Chapter 28

3.7K 220 0
                                    

Tari tetiba berdeham menarik perhatian Aurel yang menganggapnya tidak ada sehingga perempuan itu menoleh padanya.

"Kamu kenapa ada di sini juga?" tanya Aurel tidak senang. Sejak tadi dia tahu ada Tari di sana, namun tak dipedulikannya. Menganggap hanya ada dirinya dan Devan di sana jauh lebih membahagiakan. Malam ini Tari tampak berbeda dengan gaun mewahnya. Bibirnya yang merah kelihatan begitu menggoda. Dan, Aurel mau tidak mau harus mengakui bahwa Tari tampak berbeda malam ini.

"Suamiku yang mengajak ke sini, makanya aku ada di sini," jawab Tari santai.

Aurel mendengkus. "Suami," desisnya mencemooh. Tatapannya lalu pindah pada Devan. "Dev, kamu udah bilang belum akan menceraikan dia?"

Mata Tari melebar mendengar ucapan Aurel. Jadi, Devan sudah punya niat untuk menceraikannya? Kapan? Kalau memang itu benar-benar terjadi, berarti sebentar lagi statusnya akan berubah menjadi janda rasa gadis.

"Dev, kamu jadi kan menceraikan dia?" ulang Aurel meminta kepastian karena Devan hanya diam.

Devan memiringkan sedikit kepalanya, menatap pada Tari yang juga sedang memandangnya, seakan juga sedang meminta kepastian dan jawaban keluar dari mulutnya.

"Jawab, Dev, jangan diam aja." Aurel mulai tidak sabar. Dia ingin tahu apa Devan benar bersungguh-sungguh ingin menceraikan Tari.

"Rel, kita pergi aja yuk!" ajak Devan menarik tangan Aurel.

"Pergi ke mana? Acaranya kan belum mulai." Aurel bersikeras untuk bertahan.

"Ayo, Rel, kita pergi sekarang!" Devan yang sudah berdiri menarik tangan Aurel lebih kuat agar ikut dengannya. Mau tak mau perempuan itu terpaksa menuruti Devan.

Tari tercenung sendiri melihat sikap Devan yang sama sekali tidak menganggapnya. 'It's okay. I'm fine,' batin Tari.

Di luar ballroom, Aurel tampak kewalahan mengikuti langkah Devan yang setengah menyeretnya. "Kenapa sih, Dev?"

Devan diam saja. Tapi, tangannya terus menggandeng Aurel agar mengikutinya.

Begitu pintu lift terbuka keduanya bergegas masuk. Hanya ada mereka berdua di sana.

"Dev, kita mau ke mana? Kenapa dari tadi kamu cuma diam?" Aurel semakin tidak sabar melihat tingkah Devan. Tangannya mengguncang lengan lelaki itu.

"Kita pulang, aku akan antar kamu sekarang." Devan pun akhirnya bersuara.

"Tapi, acaranya baru akan mulai. Lagian kamu kenapa jadi aneh gini, sih?"

Devan kembali bungkam hingga akhirnya mereka sudah berada di mobil. Lelaki itu menyalakan mesin, namun belum bergerak.

"Nggak seharusnya kamu ngomong kayak tadi di depan Tari," kata Devan menjawab kebingungan Aurel.

"Maksud kamu?"

"Aku memang akan menceraikannya, Rel, tapi nggak perlu kamu bahas di depan dia."

"Lho, kenapa memangnya?" Di pikiran Aurel, kalau memang Devan berencana akan menceraikan Tari enam bulan lagi seperti yang dia janjikan, lalu kenapa tidak boleh membahasnya dari sekarang?

"Nggak enak aja, Rel, aku nggak mau membahas itu sebelum benar-benar kejadian." Devan beralasan.

"Justru malah bagus, Dev. Siapa tahu dia malah pengen cepat-cepat pisah sama kamu."

Devan menarik napas berat, lalu membuang dengan kasar. "Udah ah, nggak usah dibahas lagi, aku pusing. Sekarang aku antar kamu pulang, ya!"

Aurel diam saja. Apa maksud Devan ingin cepat-cepat mengantarnya pulang? Kenapa mereka tidak berada di sini saja? Bukankah mereka bisa menghabiskan waktu bersama di sini? Ah, mungkin Devan ingin tempat yang lebih privat untuk bermesraan dengannya. Membayangkan itu semua Aurel tersenyum sendiri. Perempuan itu menggeser posisi duduk dan menyandarkan kepala ke bahu Devan yang sedang menyetir.

Sementara itu, di ballroom tempat berlangsungnya acara, Tari duduk sendiri. Sudah setengah jam dia menunggu, namun Devan tak kunjung datang. Apa mungkin dia memang tidak akan kembali? Sepertinya iya. Untuk apa dia datang lagi kalau dia sudah menemukan kesenangannya?

Mungkin Tari juga harus pulang sekarang. Untuk apa lagi dia bertahan. Tempat ini ramai karena dihadiri oleh ratusan orang, tapi Tari merasa sepi dan sendirian di sini.

Mengambil clutch bag-nya di atas meja, Tari pun pergi meninggalkan ruangan itu. Dia melangkah gontai sambil memikirkan dengan apa dia akan pulang. Lama Tari menunggu di depan lift sampai akhirnya pintu kotak metal itu terbuka. Dengan sorot mata kosong Tari masuk. Ada seorang lelaki di dalamnya.

"Tari!" sapa lelaki itu.

Tari mengerjap, menatap sang penyapa. Senyum tawarnya mengembang seketika. "Arga," desisnya pelan.

"Kamu kenapa bisa ada di sini?"

"Devan yang ajak aku ke sini menghadiri acara Pak Anthonie."

"Terus, Devan mana?"

"Sudah pergi."

"Pergi ke mana?"

"Aku juga nggak tahu. Tapi, tadi dia pergi sama Aurel."

"Jadi, dia ninggalin kamu sendiri di sini dan pergi sama Aurel?"

"Iya," jawab Tari. Segaris senyum samar terukir di bibirnya. Seolah dia sedang menertawakan dirinya sendiri.

Arga merasa rahangnya mengeras. Dia mengutuki sikap kurang ajar sahabatnya. Tapi, bagaimana mungkin Tari bisa setenang ini? Bahkan, Arga tidak melihat ada kesedihan di wajahnya.

"Kamu di sini dari acara Pak Anthonie juga?"

"Bukan, kebetulan tadi aku ada meeting di lantai dua belas."

"Oh."

"Oh iya, Tari, nggak keberatan kan kalo aku antar kamu pulang?"

Tari menggeleng. "Tentu saja tidak, takutnya kamu yang jadi repot."

"Nggak kok, kenapa harus repot?"

Arga mempersilakan Tari keluar dari lift duluan. Pun saat sampai di parkiran hotel, lelaki itu membukakan pintu mobil untuk Tari. Dalam diam, Tari membandingkannya dengan Devan. Suaminya itu mana pernah memperlakukannya seperti ini.

"Tari, mulai besok kamu sudah bisa bekerja denganku." Arga mengingatkan Tari sesuai dengan hasil pembicaraannya dengan Devan tadi.

"Makasih, Arga," sahut Tari. "Ngomong-ngomong, aku belum tahu kantormu di mana. Devan bilang besok Bagas akan mengantarkan aku ke kantor kamu."

"Kalo aku kasih tahu sekarang gimana? Kebetulan kantorku nggak jauh dari sini." Arga menawarkan diri.

"Boleh, Arga," jawab Tari senang. Hitung-hitung survei lokasi, jadi besok dia tidak akan gamang lagi.

Sepuluh menit sesudahnya mereka sudah berada di depan sebuah gedung pencakar langit, entah lantainya ada berapa. Tapi yang jelas begitu tinggi. Arga lalu menjelaskan pada Tari bahwa perusahaannya bergerak pada bidang usaha yang sama dengan Devan, yaitu eksplorasi gas dan minyak bumi yang lokasi operasionalnya berada di Kalimantan, tapi berkantor pusat di Jakarta.

Tari manggut-manggut tanda mengerti. Dia menolak halus tawaran Arga yang menanyakan padanya apa dia ingin melihat-lihat ke dalam gedung.

"Besok saja, Arga," jawab Tari. Dari dalam mobil, Tari melihat beberapa orang karyawan keluar dari gedung. Mungkin mereka baru saja selesai lembur.

"Jadi, kita langsung pulang sekarang?" tanya Arga saat hendak meninggalkan kompleks gedung itu.

"Iya." Tari tidak ingin ke mana-mana lagi. Tubuhnya terasa lelah. Dia merindukan kasurnya yang dingin setiap malam.

Baru beberapa meter, ponsel Arga berbunyi. Lelaki itu tidak membiarkan sang penelepon menunggu lama. Tari melempar mata ke sisi kiri jalan. Dia tidak ingin menguping dan membiarkan pikirannya melayang.

"Tari, kita mampir ke rumahku sebentar ya!" Terdengar suara Arga beberapa saat kemudian. Ternyata dia sudah selesai menelepon.

"Iya, Arga." Entah ada tujuan atau keperluan apa Arga mengajak ke rumahnya, tapi hanya itu yang bisa dikatakan Tari.

Rumah Arga sebelas dua belas dengan rumah Devan. Besar, megah dan luas. Seorang anak perempuan terlihat riang menyambut kedatangan Arga dan berlari menyongsongnya.

====

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang