Chapter 46

3.9K 212 3
                                    

"Nggak bisa lebih kencang lagi?" sergah Devan pada Bagas. Dari tadi dia merasa mobil yang ditumpanginya bergerak seperti kura-kura dan beringsut seperti siput.

"Di depan macet, Pak Devan," kata Bagas memberitahu.

"Makanya dari tadi aku bilang jangan terlalu pelan. Tahu sendiri kan akibatnya?"

Bagas diam saja. Kalau Devan sudah mengoceh seperti ini biasanya pasti ada masalah yang mengganggu pikirannya.

Di jok belakang, Devan memijit pelipisnya. Kepalanya mulai terasa berat. Bukan karena kurang tidur atau sakit kepala betulan. Tapi karena memikirkan perdebatannya dengan Tari tadi. Devan ingin menepis Tari jauh-jauh dari pikirannya. Tapi yang ada, justru semakin memenuhi kepalanya.

Berkali-kali Devan membuang napas. Berharap kegelisahannya juga ikut terbuang, nyatanya dia malah semakin resah.

Devan menyandarkan kepalanya, lalu memejamkan mata. Semua tuntutan peristiwa yang terjadi antara dirinya dan Tari kini membayang jelas di depan matanya. Devan tidak menyangka kalau Tari berada jauh di atas ekspektasinya. Tari yang pada mulanya Devan sangka sama seperti cewek-cewek lainnya yang dia kenal, ternyata masih belum tersentuh oleh siapa pun. Dia begitu berbeda. Tari memberikan rasa yang tidak pernah Devan temukan pada perempuan manapun, termasuk Aurel.

Devan masih ingat betapa malam itu dirinya sangat bahagia saat berhasil menaklukkan Tari yang ternyata masih suci. Rasanya tidak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata perasannya kala itu. Tidak hanya secara lahir, tapi batinnya juga bahagia. Ruang hatinya terisi penuh. Tanpa sadar Devan mensyukuri semua itu. Hanya saja, sisi hatinya yang lain menolak. Ego masih menguasainya. Ego lelakinya yang terluka atas hinaan Tari padanya. Belum ada seorang perempuan pun yang memperlakukannya seperti itu. Dan, ternyata Tari mampu melakukannya.

"Pak Devan, tadi Mbak Aurel telfon, Pak." Itu hal pertama yang Devan dengar dari Amel setibanya di kantor.

"Mau apa dia?" sahut Devan tidak tertarik.

"Maaf, Pak, saya tidak tahu, tapi dia pesan kalau Bapak sudah sampai disuruh telfon balik."

Devan menghela napas, lantas membuangnya perlahan. Lelaki itu kemudian mengangguk dan menyuruh sekretarisnya itu pergi dari ruangannya. Setelahnya, Devan mengeluarkan ponsel yang sengaja dia matikan agar tidak seorang pun bisa menghubunginya. Devan tidak sedang ingin diganggu siapa pun, apalagi Aurel. Tapi, sekarang dia merasa butuh distraksi. Mungkin Aurel bisa membuatnya melupakan sejenak masalahnya.

***

"Devan!" Aurel berseru riang saat sore itu Devan muncul di hadapannya.

Devan tersenyum kecil pada perempuan cantik yang terlihat pucat di depannya.

"Kamu ke mana aja, Dev? Masuk yuk!" Aurel menggamit tangan Devan.

Devan menuruti ajakan Aurel lalu mereka duduk bersama di ruang tamu rumah orang tua Aurel. Sejak pulang dari rumah sakit, orang tuanya memang memboyong Aurel ke rumah mereka, dan tidak mengizinkannya kembali ke apartemen karena Aurel sendirian di sana.

"Dev, kamu ke mana aja? Aku kangen tahu nggak?" Aurel menatap Devan mesra sambil menggenggam tangannya.

"Nggak ke mana-mana, Rel, cuma aku agak sibuk beberapa hari ini," jawab Devan beralasan. Ditatapnya muka pucat Aurel yang kini juga sedang memandangnya. Rasa sedih kini membayanginya saat ingat vonis dokter. Devan tidak sanggup membayangkan kalau hanya dalam hitungan bulan dia akan kehilangan perempuan itu. Walau bagaimanapun rasa itu masih ada. Rasa cinta juga rasa sayang, meskipun kadarnya tidak lagi sebesar dulu.

"Sesibuk apa memangnya sampai-sampai kamu pake matiin handphone? Kamu sengaja ya biar aku nggak bisa menghubungi kamu?" tuding Aurel pada Devan.

"Nggak, Rel, itu cuma kebetulan pas kamu telfon handphoneku low bat. Ya udahlah, nggak usah bahas itu lagi."

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang