"Papa!" Luna berseru riang saat melihat Arga dari jauh. Anak perempuan kecil itu baru saja keluar dari kelasnya.
"Papa nggak telat, kan?" tanya Arga menyambut Luna yang berlari menyongsongnya.
"Nggak kok, Pa, aku baru aja keluar." Mata bulat Luna pindah pada Tari yang berdiri di sebelah Arga. Selama sepersekian detik anak itu memandang Tari dengan penuh arti.
Tari tersenyum hangat. "Luna, masih ingat nggak sama Tante Tari?"
Luna mengangguk cepat, tentu saja dia masih ingat. Baru tadi malam mereka bertemu, jadi mana mungkin dia bisa lupa.
Tari bermaksud duduk di jok belakang sendiri, tapi Arga melarang dan menyuruh duduk di depan dengan Luna.
"Nggak sempit, kan?" tanyanya kalau saja membatasi gerak-gerik Luna.
"Nggak, Tante."
Tanpa sadar, Tari mengusap kepala Luna dan rambut panjang anak perempuan itu. Dia membayangkan kalau nanti mempunyai anak perempuan yang manis, imut, dan pintar seperti Luna. Namun, sesaat kemudian Tari menepis pikiran itu jauh-jauh. Bagaimana mungkin dia bisa punya anak, sedangkan hubungannya dengan Devan tahu sendiri seperti apa.
"Pa, tadi bu guru bilang Papa harus baca ini." Luna mengeluarkan buku penghubung dari dalam tas dan menunjukkannya pada Arga.
"Tari, coba kamu bantu bacain isinya apa," ujar Arga. Posisinya yang saat ini sedang menyetir tidak menguntungkan untuk mengalihkan fokus perhatian pada yang lain.
"Sini, Luna, coba Tante lihat."
Luna memberikan buku itu pada Tari. Anak berusia lima tahun itu menunggu respons wanita yang kini duduk memangkunya.
"Oh, jadi besok kamu ada market day ya di sekolah?" kata Tari setelah membaca baik-baik buku penghubung itu.
"Iya, Tante," sahut Luna agak gantung. Pikirannya mengingat sesuatu. Anak itu kemudian beralih pada sang ayah. "Pa, besok Papa bisa datang, kan? Teman-temanku semua ada mamanya, Pa."
Arga berdeham. Selalu seperti ini dari dulu. Setiap kali ada acara di sekolah Luna yang mengharuskan orang tua perempuan untuk datang, Arga akan kebingungan sekaligus sedih. Bahkan tak jarang dia menyuruh Mirna, asisten rumah tangganya untuk menggantikan peran mama Luna yang sudah tiada. Tapi, tetap saja feel-nya beda.
Arga menoleh pada Tari yang sedang mengusap-usap pundak Luna. Perempuan itu sepertinya mudah beradaptasi dengan anaknya. Dan, dari pengakuan Tari yang mengatakan kalau dia menyukai anak-anak membuat sebuah ide melintas di benak Arga. Mungkin dia bisa meminta bantuan Tari.
"Tari, bisa aku minta tolong?"
"Minta tolong apa, Arga?" tanya Tari setelah menoleh pada lelaki itu.
"Tolong kamu wakili aku besok ke sekolah Luna."
Tari tidak langsung menjawab. Otaknya sibuk memikir jawaban setelah berpikir sejenak. Apa ini termasuk tugasnya sebagai sekretaris?
Mata Tari kini jatuh pada anak perempuan yang berada di pangkuannya. Luna sudah seperti keponakannya sendiri mengingat Arga adalah sahabat dari suaminya, jadi Tari pikir tidak ada salahnya untuk membantu.
"Iya, besok aku akan mewakili kamu," putus Tari.
Arga tersenyum lega, pun dengan Luna. Matanya berpijar menyiratkan suasana hatinya.
"Luna, nggak apa-apa kan kalau Tante Tari yang mewakili Papa?"
"Nggak apa-apa, Pa, aku suka kalau Tante Tari yang datang. Makasih ya, Tante." Luna melirik Tari yang berada di belakangnya.
"Iya, sayang, sama-sama." Tari membalas dengan kembali mengusap-usap kepala Luna. "Oh iya, besok ke sekolah untuk acara market day-nya Luna mau bawa apa?"
"Tante, kalau aku mau bawa bento gimana?" Di sekolahnya, setiap hari sabtu setiap anak diharuskan membawa bekal sendiri. Luna sering melihat teman-temannya membawa bekal nasi bento yang lucu-lucu. Anak perempuan itu juga menginginkannya sudah sejak lama.
"Boleh banget dong... Oh ya, Arga, nanti kita beli bento tools dulu ya..."
Arga mengangguk mengiyakan. Lelaki itu lalu membelokkan mobilnya memasuki area resto cepat saji yang terkenal dengan ayam goreng crispy yang sudah melegenda.
Ketiganya pun turun dari mobil dan masuk ke dalam resto. Arga mempersilakan Tari dan Luna untuk masuk terlebih dahulu, setelah menahan pintu kaca dengan tangannya.
"Kamu dan Luna duduk dulu biar aku yang pesan," ujar Arga.
Tari mengajak Luna mencari meja yang kosong. Suasana siang itu yang ramai pengunjung membuat mereka tidak mendapat posisi strategis. Tapi tak masalah, yang penting masih ada tempat yang tersisa.
Dari kursinya, Tari memperhatikan Arga yang sedang antre bersama dengan pengunjung lain yang kebanyakan adalah perempuan. Arga sedikit berbeda dengan lelaki kebanyakan. Itu menurut Tari. Tanpa sadar, dia mulai membandingkan Arga dengan Rayhan. Saat masih pacaran dulu, setiap kali mereka makan di luar seperti ini, maka yang akan antre memesan adalah Tari, sedangkan Rayhan akan duduk menunggu sambil bermain handphone dan merokok jika areanya bebas rokok. Ya, setiap orang memang tidak sama.
"Yeay!!" Luna bersorak kegirangan saat Arga datang membawa makanan mereka.
Tari membantu membagi piring dan membuka kertas nasi, lalu menata di dalam piring masing-masing.
"Pa, kapan-kapan aku juga mau bawa ayam goreng kayak gini ke sekolah. Besok sabtu kita beli aja ya, Pa, kalau Bi Mirna yang masak nggak enak." Luna mengadu setelah suapan pertama lolos ke dalam perutnya.
"Eits! Ingat kata bu guru, makanannya nggak boleh beli, kan?" kata Arga mengingatkan.
"Tapi Bi Mirna nggak enak masaknya..." Luna memberengut.
"Kalau gitu besok kita minta Tante Tari aja yang masak, gimana?"
Tari yang sedang menunduk dan fokus pada makanannya mengangkat muka.
"Mau kan, Tante?" Kali ini Luna yang meminta.
Tari tersenyum kikuk sambil memandang Arga. Lelaki itu mengangguk, memberi isyarat agar Tari mengiyakan saja supaya Luna senang.
"Iya, besok Tante akan masak buat kamu," jawab Tari akhirnya.
Luna tersenyum lebar, "Makasih tante," ujarnya.
Mereka kembali melanjutkan makan siang tanpa suara. Sampai akhirnya, Tari melihat dua sejoli yang baru saja datang dan masuk ke resto. Tari tahu siapa mereka. Suapannya terhenti karena matanya terpaku pada pasangan itu.
"Tari, kenapa nggak dihabisin?" tegur Arga pada Tari yang membatu.
Tidak adanya sahutan dari Tari membuat Arga ikut memperhatikan arah mata perempuan itu. Dan, apa yang dilihatnya membuat Arga shock. Siapa lagi kalau bukan Devan dan Aurel.
Arga memindahkan mata pada Tari yang terus memperhatikan suaminya dan sang wanita. Dia mencoba membaca ekspresi Tari. Tapi, sungguh tak terbaca. Atau, memang perempuan itu terlalu pandai menyembunyikannya?
"Tari!" tegur Arga sekali lagi dengan suara yang lebih keras.
"Eh iya, Arga?" Tari hampir tergagap, tapi cepat menyamarkannya dengan menunjukkan senyum. Membuat Arga semakin sulit membaca perasaan perempuan itu.
"Kamu sedang melihat apa?"
Kalau Arga sangka Tari akan bilang 'Nggak kok, nggak lihat apa-apa', Arga salah.
"Itu Arga, ada Devan sama pacarnya." Tari tersenyum lagi di ujung kata yang membuat Arga ingin menelan Devan hidup-hidup.
====
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️
Romance[SEBAGIAN CHAPTER TELAH DIHAPUS] Tari dan Devan sama-sama dikhianati pasangan mereka, membuat mereka akhirnya memutuskan untuk menikah. Tanpa rasa cinta. Mereka menjalani kehidupan rumah tangga yang hampa, namun memilih untuk tetap bertahan atas das...