Chapter 56

4.3K 206 1
                                    

Tari menggeliat pelan, kemudian membuka matanya perlahan. Dia berusaha mengenali tempatnya berada sekarang. Ini bukan kamar yang berada di rumah masa kecilnya. Tapi...

Tari terkesiap saat menoleh ke samping dan melihat Devan berbaring di sebelahnya dengan tangan melingkar ke perutnya. Secepat kilat Tari menepis tangan Devan dan segera duduk. Apa ini memang Devan? Apa dia tidak sedang bermimpi? Satu-satunya yang membuat Tari yakin adalah pajangan bendera Prancis di atas meja yang tertangkap oleh matanya.

Astaga! Apa yang sudah terjadi? Kenapa dia berada di sini?

Tari berusaha mengumpulkan serpihan ingatan guna mengingat apa yang sudah terjadi. Dia butuh waktu beberapa detik hingga ingatannya terkumpul menjadi satu.

Ah, iya... Tadi dia menumpang istirahat karena kepalanya pusing. Maksudnya hanya sebentar, tahu-tahu malah ketiduran.

Tunggu dulu! Sudah jam berapa sekarang? Seingatnya tadi dia keluar dari kantor jam dua belas lewat.

Astaga! Tari kembali kaget saat matanya beradu dengan jam dinding. Jarum pendek berada di angka empat, sedangkan jarum panjang di angka dua. Ternyata sudah sore. Tapi jam kerja belum berakhir. Tari pikir dia harus segera ke kantor sekarang. Setidaknya dia masih sempat menempelkan telunjuk di mesin finger print, meski sesungguhnya dia tidak benar-benar perlu melakukan itu. Siapa yang akan mempermasalahkannya jika dia lupa? Atau, dia dianggap bolos satu hari. Tidak akan ada yang marah. Kalau pun ada yang protes hanya akan mengendap di dasar lidah. Toh, dia orang yang paling istimewa di sana.

Tari hendak turun dari tempat tidur, tapi gerakannya yang terburu-buru membuatnya tanpa sengaja menjatuhkan gelas bekas teh di atas nakas hingga pecah menjadi kepingan-kepingan kecil di lantai.

Devan yang masih tidur merasa terusik, lantas bangun membuka matanya.

"Tari, ada apa?" tanyanya ingin tahu apa yang telah terjadi.

"Aku nggak sengaja menjatuhkan gelas, Dev, jadinya pecah."

"Ya udah, biarin aja, nanti biar Bi Inah yang bersihin." Devan menahan tangan Tari yang akan turun mengumpulkan pecahan kaca.

"Dev, aku mau balik ke kantor sekarang."

Devan menghela napas berat. Rasanya baru sebentar mereka bersama. Devan keberatan mengakhiri kebersamaan singkatnya dengan Tari.

"Tapi ini udah sore, Tari, ngapain balik ke kantor lagi? Orang-orang juga udah mau pulang." Devan melarang setelah melihat jam dinding.

"Kalau gitu aku mau pulang ke rumah."

"Rumah mana? Ini kan rumah kamu."

Sesaat keduanya saling diam dan bertatap begitu dalam. Tari hampir saja terhanyut oleh mata Devan yang menghipnotisnya. Perempuan itu lekas memalingkan muka.

Bangkit dari tidur, Devan mendekat, duduk di sebelah Tari. Tangannya kemudian meraih jemari Tari dan mengunci dalam genggamannya.

"Tari, tolong jangan pergi lagi. Kamu nggak usah pulang. Aku butuh kamu di sini."

Tari balas memandang Devan yang sedang menatapnya dengan begitu intens. Lelaki itu terlihat bersungguh-sungguh.

"Tolong, Tari, batalkan perceraian kita, cabut kembali gugatan kamu. Aku nggak mau pisah sama kamu. Aku sayang sama kamu. Aku ingin mengulang semuanya dari awal, dari nol lagi. Bisa kan kita mulai semuanya dengan saling mengenal ulang?"

Tari berusaha membebaskan tangannya dari genggaman Devan, tapi tidak berhasil. Devan menguncinya dengan sangat erat.

"Aku tahu sulit buat kamu maafin aku. Aku juga tahu kesalahanku sangat berat dan mungkin tak termaafkan, tapi aku janji, aku nggak akan pernah mengulanginya lagi. Aku nggak akan nyakitin kamu lagi. Tapi tolong kasih satu kali lagi kesempatan. Cuma satu kali..."

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang