Saat Tari terbangun pagi ini dia menemukan Devan yang tidur di sebelahnya. Tidak seperti biasa karena kali ini jarak mereka begitu rapat. Tanpa guling pemisah seperti hari-hari sebelumnya. Ajaibnya lagi mereka berada dalam selimut yang sama. Padahal biasanya mereka menggunakan selimut masing-masing.
Tari tidak ingat jam berapa dia tidur tadi malam. Tapi yang dia tahu, Devan masih terbangun saat itu. Entah apa yang lelaki itu lakukan setelahnya. Mungkin menambah minumannya dan menghabiskan berbotol-botol sampai hangover, lalu tidur sambil menceracau melafalkan nama wanita pujaannya.
Tari bangkit dari posisinya berbaring, dan duduk sesaat untuk mengumpulkan nyawa. Tidak ada istilah menggeliat malas dalam kamus hidupnya. Dari kecil dia sudah terbiasa dengan hidupnya yang sederhana cenderung keras.
Begitu nyawanya terkumpul seutuhnya, Tari berniat turun dari tempat tidur, tapi tangannya dicekal.
"Tari, siapkan pakaianku!"
Tari melirik ke sebelahnya. Devan sudah bangun dan kini memandang pada Tari dengan ekspresi tak terbaca. Tapi, yang jelas perintahnya tak boleh dibantah.
"Iya," jawab Tari singkat, lalu melipat selimut. Sepanjang melakukan hal itu Tari bisa merasakan tatapan Devan yang sedang mengawasinya.
Selimut yang sudah terlipat rapi kini Tari letakkan di ujung ranjang. Perempuan itu lalu menuju lemari dan mengeluarkan setelan jas berwarna navy dari dalamnya. Bukan tanpa alasan apa-apa, Tari suka saja melihat pria dewasa dalam balutan pakaian formal berwarna tersebut, ketimbang hitam yang sudah terlalu mainstream.
"Ini bajunya," kata Tari seraya meletakkan jas Devan di atas meja tanpa memandang lelaki itu. Setelahnya, Tari masuk ke kamar mandi dengan membawa kemeja serta rok span selutut yang akan dipakainya kerja hari ini.
Devan tidak habis pikir, kenapa Tari selalu saja mengganti baju di kamar mandi? Apa salahnya di kamar? Memangnya apa yang dikhawatirkannya?
Tari keluar dari kamar mandi lima belas menit kemudian dengan berpakaian rapi. Rambut sepunggungnya tampak setengah basah. Devan pun langsung turun dari tempat tidur dengan kepala setengah pusing. Dia harus segera mandi karena pagi ini ada pertemuan dengan orang dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Tari sudah bersiap-siap akan berangkat kala Devan selesai mandi dan mengajaknya bicara. "Celana dalamku mana?" tanyanya setelah melirik ke atas meja dan hanya melihat baju serta celananya saja di sana.
Tari bisa saja menyuruh Devan mengambil sendiri. Tapi, dia ingat kalau menyiapkan pakaian suami adalah tugas seorang istri. Maka, Tari pun membuka lemari dan mengambilnya untuk Devan.
Tari akan keluar dari kamar ketika suara Devan terdengar lagi.
"Tari, pasangkan kancing kemejaku!"
Tari menoleh, dan dia mendapati muka Devan yang penuh perintah. Apa maksudnya? Apa lelaki ini kebanyakan nonton sinetron sehingga dia ingin mempraktikkannya sekarang?
"Tari!" panggil Devan pada istrinya yang berdiri bingung.
"Memangnya kamu nggak bisa pasang sendiri? Bukannya kamu punya tangan?" Tari tidak mengerti apa maksud Devan sebenarnya. Ingin meniru adegan romantis seperti di film-film kah? Tari memang sering menyaksikan di film atau membaca di novel-novel tentang kisah rumah tangga pasangan harmonis. Di mana istrinya akan memasangkan kancing kemeja sang suami serta dasinya. Apa Devan menginginkan Tari seperti itu setelah apa yang dilakukannya?
Devan berdecak kesal saat Tari tidak menghiraukannya dan bergegas keluar dari kamar. Dipukulnya meja dengan tangannya yang terkepal. Tapi pada akhirnya, dia mengaduh karena kesakitan sendiri.
Tari sarapan sendiri di ruang makan tanpa menunggu Devan. Sesekali dia menimpali Inah yang mengajaknya mengobrol.
"Mbak Tari, boleh nggak saya nanya sesuatu?" celetuk Inah saat Tari sedang serius menghabiskan semangkuk oatmeal.
"Iya, Bi, tanya aja."
"Udah ada tanda-tanda belum, Mbak?"
"Tanda-tanda apa, Bi Inah?" Tari balik bertanya. Dia sama sekali tidak berpikir arah pembicaraan asisten rumah tangganya itu. Pikirannya masih disibukkan dengan tanggung jawabnya di kantor yang lama. Tidak mungkin dia kabur begitu saja meninggalkan tugas-tugasnya yang belum selesai.
"Tanda-tanda hamil, Mbak." Suara Inah terdengar lagi, membuyarkan lamunan Tari.
"Oh... belum, Bi," jawab Tari jujur. Ini adalah kedua kalinya Inah menanyakan hal yang sama padanya.
"Mbak Tari jangan sampai kelelahan ya, Pak Devan-nya juga jangan sampai stres biar cepat jadi."
Tari tersenyum pahit. 'Justru aku yang stres,' gumamnya dalam hati.
Obrolan keduanya terputus saat Devan muncul dan bergabung di meja yang sama dengan Tari. Perempuan itu lalu buru-buru menghabiskan makanannya. Sebelum ke kantor Arga, dia akan mampir ke kantor lamanya dulu guna menyelesaikan segala sesuatunya.
"Aku duluan, Dev," pamit Tari setelah menyeka mulutnya dengan serbet.
"Mau ke mana kamu? Memangnya kamu udah tahu alamat kantor Arga?"
"Aku mau ke kantor lamaku dulu, aku mau menyelesaikan urusanku di sana."
"Nggak usah. Bukannya aku udah bilang kalo aku yang akan urus semua? Nanti aku akan suruh Bagas ke sana."
"Tapi, Dev, apa bisa kayak gitu?" Tari masih saja merasa tidak enak. Dia ingin langsung datang tanpa diwakilkan oleh siapa pun.
"Maksud kamu apa, Tari? Kamu meragukan aku? Kamu nggak yakin aku bisa?" Devan merasa tersinggung karena menganggap Tari meragukan otoritasnya.
Tari dengan sangat jelas melihat air muka Devan yang berubah. Pelan-pelan, Tari mulai mengenali karakter suaminya itu. Selain pemarah, kasar, keras, Devan juga bertemperamen tinggi.
"Ya sudah, kamu selesaikan semuanya. Aku pergi dulu."
"Pergi ke mana?"
"Ke kantor Arga lah, Dev, ke mana lagi?"
"Memangnya kamu tahu alamatnya?"
"Tahu, tadi malam aku udah survei ke sana sama Arga."
Devan langsung berhenti mengunyah mendengar penuturan Tari. Jadi, semalam Tari tidak langsung pulang setelah dari hotel? Kenapa istrinya itu tidak bilang padanya? Lalu, ke mana lagi mereka setelah itu?
"Kenapa kamu nggak jujur? Kamu ke mana saja setelah dari hotel?" tatap Devan penuh selidik.
"Memangnya aku harus jujur? Memangnya aku harus kasih tahu aku pergi ke mana aja?" Tari balas memukul Devan dengan telak yang membuatnya tidak berkutik.
Devan menunduk memandangi makanannya. Namun, sesaat kemudian wajahnya kembali terangkat saat Tari melangkah pergi.
"Jangan bilang kamu akan pergi dengan motor bututmu itu! Kamu jangan pernah bikin aku malu!"
Langkah Tari tertahan mendengar seruan Devan. Perempuan itu menoleh. "Jadi, aku harus gimana?"
"Ikut denganku."
"Ya, aku tunggu di depan." Terpaksa Tari mengalah. Mungkin orang-orang benar. Sebagai istri, dia harus ikut menjaga reputasi Devan.
Tidak lama menunggu, Devan pun muncul setelah selesai sarapan. Keduanya langsung masuk ke mobil setelah Bagas membukakan pintu.
"Kita ke mana dulu, Pak?" tanya Bagas sambil menyalakan mesin.
"Antar Ibu Tari dulu ke kantor Arga. Satu lagi, Gas, mulai sekarang jangan panggil Mbak, panggil Ibu," perintah Devan tidak ingin dibantah.
"Baik, Pak," jawab Bagas patuh. Dari kaca spion, dia melirik Tari yang juga menatap padanya. Keduanya tersenyum maklum dan memahami perintah Devan.
====
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️
Romance[SEBAGIAN CHAPTER TELAH DIHAPUS] Tari dan Devan sama-sama dikhianati pasangan mereka, membuat mereka akhirnya memutuskan untuk menikah. Tanpa rasa cinta. Mereka menjalani kehidupan rumah tangga yang hampa, namun memilih untuk tetap bertahan atas das...