Chapter 32

4.1K 227 1
                                    

"Gas, ada nggak teman kamu yang nganggur?" Devan membuka obrolan setelah mereka membelah jalan raya.

"Banyak sih, Pak. Kalau boleh tahu untuk apa, Pak?" Bagas balik bertanya.

"Untuk antar jemput Bu Tari."

Sontak Tari memandang pada Devan yang duduk di sebelahnya. "Antar jemput ke mana, Dev?"

"Ke mana saja. Mulai besok kamu ke mana-mana nggak boleh sendiri."

"Lho, kenapa gitu?"

"Nggak usah banyak tanya, Tari. Pokoknya kamu ikuti saja apa yang aku perintahkan," tandas Devan menunjukkan keegoisannya. Lelaki itu kemudian beralih pada sang supir yang pura-pura serius memperhatikan jalan, padahal telinganya mendengar dengan jelas percakapan kedua majikannya. "Nanti kamu bawa dia ke rumah. Syaratnya harus punya SIM, nggak neko-neko, benar-benar pengen kerja, terus satu lagi kalau bisa yang sudah berumur, kalau perlu yang agak tua dan sudah berkeluarga."

Bagas mendengarkan dengan baik kata-kata Devan. Dia lalu memikirkan dan mengingat-ingat apa ada temannya yang memenuhi syarat seperti yang diminta Devan.

"Pak, harus ya yang sudah tua? Bukannya bagus yang masih muda, Pak? Lebih kuat dan cekatan," kata Bagas berargumen.

"Nggak ada tawar-menawar, Gas, pokoknya harus seperti yang saya katakan," tukas Devan tidak mau dibantah lagi.

Tari hanya menahan napas melihat sifat keras Devan. Dia mencoba untuk tidak menghiraukan apalagi memikirkannya. Nyatanya, baru saja Tari mengalihkan perhatian ke jalan, deringan handphone Devan membuatnya menegakkan telinga. Tari pun mendengar nada ramah dari suara Devan saat menyapa sang penelepon.

"Iya, Rel, aku masih di jalan."

"..."

"Iya, kayak yang aku bilang semalam aku ada meeting pagi ini."

"..."

"Hah? Sakit? Sakit apa? Mag kamu kambuh lagi? Kamu sih, bukannya aku udah bilang pola makan kamu itu harus dijaga."

"..."

"Ya udah, sebentar lagi aku ke sana."

Tanpa perlu bertanya Tari sudah tahu siapa yang menelepon Devan. Siapa lagi kalau bukan wanitanya. Dan, Tari juga tahu kalau setelah ini Devan akan datang menemuinya.

Sama seperti yang sudah-sudah, Tari meyakinkan diri kalau dia baik-baik saja. Apa pun yang dilakukan Devan tidak akan berpengaruh baginya.

Bagas memberhentikan mobil tepat di depan kantor Arga.

"Aku turun dulu ya," kata Tari pada Devan.

Lelaki itu melirik sekilas. Dan, Tari bisa merasakan ada keresahan di wajahnya yang terlihat gusar. Entah apa yang terjadi pada kekasih hatinya, atau separah apa penyakitnya, Tari tidak ingin tahu.

"Selamat bekerja, Bu Tari," ujar Bagas memberi semangat.

"Makasih, Gas." Tari membalas senyum tulus Bagas. Meskipun terdengar klise, tapi Tari kini tahu bahwa masih ada orang yang memperhatikannya, atau setidaknya peduli pada dirinya.

"Jalan, Gas!" perintah Devan saat melihat Bagas masih termangu memandangi langkah kecil Tari yang menjauh meninggalkannya hingga hilang saat masuk ke dalam gedung.

"Baik, Pak," sahut Bagas. Lelaki itu mengembalikan fokus perhatiannya ke jalan dan melanjutkan perjalanan.

"Di depan langsung belok kiri," suruh Devan beberapa meter sebelum traffic light.

"Kita mau ke mana, Pak?" tanya Bagas bingung. Seharusnya nanti mereka mengambil jalan lurus untuk menuju ke kantor Devan.

"Ke apartemen Aurel, dia sakit."

"Tapi pagi ini Pak Devan ada meeting," kata Bagas mengingatkan. Kalau saja Devan lupa.

"Meetingnya nanti saja, yang penting sekarang ke apartemen Aurel dulu," kata Devan bersikeras. Dia mengabaikan semuanya. Aurel berhasil mengalihkan dunianya dari apa pun juga.

"Tapi, Pak..." Bagas masih ingin protes.

"Nggak usah banyak protes, Gas, tugas kamu hanya mematuhi perintahku, mengerti?"

"Baik, Pak." Bagas mengangguk pelan walaupun hanya setengah hati. Rasa bersalah menghantui Bagas. Secara tidak langsung dia sudah berperan mendukung hubungan Devan dan Aurel yang jelas-jelas sangat menyakiti Tari, meskipun Tari tidak memperlihatkannya sedikit pun.

Setibanya di apartemen Aurel, Devan menyuruh Bagas pergi dan meninggalkannya di sana. Padahal awalnya Bagas mengira bahwa mereka hanya sebentar, dan setelah itu mereka akan pergi. Nyatanya, dia salah. Devan malah menyuruh meninggalkannya.

"Kamu urus saja masalah resign Tari, Gas," suruh Devan sebelum keluar dari mobil lantas menutup pintu dengan sedikit membanting. Dan, Bagas tidak bisa melakukan apa pun selain memandangi kepergian majikannya itu seraya berharap di dalam hati dia akan berubah. Kalau bukan sekarang, semoga nanti.

Devan melangkah tegap memasuki gedung apartemen Aurel. Dia sadar sesadar-sadarnya kalau di sini bukanlah tempatnya untuk pagi ini, tapi entah kekuatan apa yang membuatnya terdorong untuk lebih memilih mengunjungi tempat ini ketimbang menghadiri pertemuan penting yang membahas masa depan perpanjangan proyek yang sedang ditanganinya.

Devan mendapati Aurel sedang meringkuk di tempat tidur di bawah selimut yang hangat. Perempuan itu langsung memeluknya. Wajah Aurel yang pucat dan terlihat meringis membuat Devan semakin yakin kalau Aurel benar-benar sakit seperti yang disampaikannya di telepon tadi. Aurel tidak bohong. Selama ini Aurel yang sering berpesan agar Devan menjaga kesehatan terutama pola makannya. Nyatanya, dia sendiri yang melanggar.

"Kita ke dokter ya," ajak Devan yang melihat Aurel terus meringis.

"Nggak usah, Dev, aku udah minum obat. Aku hanya butuh kamu di sini, Dev."

Devan mengusap-usap kepala Aurel dan memandanginya dengan tatapan penuh arti. Perempuan itu balas menatapnya dengan tatapan sendu.

"Rel, aku nggak bisa lama-lama di sini. Aku kan udah bilang, aku ada meeting pagi ini."

"Kamu baru datang tapi udah mau pergi. Gimana sih, Dev? Memangnya kamu tega ngelihat aku kesakitan sendiri?"

"Makanya, Rel, kita ke dokter aja."

"Aku nggak mau, aku cuma pengen sama kamu, Dev... Jangan pergi, ya..."

Rengekan manja Aurel membuat Devan kasihan. Pada akhirnya, dia membuka jas dan dasinya, lalu melempar sembarangan ke sofa. Sepertinya dia akan berada lama di sini. Devan tidak ingin membuat pakaiannya kusut.

"Apa yang bisa aku lakukan sekarang?" Devan harap Aurel tidak meminta untuk berbaring di sebelahnya. Masih terlalu pagi dan saat ini dia juga sedang tidak mood untuk bercinta. Tapi, rupanya hal itulah yang diinginkan Aurel. Perempuan itu meminta Devan untuk merebahkan diri di sampingnya, tapi Devan menolak.

"Kenapa sih, Dev?" Aurel bertanya heran. Baru kali ini Devan menolak untuk berdekatan dengannya.

"Nggak apa-apa kok, aku cuma lagi pengen duduk aja."

"Devan..."

"Iya?"

"Coba kalo kamu waktu itu nggak keburu emosi, coba kalo waktu itu kamu nggak kemakan rumor tentang aku, mungkin saat ini aku yang jadi istri kamu, Dev, bukan dia," kata Aurel menyesali keputusan emosional Devan.

"Sudahlah, Rel, nggak usah dibahas lagi."

"Kita nggak bisa nggak bahas ini, Dev... aku juga butuh kepastian. Enam bulan masih terlalu lama. Kenapa sih nggak sekarang aja kamu ceraikan dia? Apa susahnya?"

"Rel, please, aku lagi nggak ingin bahas masalah ini," pungkas Devan menolak. Dilema tiba-tiba melandanya.

"Memangnya kenapa? Mau nggak mau kita harus bicarakan kelanjutan hubungan kita, Dev."

"Iya, tapi nggak sekarang. Bisa, kan? Atau, aku pulang aja sekarang kalo kamu tetap bahas masalah itu."

====

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang