Chapter 8

4.9K 327 2
                                    

Devan masuk ke kamar setelah orang tua dan adiknya pulang. Lelaki itu melihat Tari sedang duduk bercermin di depan kaca. Istrinya itu sedang menyisir rambut, lalu mengoleskan sesuatu ke wajahnya, semacam krim malam atau sejenis kosmetik lainnya. Devan tidak tahu apa dan tidak mau tahu. Hanya sekadar itu. Devan tidak memedulikannya. Dia lalu merebahkan diri ke tempat tidur dan menarik selimut. Tak lama, dia pun tertidur.

Tari mendesah lelah. Banyak yang ingin ditanyakannya. Nyatanya, dia menelan sendiri rasa itu kala melihat Devan sepertinya teramat lelah. Buktinya lelaki itu memilih mendekam di bawah selimut ketimbang mengajaknya bicara.

Tari ikut berbaring di sebelah Devan yang tidur membelakanginya. Dia harus segera memejamkan mata karena besok sudah harus kembali bekerja. Tapi yang ada, meskipun matanya terpejam, pikirannya justru ke mana-mana. Semua percakapan Devan dan orang tuanya tadi begitu mengganggu hati dan pikirannya. Membuatnya resah dan juga galau.

***

Pagi-pagi sekali Tari sudah bangun. Bahkan, lebih awal dibanding Inah. Tari berniat menyiapkan sarapan pagi untuk Devan.

"Mbak Tari, sedang apa di sini?" Inah yang baru saja bangun sedikit kaget saat melihat kehadiran Tari di dapur.

"Eh, Bi, saya sedang menyiapkan sarapan untuk Devan."

"Mbak Tari mau masak apa?" tanya Inah ingin tahu saat melihat Tari menuangkan nasi ke dalam wajan.

"Saya mau masak nasi goreng, Bi."

"Maaf, Mbak Tari, Pak Devan nggak biasa sarapan pake nasi goreng."

"Oh, gitu ya? Jadi biasanya apa, Bi?" Selanjutnya Tari pun berpikir, sebagai orang berada pastilah Devan tidak akan biasa dengan menu biasa semacam itu.

"Ada jadwalnya, Mbak. Kalau hari ini biasanya Pak Devan sarapannya smoothies." Inah memberitahu.

Tari kembali ternganga. Sepertinya hidup Devan begitu teratur sampai perihal makan pun ada jadwal menunya.

Inah lalu mengajarkan pada Tari cara membuat smoothies kesukaan Devan. Perempuan itu mencampurkan susu rendah lemak dengan perasan jeruk juga setengah buah pisang serta buah stroberi beku yang ditambah dengan satu sendok makan biji rami. Lalu, menghaluskannya dengan blender.

Setelah semua siap, Tari kembali ke kamar. Dilihatnya Devan yang masih tidur. Tari ragu apakah harus membangunkannya atau tidak. Melihat jam yang terus bergerak maju, Tari pun memutuskan untuk membangunkan Devan dari tidurnya yang lelap.

"Dev, bangun, Dev, sudah pagi...," ujarnya lembut seraya mengusap lengan Devan.

Ternyata tidak susah membangunkan Devan. Tak perlu mengguncang-guncangkan tubuhnya atau berteriak kencang. Hanya dengan usapan pelan seperti itu sudah cukup membuat Devan terusik dan membuka mata.

Devan melirik tangan Tari yang berada di lengannya. Lekas, perempuan itu menarik tangannya kembali saat menyadari tatapan Devan pada tangannya.

"Maaf."

Devan tidak menjawab. Dia lalu duduk dan langsung ke kamar mandi tanpa berkata apa-apa. Meninggalkan Tari yang kebingungan sendiri. Tari sungguh tersiksa dengan keadaan seperti ini. Dia masih harus menyesuaikan diri dengan kehidupannya yang baru. Belum lagi harus membangun komunikasi dengan Devan yang sebegitu susahnya.

Tari menunggu Devan di meja makan. Lelaki itu tidak berkata apa-apa. Dia hanya fokus pada makanan di hadapannya dan tidak memedulikan apa pun yang berada di sekelilingnya. Termasuk Tari yang duduk di seberang meja dan sesekali mencuri pandang.

Pernikahan ini memang hanya status yang dijalani berdasarkan keputusan emosional mereka saat itu. Namun, bukan berarti mereka harus menjalaninya seperti ini.

"Dev, nanti kamu langsung ke kantor ya?" Tari tidak tahu harus berkata apa sehingga hanya pertanyaan bodoh itu yang meluncur dari mulutnya.

"Iya," jawab Devan singkat. Reaksinya itu seolah mengesankan kalau dirinya sedang malas bicara, sehingga Tari pun menjadi sungkan untuk berkata lebih banyak.

Devan langsung meninggalkan ruang makan setelah menghabiskan sarapannya. "Aku duluan," pamitnya pada Tari.

Tari mengangguk pelan dan segera berdiri. Dia mengikuti langkah Devan sampai ke depan rumah untuk melepasnya pergi.

Bagas yang sudah menunggu di dalam mobil melempar senyum padanya, yang Tari sambut dengan senyum tipis.

Setelah Devan menghilang, Tari baru sadar satu hal. Nanti bagaimana caranya dia pergi ke kantor? Motor matic kesayangannya yang sehari-hari mengantarnya ke mana-mana masih berada di rumah Ratih. Iya sih, ada dua lagi mobil Devan yang terparkir di garasi, tetapi masalahnya, Tari tidak bisa menyetir.

***

"Tumben pake taksi," komentar Sabrina saat Tari hadir di kantor untuk pertama kalinya setelah menikah.

"Motor aku ketinggalan di rumah mama." Tari beralasan. Kedua perempuan itu berjalan bersisian menuju ruangan mereka.

"Lagian kamu udah nggak pantas lho, masa istri seorang CEO ke mana-mana masih pake motor."

"Nggak ngaruh kali, Sab. Apa hubungannya?"

"Ya ada lah! Nggak usah pura-pura bego deh!"

Tari menghempaskan tubuhnya di kursi seraya menyandarkan punggung. Pikirannya tidak jauh-jauh dari keluarga Devan yang tidak menyukainya.

"Tari, gimana malam pertama kalian?"

"Malam pertama?" ulang Tari seperti orang bodoh.

"Iya, nggak usah pura-pura bodoh deh," ujar Sabrina kesal melihat ekspresi lugu Tari.

Tari tersenyum kecut. Tidak ada yang terjadi di malam ketika pertama kalinya dia menjadi istri Devan. Begitu juga malam-malam berikutnya. Namun, tidak mungkin dia jujur. Itu adalah rahasianya yang paling berharga. Orang luar tidak boleh tahu apa pun yang terjadi pada rumah tangganya. Meski itu adalah orang terdekatnya sekali pun.

"Gimana, Tari?" Rara yang ikut bergabung juga sudah tidak sabar ingin mendengar jawaban Tari.

"Ya, gitu deh...," jawab Tari mengambang.

"Gitu gimana?" tanya Sabrina minta diperjelas. Kata 'gitu deh' baginya mempunyai banyak makna.

"Ya gitu... maksudnya sama dengan pengantin baru lainnya."

"Ada darahnya?" kejar Rara cepat.

"Hmm... ada," jawab Tari berdusta. Hal itu sama sekali tidak disukainya, tapi Tari terpaksa melakukan hal tersebut demi menyelamatkan wajahnya di depan kedua sahabatnya.

"Berapa banyak?" Sabrina yang bertanya kali ini.

"Aku nggak tau berapa banyak, tapi lumayan bikin kotor seprei hotel." Kebohongan Tari semakin menjadi demi menutupi kebohongan yang dia ciptakan sebelumnya.

"Sakit nggak?" tanya Rara lagi dengan raut wajah meringis. Dia membayangkan darah segar yang mengucur deras sehingga membuatnya ngilu sendiri.

"Ya, sakitlah bego!" Sabrina menoyor kepala Rara.

"Iya, sakit banget." Tari membenarkan dengan sedikit menunjukkan ekspresi meringis, seolah dia memang merasakan dan sudah mengalaminya langsung.

"Terus, terus... berapa lama?" tanya Rara lagi. Perempuan itu terlihat antusias, masalahnya dia butuh referensi karena dalam waktu dekat juga dia akan menikah.

"Hmm... berapa lama, ya?" Tari menengadah memandang langit-langit, seolah sedang berpikir dan mengingat-ingat. Sedangkan, Sabrina dan Rara menanti dengan tidak sabar. Mereka ingin tahu seberapa hebat seorang Devan di ranjang.

"Mungkin sekitar dua jam," jawab Tari kemudian.

"Dua jam?? Hebat! Devan keren banget!" puji kedua sahabat Tari itu.

"Iya, dua jam." Tari tersenyum getir.

====

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang