"Kamu bisa nyetir nggak, sih?" sergah Devan pada Bagas yang menekan pedal rem secara mendadak sehingga tubuhnya terhuyung ke depan dengan tiba-tiba.
"Maaf, Pak Devan, di depan ada motor nyalip, Pak," ujar Bagas memberitahu. Sejak dari rumah tadi dia mengemudi di atas batas kecepatan biasanya. Devan yang menyuruh, dan kini dirinya yang disalahkan.
"Udah salah masih aja ngeles!" omel Devan lagi. Sejak tadi ada saja yang membuatnya kesal. Dan, semua itu penyebabnya hanya satu; Tari.
Mengetahui suasana hati sang atasan yang memburuk, Bagas memilih diam. Dia tidak akan membuka mulut kalau Devan tidak mengajaknya bicara. Salah-salah bisa kena sembur lagi.
Devan mengutak-atik ponselnya dan mencoba menghubungi Tari. Entah ini sudah ke berapa kalinya dia menelepon istrinya itu, tapi hasilnya tetap sama. Tari tidak merespons. Entah apa maksudnya. Tidak mungkin Tari tidak tahu atau tidak mendengar. Dia pasti sengaja. Ya, sengaja. Bisa saja. Entah untuk alasan apa.
Langkah kaki Devan terdengar berderap menapaki lantai gedung Devan's Company. Seperti biasa, dia tidak menghiraukan senyum palsu atau pun sapaan basa-basi beberapa orang yang berpapasan dengannya. Tidak penting! Yang penting baginya saat ini adalah segera sampai di ruangannya di lantai tujuh belas.
Kali ini, dia sendiri lagi di dalam lift khusus direksi yang akan membawanya naik ke atas. Dalam kesendiriannya, Devan memandangi pantulan dirinya di dinding lift. Meski tidak terlalu jelas, tapi dia bisa melihat bayangannya. Tubuh tinggi dan tegap yang dibalut dalam setelan jas mahal serta sepatu hitam seharga motor sport yang menjadi alas kakinya ternyata tidak lebih mahal dari harga dirinya yang tidak bisa ditawar lagi.
"Selamat pagi, Pak!" Beberapa orang pegawainya kembali menyapa saat Devan sampai di lantai tujuh belas.
Devan mengangguk samar. Tidak seulas senyum pun terukir di bibirnya.
"Selamat pagi, Pak!" Sapaan itu kembali terdengar di telinga Devan. Kali ini dari Amel, sekretarisnya. Dan, sama seperti tadi Devan mengangguk tak jelas, antara iya dan tidak.
"Pak, ada-"
Devan terus melangkah tanpa peduli pada Amel yang mengajaknya bicara. Paling dia hanya akan memberitahu agenda Devan hari ini. Devan sedang tidak ingin bicara di tengah jalan. Nanti kalau butuh Devan pasti akan memanggilnya.
Dengan sekali putar, Devan membuka pintu ruangannya, dan detik itu juga dia seperti ingin surut ke belakang begitu melihat siapa yang kini sedang duduk di kursi kerjanya dan memandangnya dengan tatapan dingin.
Sosok itu adalah Javier Darrell, sang ayah. Satu-satunya lelaki yang paling Devan dengar ucapannya, yang bahkan sembilan puluh persen rupa fisiknya menurun pada Devan.
Berhasil mengatasi rasa kaget, Devan melangkah masuk setelah menutup pintu. "Papi, tumben ada di sini?"
"Justru Papi yang bertanya sama kamu, tumben kamu ada di sini," balas Javier dingin.
"Maksud Papi apa?" Devan menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Javier.
"Papi kecewa sama kamu, Dev. Papi nggak nyangka kalau kamu akan bertindak sebodoh itu."
"Maksud Papi apa?" Devan masih belum bisa menangkap arah pembicaraan Javier yang tahu-tahu langsung mengecam tanpa Devan tahu apa kesalahannya.
"Jangan pura-pura bodoh, Devan! Atau kamu memang bodoh?"
Devan terkesiap. Kalimat itu yang sering diucapkannya pada Tari. Dan kini saat mendengar ucapan itu ditujukan padanya, telinga Devan tidak bisa menerima. Apa kabar Tari yang hampir setiap hari dia maki?
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️
Romance[SEBAGIAN CHAPTER TELAH DIHAPUS] Tari dan Devan sama-sama dikhianati pasangan mereka, membuat mereka akhirnya memutuskan untuk menikah. Tanpa rasa cinta. Mereka menjalani kehidupan rumah tangga yang hampa, namun memilih untuk tetap bertahan atas das...