Ting tong...
Dari tadi tidak henti-hentinya bel pintu berdenting dan menggema ke seisi rumah. Dengan terpaksa Devan beranjak malas dari posisi enaknya di sofa depan televisi. Masalahnya hanya dirinya sendiri di rumah. Istri dan anak perempuannya pergi ke sebuah acara. Entah acara apa. Yang jelas Tari bilang ke acara perempuan.
Devan membuka pintu, dan detik itu juga penampakan seorang remaja laki-laki berusia lima belas tahun terpampang nyata di hadapannya.
"Malam, Om, saya Eric, Belle-nya ada?" Remaja laki-laki itu tersenyum pada Devan. Sebelah tangannya dia sembunyikan di belakang punggung. Entah apa yang ada di baliknya.
"Belle pergi, kamu mau apa?" tanya Devan galak.
"Masa sih, Om?" Eric tidak serta-merta percaya. Dia mencondongkan kepalanya guna melihat ke dalam rumah. "Om nggak bohong, kan?" sambungnya lagi.
"Memangnya saya seperti orang pembohong?"
"Hehe... kali aja kan. Masa iya tiap saya ke sini Belle-nya pergi terus. Bohong itu dosa lho, Om. Percuma kan ganteng-ganteng tapi pembohong?"
Devan hampir saja naik pitam oleh sikap kurang ajar pemuda di hadapannya.
"Hehe... Om, jangan marah dong, saya kan cuma bercanda. Oh ya, Om, saya nitip ini tolong kasih sama Belle ya?" Eric memberikan buket bunga mawar yang sejak tadi disembunyikannya di belakang punggung. "Bunganya jangan dibuang ya, Om, besok saya tanya sama Belle lho." Eric lantas pergi dengan mobil sport-nya setelah berpamitan pada Devan.
Devan menggeleng-gelengkan kepala. Anak zaman sekarang tidak ada sopannya. Devan kemudian menatap buket mawar merah di tangannya. Dia lantas mengambil kartu ucapan yang terselip di buket itu.
Belle, I love you.
From, Eric.
Devan menghela napas. Setiap harinya selalu mendebarkan. Bagaimana tidak? Putri semata wayangnya yang baru duduk di kelas tiga Sekolah Menengah Pertama sudah menjadi primadona banyak lelaki. Hampir setiap malam minggu ada saja yang berkunjung ke rumahnya untuk bertemu Belle. Dan, Devan tidak akan membiarkan begitu saja anak perempuan kesayangannya jatuh ke pelukan lelaki mana pun.
"Belle, dengar Papi baik-baik, semua cowok itu sama, nggak ada yang baik." Doktrin itu yang terus Devan tanamkan di benak Belle.
"Termasuk Papi?" sahut Belle cuek yang membuat Devan kelimpungan karena sudah terjebak oleh kata-katanya sendiri.
"Ya bedalah! Papi sih baik. Kalo kamu nggak percaya coba deh kamu tanya sama mami kamu."
Belle mencibir tidak percaya.
"Kamu dengar Papi baik-baik, Belle, jangan kamu abaikan nasihat Papi. Nggak ada cowok yang baik di dunia ini. Semua akan brengsek pada waktunya," tegas Devan dengan wajah serius. Sungguh, ketakutannya saat ini adalah tidak bisa menjaga anaknya dengan baik.
"Iya deh, iya..." Belle akhirnya mengalah agar Devan berhenti menceramahinya. Setiap hari hidupnya tidak lepas dari ceramah dan petuah Devan yang intinya cuma satu, melarang dirinya untuk dekat dengan lelaki mana pun, seperti apa pun penampakannya, sepintar dan sekaya apa pun dia, di mata Devan tetap tidak ada yang benar.
Devan sangat protektif padanya. Setiap hari mengantar jemputnya ke sekolah dan mengawasi dengan ketat. Meskipun sudah ada Bagas, yang Devan sebut sebagai bujang lapuk karena masih melajang di usianya yang bulan depan mencapai empat puluh tahun, tapi Devan tetap tidak memercayakan Belle padanya dan melepaskan begitu saja.
Devan yang larut dalam lamunan tersentak ketika Cathy, kucing persia milik Belle mengeong dan membuatnya terperanjat.
Di tangannya masih ada sebuket mawar merah pemberian Eric tadi. Devan memandangnya geram dan meremukkannya. Dengan langkah panjang dia bergegas membinasakan bunga itu dan membuangnya jauh-jauh ke tempat sampah.
Merasa sudah aman dan yakin Belle tidak akan tahu, Devan kembali rebahan di depan televisi. Melanjutkan menonton siaran langsung sepak bola yang tadi sempat tertunda.
'Damn it! Kenapa skornya sudah 2-0?' Devan mengumpat sendiri. Ini akibat kedatangan teman sekolah Belle tadi yang membuatnya melewatkan banyak pertandingan seru itu.
Devan menyesap kopinya yang tinggal setengah sampai tandas. Pertandingan bola sudah berakhir saat jam di dinding menunjukkan waktu pukul sembilan malam, tapi anak dan istrinya masih belum pulang. Devan jadi tidak tenang sendiri. Pria itu lantas mengambil ponsel dan menelepon istrinya. Tapi tidak dijawab yang dibuatnya semakin tidak tenang. Semakin bertambah usia, cemas dan panik semakin akrab dengannya. Sebagai satu-satunya lelaki di antara mereka bertiga, Devan merasa paling bertanggung jawab terhadap keluarganya.
Iya. Tidak salah. Dia satu-satunya pria di rumah itu. Bertahun-tahun lamanya Belle tumbuh sebagai anak tunggal, tanpa saudara. Meskipun Devan dan Tari sudah ratusan atau mungkin ribuan kali berikhtiar, tapi sepertinya Tuhan menakdirkan mereka hanya memiliki seorang anak. Itulah sebabnya Devan menjadi sangat posesif dan over protektif pada Belle.
Deru mesin mobil yang memasuki halaman rumah membuat Devan kembali ke ruang depan. Mengetahui anak dan istrinya sudah pulang, dia akhirnya bisa bernapas lega.
"Kenapa baru pulang, Sayang?" Devan merangkul Belle masuk ke dalam rumah, bukan Tari.
"Tadi kita nyalon, terus shopping dulu, Pi." Belle balas mendekap Devan sambil berjalan.
Di belakang keduanya Tari melangkah pelan. Sejak berumur lima tahun sampai sekarang berusia lima belas tahun, Devan dan Belle memang sangat dekat. Bukannya cemburu, Tari malah bersyukur karena ayah dan anak itu selalu kompak dan akur meskipun selalu berdebat apalagi kalau bukan masalah laki-laki.
"Pi, tadi ada yang mau ngapelin aku nggak?" tanya Belle di depan pintu kamar.
"Nggak, kenapa?"
"Tadi katanya Eric mau ke sini. Rencananya mau ajak aku jalan-jalan sama mobil barunya."
"Halaa... cowok yang kayak gitu yang harus kamu jauhi, biasanya cuma pamer kekayaan orang tua," cemooh Devan.
"Habis mau gimana lagi, Pi? Kita kan masih sekolah, jadi ya pamerin punya orang tua dulu, ntar kalo udah gede baru deh cari duit sendiri. Ya kan?"
Devan berdiri terpaku di depan pintu kamar Belle yang kini sudah tertutup. Putrinya itu selalu punya cara untuk membalas kata-katanya. Tari yang mendengar percakapan mereka menahan senyum sendiri.
Devan lantas menyusul Tari masuk ke dalam kamar. Istrinya itu sedang membersihkan wajah, menghapus sisa-sisa kosmetik yang masih menempel.
Devan mendekat dan memeluk dari belakang. Dia ikut memandang Tari melalui cermin. Di usia kepala empat Tari tetap terlihat menarik. Kecantikannya awet seperti diformalin.
Tidak hanya Tari, Devan pun demikian. Dia tetap memesona dan karismatik. Keduanya menolak tua. Ungkapan life begins at forty mungkin tepat ditujukan pada mereka. Di usia kepala empat mereka mengalami banyak dinamika hidup namun mampu menjalaninya dengan baik.
Sama-sama merebahkan tubuh di pembaringan, keduanya saling bertatapan mesra. Tidak ada yang berubah dari hubungan mereka. Devan dan Tari masih saling cinta bahkan rasanya semakin dalam. Mereka saling menjaga kepercayaan dan menguatkan satu sama lain.
Hidup mereka semakin berkualitas, pun dengan hubungan bersama orang-orang sekitar. Melanie yang dulu benci pada Tari sudah berubah sikap dan malu sendiri saat tahu bahwa menantunya bukan lagi kaum tipis. Selain itu, dengan bertambahnya usia, perempuan itu pun menyadari bahwa hidup tidak akan selamanya, jadi apa gunanya terus-terusan menyombongkan diri.
"Jadi kita benar-benar nggak ada harapan ya, Yang, bakal punya anak lagi?" tanya Devan membelai rambut Tari. Entah untuk keberapa kali dia bertanya dengan pertanyaan yang sama.
"Harapan pasti ada, tapi udah nggak pantas lagi, Dev."
Devan mengesah kecewa, namun mengingatkan diri bahwa dia harus ikhlas atas apa pun yang ditakdirkan Tuhan untuk hidupnya.
"Iya, mungkin ini yang terbaik buat kita," ucapnya ikhlas.
Tari memejamkan mata ketika Devan mendekatkan wajah dan memberi sentuhan di bibir dan dahinya. Keduanya saling berdekapan lalu tidur seperti malam-malam sebelumnya.
====
The End.
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️
Romans[SEBAGIAN CHAPTER TELAH DIHAPUS] Tari dan Devan sama-sama dikhianati pasangan mereka, membuat mereka akhirnya memutuskan untuk menikah. Tanpa rasa cinta. Mereka menjalani kehidupan rumah tangga yang hampa, namun memilih untuk tetap bertahan atas das...