelajari dulu. Please, mengerti aku sekali ini. Aku janji kapan-kapan kalo nggak sibuk aku nginap di sini." Perlahan Devan menepis tangan Aurel yang melingkari pinggangnya.

"Janji ya, Dev..."

"Iya..."

Aurel akhirnya beranjak dari pangkuan Devan setelah susah payah lelaki itu membujuknya.

"Take care, honey," bisik perempuan itu setelah mengantar sampai ke pintu, tapi ternyata dia belum benar-benar merelakan Devan pergi. Dia kembali mengunci Devan dengan pelukan. Rapat dan begitu erat.

"Rel, sudahlah... besok kita kan bisa ketemu lagi," bujuk Devan lalu memberi kecupan singkat di bibir dan kening Aurel.

Perempuan itu dengan berat hati pun melepaskan Devan. Setelah itu, Devan bergegas pergi. Bukan ke rumah, tapi dia kembali ke hotel, menjemput Tari.

====

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang