Chapter 12

4.4K 300 6
                                    

Pagi ini sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Hampir setiap ruas jalan yang Tari lewati dipenuhi oleh kendaraan. Mulai dari roda empat hingga roda dua seperti Tari sekarang. Sebagian dari mereka Tari yakin adalah karyawan seperti dirinya yang sedang mengejar waktu.

Tari hampir saja lolos dari antrean panjang di traffic light, nyatanya dia harus terjebak perangkap lampu merah lagi karena terlambat bergerak. Terpaksa Tari mengumpulkan lagi kesabarannya.

Dari balik kaca helm yang gelap Tari menoleh pada Land Cruiser hitam yang ikut antre di sebelahnya. Tari rasa dia mengenal mobil itu. Tari lalu membuka kaca helm agar bisa melihat dengan jelas. Mirip mobil Devan, pikirnya. Tapi bukankah di kota ini banyak yang memiliki mobil serupa? Mungkin saja itu bukan Devan.

"Pak Devan, itu bukannya Mbak Tari?" tanya Bagas saat melihat Tari yang juga ikut antre menunggu lampu merah bersamanya.

Devan mengarahkan mata pada pandangan Bagas. Iya, itu memang Tari. Devan menatapnya sekilas, lalu memalingkan muka.

"Pak Devan, kasihan Mbak Tari, Pak," celetuk Bagas.

"Kasihan apanya?"

"Mendingan cariin supir buat Mbak Tari, Pak."

"Sudahlah, Gas. Biarkan saja dia sesukanya. Bukankah tadi aku sudah bilang?"

"Iya, Pak." Bagas mengalah, berhenti berdebat dengan Devan. Tapi, matanya masih belum lepas dari Tari.

"Bagas, jalan!" suruh Devan saat lampu hijau sudah menyala.

"Iya, Pak." Bagas agak tersentak karena pandangannya masih terfokus pada Tari.

Tiga ratus meter sebelum kantor, Tari berhenti di tempat tukang bubur langganannya. Tari ikut antre bersama para pembeli lainnya. Sama seperti pagi sebelumnya, tukang bubur langganannya ini memang selalu ramai. Selain enak, harganya juga murah. Saking seringnya belanja di sini, yang jualan sudah mengenal Tari.

"Eh, Mbak Tari, tumben udah lama nggak ke sini?" sapa tukang bubur pada Tari.

"Iya nih, Pak, kebetulan baru sempat ke sini," jawab Tari ramah.

"Mas Rayhan mana, Mbak Tari?" tanya tukang bubur sembari mengedarkan pandangan ke belakang Tari.

Tari tersenyum kikuk. "Saya nggak tau, Pak," jawabnya dengan lidah kelu.

"Lho, biasanya Mbak Tari bareng Mas Rayhan kan?" tanya tukang bubur heran. Seingatnya, dulu hampir setiap pagi Tari dan Rayhan membeli bubur dagangannya. Hanya saja belakangan ini Tari dan Rayhan sudah lama tidak muncul, dan sekalinya datang, yang ada hanya Tari sendiri.

"Ehm, iya, tapi sekarang udah nggak lagi," jawab Tari kemudian. "Buburnya satu, Pak, kayak biasa, nggak pake kacang," pinta Tari agar bapak tukang bubur tidak lagi membicarakan Rayhan.

"Iya, Mbak Tari, siap. Bapak masih ingat kok. Kalau Mbak Tari nggak pake kacang, kalau Mas Rayhan biasanya nggak pake bawang. Hehehe..."

Tari tersenyum kecut saat tukang bubur berceloteh yang mengingatkannya lagi pada sosok Rayhan Alfried Darrell dan kebiasaan-kebiasaannya.

"Makasih ya, Pak." Tari menerima seplastik bubur ayam pesanannya sambil menyodorkan sehelai uang kertas.

"Sama-sama, Mbak Tari." Tukang bubur melepas Tari dengan senyum.

Tari hampir saja menabrak seseorang karena terburu-buru. "Maaf, saya ti-" Kalimatnya tercekat di kerongkongan saat melihat siapa yang hampir dia tabrak. Seketika tatapannya nanar kala menyaksikan Rayhan kini ada di hadapannya. Tari tidak pernah lagi bertemu dengan Rayhan semenjak acara makan malam bersama di rumah Devan, saat itu pun mereka tak berbicara walau hanya sepatah kata pun, hanya saling diam dan menunjukkan wajah datar tanpa ekspresi seolah-olah mereka memang tidak saling mengenal sebelumnya.

Tapi, pagi ini dia kembali dipertemukan dengan Rayhan. Namun Rayhan tidak sendirian, dia bersama seorang perempuan. Perempuan itu, Kania. Perempuan yang sudah membuat Rayhan dengan terang-terangan membatalkan pernikahan mereka yang hanya tinggal menghitung hari. Yang seharusnya dia bisa menikmati hari bahagianya bersama lelaki yang dicintainya. Insiden itu tidak akan pernah dilupakannya seumur hidup.

"Tari, apa kabar?" tanya Rayhan yang di telinga Tari terdengar begitu ringan, tanpa rasa bersalah sama sekali.

Tari tidak menjawab. Dia ingin segera lenyap dari tempat itu sesegera mungkin. Tapi, tanpa sengaja matanya menatap perut Kania yang sudah membesar.

Jadi, dia hamil? Hebat! Padahal mereka baru saja menikah. Mungkin hanya selang beberapa hari sebelum Tari juga menikah. Kalau perutnya sudah sebesar itu, berarti sudah sejak lama mereka berselingkuh. Tari jadi geram sendiri. Tari mencoba mengingat lagi. Saat mereka bertemu di kantor Wedding Organizer, Kania memakai baju yang tampak longgar. Mungkin untuk menyamarkan perutnya yang tidak lagi rata. Dan, kini Tari bisa dengan jelas menyaksikan semuanya.

"Tari!" Rayhan berseru memanggil Tari yang sudah menstarter motor dan berniat menyusul, tapi cekalan Kania di lengannya menahan aksinya.

Rasa sakit itu menyerang lagi. Membuat dada Tari kembali terasa sesak. 'Tega kamu, Ray! Ternyata sudah dari dulu kamu mengkhianatiku. Sudah berapa lama, Ray? Lima bulan? Enam bulan? Sembilan bulan? Atau, satu tahun? Atau, malah sejak dua tahun yang lalu? Atau, jangan-jangan selama ini aku memacari kekasih orang? Capek-capek pacaran, tapi ternyata aku cuma jagain jodoh orang.'

Di parkiran kantornya, Tari bertemu Sabrina.

"Tari, kenapa masih pake motor?" tanya sahabatnya itu heran.

"Kenapa memangnya?" timpal Tari.

"Tari, udah nggak pantas. Kamu itu istri Devan. Kamu tau sendiri kan Devan itu siapa?"

"Memangnya siapa dia?" tanya Tari hampa. Masih sepagi ini tapi mood-nya sudah berantakan gegara bertemu Rayhan tadi.

"Lho, kamu gimana sih? Kok malah nanya aku?"

Tari tersenyum kecut. "Memangnya setelah aku menjadi istri dia aku harus berubah? Memangnya aku nggak boleh lagi jadi diriku sendiri?"

"Bukan gitu, Tari, tapi kamu harus bisa menyesuaikan diri. Kamu harus ingat, Devan itu bukan orang sembarangan. Dia orang terkenal, sukses, tajir, dan pintar."

'Iya, pintar nyakitin aku,' keluh Tari di dalam hati.

Tari menuang bubur yang dibelinya tadi ke dalam mangkuk. Saat ini dia dan Sabrina sudah berada di pantry. "Sorry, Sab, aku cuma beli satu."

"Nggak apa-apa, aku sudah sarapan kok. Oh iya, itu kamu belinya di tukang bubur langganan sama Rayhan dulu ya?"

Suapan Tari terhenti. Bubur yang semestinya lembut terasa keras dan susah untuk ditelan. "Iya. Tadi aku juga ketemu dia di sana. Dia sama cewek itu. Dan ternyata cewek itu sedang hamil. Aku sedih, Sab. Kamu bisa bayangin nggak? Mereka baru kemarin menikah tapi dia sudah hamil besar. Itu artinya Rayhan mengkhianatiku dari dulu. Dan, aku dengan begitu bodohnya percaya sama dia."

Sabrina mematung dengan mulut setengah terbuka. Cerita Tari membuatnya syok. Masa sih?

"Aku sedih, Sab," ucap Tari lagi. Bagi Tari, Sabrina adalah sahabat terbaiknya. Tari bisa menceritakan apa saja padanya. Nyaris tidak ada rahasia di antara mereka. Kecuali cerita tentang Devan, pastinya.

"Sudahlah, Tari... Lupakan Rayhan. Buanglah mantan pada tempatnya. Yang penting sekarang kamu sudah mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik. Iya, kan?"

"Iya." Tari mengangguk cepat.

====

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang