Chapter 43

4K 226 2
                                    

Pagi ini terlihat berbeda dari biasanya. Ruang makan yang pada hari-hari sebelumnya hanya ada Tari dan Inah, sekarang terasa lebih hidup dengan kehadiran Devan. Pagi ini mereka memang sarapan bersama.

"Tumben banget Bu Tari dan Pak Devan sarapan bareng," celetuk Inah melihat kedua majikannya duduk berdampingan.

"Iya nih, Bi, kebetulan jadwalnya samaan." Tari yang menjawab.

Sedangkan, Devan bersikap acuh tak acuh. Lelaki itu mengaduk-aduk kopinya yang masih mengepulkan uap panas. Kopi hitam yang dibuatkan Inah untuk Devan memang sengaja tidak diaduk. Memang kesukaan Devan seperti itu. Dia ingin mencampur gulanya sendiri.

"Kalau sering-sering kayak gini kan bagus. Pak Devan dan Bu Tari baru kayak pasangan suami istri betulan," celetuk Inah sambil tersenyum.

"Memangnya selama ini nggak kayak betulan ya, Bi?" Tari menukasi. Ternyata gerak-geriknya dan Devan menjadi perhatian pekerja di rumah mereka.

Inah tersenyum canggung. "Bukan gitu, Bu, cuma Pak Devan dan Bu Tari kan jarang-jarang berduaan kayak gini."

Tari tersenyum simpul. Berada di dekat Devan seperti ini dia juga merasa canggung. "Iya, Bi, sarapan bareng yuk!"

"Nanti aja, Bu, saya masih kenyang." Inah menolak halus. Dia merasa sungkan ikut bergabung bersama Devan dan Tari.

"Kenyang dari mana, Bi? Ini masih pagi kenapa udah kenyang?" Tari tahu pasti Inah hanya merasa sungkan padanya dan Devan. Padahal bagi Tari tidak apa-apa. Baginya, Inah bukan hanya sekadar pekerja di rumahnya, tapi sudah dia anggap sebagai keluarga sendiri. Entah dengan Devan.

"Iya, Bu Tari, saya sudah kenyang kok. Saya cuci piring dulu ya, Bu." Inah buru-buru berlalu ke belakang sebelum Tari memaksa.

Tari melanjutkan sarapannya. Di sebelahnya, Devan tidak berkata apa-apa. Saat Tari melirik, suaminya itu terlihat sedih. Entah kenapa. Mungkin karena memikirkan Aurel dan kondisinya. Wajar, pikir Tari. Bagaimana tidak sedih kalau wanita tersayangnya hanya tinggal menunggu hari.

Menelungkupkan sendok dan garpu ke piring setelah selesai sarapan, Tari pun berpamitan pada Devan.

"Aku duluan, Dev."

"Iya. Nanti siang mungkin aku ke rumah sakit."

"Iya," sahut Tari singkat. Entah apa maksudnya memberitahukan Tari. Ingin meminta izin kah? Kemajuan luar biasa kalau begitu.

"Jadi benar nanti kamu mau ke rumah Arga?"

"Belum tahu sih, mungkin iya. Soalnya aku udah janji sama Luna. Kasihan dia kalo sampai cancel, ntar dibilang aku pembohong. Kenapa memangnya, Dev?"

Devan menghela napas. Dia merasa keberatan dengan sikap Tari yang terlalu dekat dengan Luna dan Arga.

"Mending kamu nggak usah sering-sering ke sana. Nggak enak dilihat orang. Masalahnya Arga itu duda."

"Hah? Memang kenapa kalo duda?"

"Ya, nggak enak aja dilihat orang."

"Biasa aja kali, Dev... kamu jangan mikir yang macam-macam. Aku ke sana buat ngunjungin Luna, bukan Arga. Udah ya, aku berangkat dulu." Tari menarik langkah. Di depan, Ipul sudah menunggunya sejak tadi.

***

Devan menyusuri koridor rumah sakit dengan tergesa. Seharusnya dia belum akan datang. Tapi, ponselnya tak berhenti bernyanyi sejak tadi. Masih dari suster yang kemarin, yang memintanya untuk segera datang.

Membuka pintu ruang rawat, Devan melihat Aurel sedang berbaring. Matanya terbuka, tapi terlihat kosong. Begitu melihat Devan, dia seperti tersentak, menandakan kalau baru saja terbangun dari lamunan.

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang