Devan dan Tari baru saja selesai berenang. Sambil menyelam minum air. Satu pelepasan lagi terjadi hari ini. Cuma dengan cara biasa dan tanpa inovasi, hanya saja tempatnya menimbulkan sensasi yang berbeda bagi keduanya.
"Kalau udah dekat-dekat sama kamu aku jadi lupa dunia," ujar Devan sambil membelai lembut rambut Tari yang basah.
Tari tersenyum tipis lantas melingkarkan kedua tangannya di leher Devan yang berbaring miring di sebelahnya.
Keduanya kini saling bertatapan. Begitu intens dan mesra. Tari kini mulai merasakan ada yang berbeda setiap kali Devan menatapnya sedalam itu. Perasaan apa ini? Apa mungkin dia benar-benar sudah mencintai Devan?
"Yang, janji ya, pokoknya apa pun yang terjadi kita akan selalu bersama. Aku nggak akan pergi ninggalin kamu. Semuanya demi kamu dan anak kita." Tatapan Devan yang dalam menembus jauh tidak hanya ke dalam netra Tari, tapi juga ke relung hatinya.
"Iya, janji. Demi anak kita," balas Tari.
Handphone Devan yang berdering nyaring mengejutkan keduanya yang saling menyatukan bibir. Awalnya mereka ingin mengabaikan si pengganggu itu. Tapi karena terus berbunyi dan terasa mengusik tanpa henti, keduanya saling menjauhkan mulut.
"Terima dulu teleponnya, Dev," suruh Tari.
Devan mengumpat di dalam hati. Entah siapa manusianya yang mengganggu malam-malam begini. Turun dari tempat tidur, Devan melangkah pelan mengambil ponsel yang berada di atas meja. Tepat di samping lemari pendingin tempatnya biasa menyimpan koleksi minumannya.
Detak jantung Devan mengencang melihat layar iPhone 11-nya.
'Rahardja calling.'
Devan menduga di dalam hati, pasti mertuanya itu menelepon untuk membicarakan masalah Aurel. Apa lagi kalau bukan hal itu.
"Halo, Pa!" sapa Devan tetap tenang meskipun jantungnya bertalu-talu. Devan bukannya takut pada Rahardja. Tapi, Devan mengkhawatirkan kelicikan Aurel yang mampu melakukan apa saja untuk melancarkan keinginannya.
"Dev, kamu di mana?" Suara Rahardja terdengar dingin, tidak sehangat biasa.
"Di rumah, Pa, ada apa?"
"Ada yang mau Papa bicarakan sama kamu."
"Iya, Pa, silahkan!"
"Bukan melalui telepon maksud Papa. Bisa kamu datang ke rumah sekarang?"
Devan melihat jam yang menempel di dinding. Jarum pendeknya berada di angka sembilan, sedangkan jarum panjangnya bertengger di angka dua. Sudah jam sembilan lewat sepuluh malam. Devan merasa lelah dan mengantuk. Lagi pula, apa hak Rahardja menyuruhnya?
"Pa, kayaknya aku nggak bisa ke sana, apa nggak bisa lewat telepon saja?" tanya Devan seraya melirik Tari yang berbaring di atas tempat tidur mereka. Sial! Kimono tidurnya yang tersingkap hingga jatuh ke atas paha membuat Devan turn on lagi. Padahal mereka baru saja selesai menyatukan diri.
"Nggak bisa, Dev, kita harus ketemu langsung," kata Rahardja bersikeras.
"Kalau begitu besok saja nggak apa-apa kan, Pa? Aku nggak bisa ninggalin Tari sekarang."
"Ya sudah." Rahardja mengakhiri panggilan disambut dengan helaan napas berat Devan.
Devan me-nonaktifkan ponselnya agar tidak ada lagi seorang pun yang bisa mengganggunya. Setelahnya, lelaki itu beranjak ke tempat tidur.
Devan kemudian menarik selimut menutupi Tari hingga sebatas pinggang.
"Dev, aku kan nggak dingin, kenapa dipakein selimut?" protes Tari.
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️
Romance[SEBAGIAN CHAPTER TELAH DIHAPUS] Tari dan Devan sama-sama dikhianati pasangan mereka, membuat mereka akhirnya memutuskan untuk menikah. Tanpa rasa cinta. Mereka menjalani kehidupan rumah tangga yang hampa, namun memilih untuk tetap bertahan atas das...