Chapter 64

2.9K 132 3
                                        

Pagi ini Tari terbangun dengan sekujur tubuh yang terasa pegal. Semalam Devan menghukumnya sampai dia nyaris kehabisan napas. Devan mungkin lupa kalau Tari sedang hamil.

"Makanya lain kali jangan ganjen," bisik Devan setelah pelepasan panjang keduanya.

"Ganjen gimana?" Tari merasa tidak melakukan hal yang aneh-aneh. Atau, apa mungkin dia melakukan kesalahan yang tidak disadarinya?

Devan memilih bungkam. Tidak mungkin juga kan kalau dia bilang cemburu pada Rayhan? Harga dirinya mau ditaruh di mana?

Tari mengingat kembali kejadian tadi malam. Sepulangnya dari Caramel Cafe, Devan langsung mengurungnya di kamar. Lelaki itu menanggalkan semua penutup tubuh Tari. Kemudian menutup matanya dengan sapu tangan. Dan yang paling membuat Tari shock, Devan memborgol tangannya.

Selanjutnya sudah bisa ditebak. Devan merealisasikan fantasinya yang sudah lama mengendap di kepala, tertimbun bersama angan-angan.

Tari hanya bisa pasrah ketika Devan menguasai tubuhnya. Mengeksplorasi dari atas kepala hingga telapak kaki. Dari bagian depan badan hingga belakang tubuh. Devan sama sekali tidak memberi kesempatan pada Tari untuk membalas. Lagi pula, bagaimana mungkin bisa membalas dengan tangan terbelenggu seperti itu?

Tapi, terlepas dari itu semua, Devan melakukannya dengan lembut. Tidak ada kekasaran ataupun kekerasan.

"Yang, maaf atas yang tadi malam. Tapi aku nggak nyakitin kamu, kan?" Devan mendekap Tari yang masih berpenutup handuk setelah baru saja selesai mandi.

"Nggak kok, nggak apa-apa. Aku suka."

"Serius?" Devan membalikkan tubuh Tari mengarah padanya.

Tari mengangguk pelan sembari tersenyum ringan. "Tapi gantian ya, Dev. Kapan-kapan aku yang kasih kamu hukuman."

"Kamu serius?" Senyum senang terukir di wajah Devan yang riang. Tahu akan mendapat feedback begini mendingan dari dulu dia wujudkan fantasinya.

"Iya, serius."

"Ah, can't wait!" Senyum di wajah Devan semakin lebar membayangkan kala dirinya berlakon menjadi submisif. Aneka fantasi tak terkendali berlalu-lalang di kepalanya kini.

Tari mengulas segaris senyum lagi sambil mengusap rahang Devan. "Sabar adalah kunci. Kita nggak bisa sering-sering ngelakuinnya, ini baru trisemester awal."

"Iya, Yang." Devan terpaksa meneguk ludah, menyimpan kembali khayalan indahnya di kepala.

Ketukan di pintu kamar membuat keduanya terdiam. 'Mau apa lagi si Inah?' umpat Devan di dalam hati.

Terburu-buru dikenakannya pakaian kerja, setelan jas formal seperti biasa. Pun dengan Tari.

"Maaf, Pak Devan, mengganggu pagi-pagi." Wajah Bagas yang menyembul saat Devan membuka pintu. Pasti supirnya itu mau memberi laporan. Sejak memberi perintah kemarin Devan memang belum bertemu dengan Bagas. Malamnya mereka pulang dari Caramel Cafe juga sudah larut.

"Jadi gimana, Gas?" desak Devan tidak sabar ingin segera tahu informasi yang disampaikan Bagas.

"Pak, menurut info yang saya dapat ternyata hasil lab Mbak Aurel tertukar dengan pasien lain. Mbak Aurel nggak sakit kanker. Dia cuma kena maag kronis. Pihak rumah sakit juga sudah klarifikasi dengan Mbak Aurel dan keluarganya. Jadi mereka sudah tahu."

Devan terdiam setelah mendengar penuturan panjang Bagas. Tari yang juga sudah berdiri di samping Devan ikut bungkam.

Keduanya kemudian sama-sama menyimpulkan kalau Aurel dan keluarganya mengelabui mereka.

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang