Chapter 69

3K 130 3
                                    

"Kamu serius?" Arga menatap Tari tanpa kedip saat dia menyatakan keinginannya untuk resign.

"Iya, Arga, aku serius." Tari menunjukkan muka bersungguh-sungguh di hadapan Arga.

"Devan yang maksa?" Tatapan Arga semakin dalam di wajah Tari. Dia mencoba mencari kejujuran di wajah perempuan itu.

"Memang Devan yang minta aku untuk resign, tapi dia nggak maksa kok," jawab Tari tanpa bermaksud membela suaminya.

Arga menghela napas. Dengan siku tertumpu di atas meja, lelaki itu mencubit-cubit dagunya. Jujur, Arga tidak ingin melepas Tari meskipun dia tahu suatu saat Tari pasti akan mengundurkan diri karena alasan kehamilannya. Tapi Arga tidak menyangka kalau akan secepat ini. Tadi Arga berpikir kalau Tari akan cuti (bukan resign) saat kehamilannya sudah mencapai tujuh atau delapan bulan, atau minimal enam bulan. Nyatanya, dia salah. Tari bukan hanya cuti, tetapi langsung mengundurkan diri.

"Arga...," panggil Tari pada Arga yang termangu.

"Eh, iya." Arga buru-buru membetulkan posisi duduknya.

"Gimana, Arga?"

"Sebenarnya aku masih butuh kamu di sini. Tapi kalau itu sudah menjadi keputusan kamu, aku nggak bisa berbuat apa-apa." Arga mengembangkan kedua tangannya pasrah.

Tari bisa merasakan kalau Arga merasa berat untuk melepaskannya. Tapi, kenapa? Bukankah Arga bisa mencari orang baru untuk menggantikannya? Bukan masalah yang besar Tari rasa. Bukankah saat ini di luar sana banyak orang yang sedang membutuhkan pekerjaan? Lalu, apa masalahnya? Kenapa Arga terlihat begitu berat untuk melepaskannya?

"Aku sebenarnya juga masih betah bekerja di sini, Arga, tapi karena Devan yang meminta, aku bisa apa? Bukankah seorang istri harus patuh pada suaminya?"

Arga tersenyum hampa. Ah, beruntung sekali Devan memiliki istri seperti Tari. "Iya, Tari, kamu istri yang baik," ucap Arga kemudian.

Tari membalas sanjungan Arga dengan senyum sekenanya. "Aku yakin almarhumah istri kamu pasti jauh lebih baik."

"Iya."

"Makanya kamu gagal move on , kan?" tebak Tari mengira-ngira.

Arga terkekeh geli mendengar kata-kata 'gagal move on' yang diucapkan Tari dengan sangat lugas. Dia pun bertanya pada dirinya sendiri? Apa benar dia gagal move on? Atau, jangan-jangan dia memang tidak pernah mencoba untuk move on?

"Arga, aku rasa sudah saatnya kamu cari pengganti. Mungkin bukan buat kamu, tapi anak kamu butuh seorang ibu. Percayalah, Arga, anak yang tumbuh dengan sosok seorang tubuh dan tanpa ibu akan jauh berbeda, terutama dari sisi psikologis," kata Tari memberi masukan. Semoga saja Arga bisa menerima saran yang sesungguhnya dia katakan tanpa maksud menggurui sedikit pun.

Arga membenarkan kata-kata Tari di dalam hati. Arga bukannya egois dengan hanya memikirkan perasaannya sendiri tanpa memedulikan perasaan anaknya. Tapi masalahnya, hati tidak bisa dipaksa. Selama enam tahun ini, belum ada seorang pun yang mampu menggetarkan hatinya sampai akhirnya Arga mengenal Tari. Arga merasa batinnya yang sepi dan hatinya yang tidak berpenghuni pelan-pelan mulai terisi. Tapi, kenapa harus Tari yang mengisinya? Kenapa harus istri sahabatnya sendiri? Dari banyaknya perempuan, kenapa perasaannya condong pada Tari?

Melihat Arga yang diam membisu, Tari pun merasa tidak enak hati. Jangan-jangan ada kata-katanya tadi yang membuat Arga tersinggung. Tapi setelah Tari pikir, dia sudah bertutur dengan sehalus mungkin. Lagi pula menurut Tari, Arga bukanlah tipe pria baperan. Tapi, bukankah kita tidak akan pernah tahu kalau kata-kata yang menurut kita terdengar baik-baik saja tapi sebenarnya bisa melukai hati orang lain.

"Arga, maaf kalau aku lancang. Aku cuma kasih saran dan masukan. Kamu nggak marah, kan?" tanya Tari hati-hati sambil mengamati wajah Arga baik-baik, berharap bisa membaca suasana hatinya dari sana.

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang