Chapter 45

4.6K 237 7
                                    

Hampir setengah jam Tari berada di Le Quartier, restoran Prancis tempatnya dan Devan akan dinner. Namun, hingga detik ini Devan masih belum menampakkan diri. Tari sudah coba menghubungi, tapi Devan tidak menjawab panggilan darinya.

Mungkin dia sedang di jalan dan tidak mendengar suara handphone, pikir Tari. Perempuan itu memutuskan untuk menunggu dengan lebih sabar lagi. Telinganya yang tidak biasa mencoba untuk lebih ramah mendengarkan lantunan musik jazz yang mengalun di restoran itu.

Tari mengedarkan matanya ke setiap sudut penjuru restoran. Tidak sesenti pun dari bagian restoran mewah itu dia lewatkan.

Le Quartier malam itu tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa pengunjung, namun semua berpasangan. Entah itu suami istri, pasangan kekasih, atau mungkin pasangan peselingkuh. Merujuk pada kata terakhir, Tari kembali ingat Aurel. Apa perempuan itu penyebab Devan masih belum datang? Jangan-jangan acara mereka akan batal gara-gara Devan lebih memilih menemani Aurel. Kemungkinan itu selalu ada dan bisa saja terjadi. Bukankah selama ini Aurel yang menjadi prioritas hidup Devan?

Mengembuskan napas berat, Tari mengambil handphonenya kembali. Kali ini bukan untuk menghubungi Devan, tapi dia bermaksud untuk chatting dengan Sabrina. Sudah cukup lama mereka tidak berkomunikasi. Selain karena kesibukan masing-masing, juga akibat belakangan ini posisi Sabrina tergantikan dengan kehadiran Arga.

"Maaf, aku baru datang."

Tari refleks mengangkat muka kala mendengar suara itu. Di hadapannya kini Devan berdiri sambil memamerkan senyum padanya. Segaris senyum yang begitu manis, tapi tak cukup untuk membuat Tari terpesona dan jatuh cinta. Andai saja sejak awal sikap Devan tidak buruk padanya mungkin Tari akan terkesima pada pandangan pertama. Sayangnya, Devan sudah menggoreskan luka sejak perdana.

"Nggak apa-apa," jawab Tari mencoba memahami. Dia mengerti, Devan mungkin disibukkan oleh urusan pekerjaan, yang notabene merupakan prioritas lain dalam hidupnya setelah Aurel.

Tari semakin meyakini pikirannya setelah melihat Devan yang masih mengenakan setelan jas warna navy dengan dalaman kemeja warna biru muda dan dasi senada dengan kemejanya.

Kini giliran Devan yang memperhatikan Tari. Istrinya itu malam ini sesuai dengan ekspektasinya. Cantik dan seksi seperti yang dia harapkan.

Devan meraih tangan Tari, lalu mengecupnya lembut. "Happy anniversary, cantik..."

Tari langsung tertegun oleh perlakuan Devan padanya. Jangan harap mukanya akan merona atau wajahnya tersipu malu. Yang ada Tari mematung sambil terheran-heran. Ternyata Devan bisa romantis juga. Belum habis rasa kagetnya, Devan sudah memberinya kejutan kedua. Lelaki itu mengambil kotak segi empat dari balik jas lantas mengeluarkan isinya yang ternyata sebuah cincin berlian.

Devan menyematkannya ke jari tengah Tari karena jari manisnya sudah terpasang cincin nikah mereka.

"Gimana, suka nggak?" tanyanya meminta pendapat Tari akan cincin itu.

Tari menganggukkan kepala. Tidak mungkin dia tidak menyukainya. Selain bagus, cincin itu pastinya juga mahal.

Tidak hanya itu, Devan kemudian juga memberi sebuket mawar merah untuknya.

"Apa kamu tahu kalau mawar merah itu melambangkan cinta?" tanya Devan dengan tatapan mesra.

"Iya, Dev, aku tahu. Tapi seharusnya kamu nggak usah repot-repot beliin untuk aku," ujar Tari. Seperti yang Devan katakan tadi, bahwa mawar merah melambangkan cinta, lalu apa gunanya dia memberi Tari bunga itu? Sudah jelas-jelas tidak ada cinta di antara mereka.

"Aku nggak repot kok. Kenapa mesti repot? Hanya bunga. Apa susahnya? Tinggal datang ke florist, pesan, bayar, selesai," ucap Devan ringan lalu tertawa. Tapi, tidak dengan Tari. Perempuan itu diam saja mendengar tawa lepas suaminya.

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang