Rayhan sepertinya belum puas sebelum membuat Tari mendengar penjelasannya dan percaya padanya. Hari pertama dan kedua mungkin Tari bisa menghindar darinya. Tapi tepat di hari ketiga, Rayhan tidak melepaskan Tari. Rayhan mengikuti Tari sampai ke toilet. Dengan berani, dia ikut masuk. Tak peduli Tari yang akan marah padanya. Apa pun risikonya, itu akan Rayhan pikirkan nanti. Yang jelas, Tari harus mendengar penjelasannya.
Tari hampir saja menjerit saat keluar dari bilik toilet dan melihat Rayhan juga ada di tempat yang sama dengannya. "Kamu ngapain di sini? Sengaja ya mau buntutin aku? Awas, aku mau lewat!" sergah Tari pada Rayhan yang menghalangi pintu.
"Aku nggak akan biarin kamu keluar sebelum kamu dengar penjelasanku."
"Nggak ada yang perlu kamu jelasin lagi, Ray! Semua udah jelas. Dan, penjelasan kamu itu sama sekali nggak akan merubah apa pun!"
"Tari, tolong dengarkan aku dulu, aku tahu aku salah. Tapi semua nggak seperti yang kamu pikirkan. Aku nikah sama Kania karena atas dasar kasihan. Dia hamil, tapi pacarnya nggak mau bertanggung jawab, dan malah ninggalin dia. Lalu-"
"Lalu, kenapa harus kamu yang tanggung jawab?" potong Tari cepat. Ya Tuhan, Tari tidak menyangka kalau kisah-kisah yang terjadi di drama yang pernah dia tonton kini harus dia alami sendiri. Dan, itu nyata. Bahkan, kelewat nyata untuk hidupnya yang menderita.
"Tari, aku kasihan sama Kania, kamu bisa bayangin kan, seorang perempuan hamil dan ditinggal kekasihnya, nggak kebayang gimana malunya dia. Bahkan, Kania hampir saja bunuh diri karena frustrasi."
Frustrasi dia bilang? Apa Rayhan pikir Tari tidak frustrasi dan malu saat ditinggalkan begitu saja sebelum pernikahannya? Bahkan, saat itu Rayhan mengaku tidak mencintai Tari. Kenapa Rayhan tidak jujur mengatakan alasan yang sebenarnya? Ini tidak adil buat Tari. Dia tidak akan bisa menerima begitu saja.
Iya. Dua tahun menjalin kasih dengan Rayhan membuat Tari tahu karakter Rayhan. Mantan kekasihnya itu memang baik. Bahkan, saking baiknya dia begitu mudah untuk dimanfaatkan.
"Tari, aku tahu semua ini berat buat kamu, juga buat aku, buat kita. Aku minta maaf. Mungkin aku terlalu lemah sebagai laki-laki. Aku nggak akan memaksamu untuk balikan. Aku hanya mau kamu maafin aku."
Tari sontak mundur ke belakang ketika tiba-tiba Rayhan sudah berlutut di hadapannya.
"Tari, aku tahu kesalahanku mungkin nggak akan termaafkan, tapi sekali lagi, tolong maafin aku. Kalo kamu nggak percaya, aku bisa ajak kamu ketemu sama temanku. Dia akan jelasin semuanya sama kamu."
"Aku nggak perlu bukti apa-apa. Percuma, sudah terlambat, Ray!" Tari langsung meloloskan diri keluar dari toilet.
Sudah jam sembilan malam. Dan, sekarang hanya tertinggal Tari dan juga Rayhan yang masih ada di toilet. Tari memang sudah biasa lembur sampai malam. Tapi biasanya ada Sabrina dan Rara, tanpa Rayhan tentunya. Hanya saja malam ini Sabrina dan Rara tidak ikut lembur karena pekerjaan mereka sudah selesai sejak tadi sore.
Mematikan komputer, Tari bergegas meninggalkan ruangannya yang berada di lantai dua. Dia harus pulang sekarang. Kantor sudah sepi dan Tari tidak menemukan siapa-siapa saat sampai di lantai satu. Dia pun yakin di lantai tiga sana juga tidak ada orang.
Dari pelataran parkir, Tari mencuri pandang ke pos jaga sekuriti. Ruang kecil itu terlihat kosong. Entah ke mana perginya petugas keamanan yang biasa menjaga kantornya. Tari menstarter motor matic putih, sang sahabat setia yang biasa mengantarnya ke mana-mana. Begitu menyala, Tari langsung memacu, tapi mati lagi. Tari terpaksa menstarter kembali, tapi tidak berhasil, motornya tidak bisa menyala.
Titik-titik air yang mulai turun dari langit membuat Tari panik ketika motornya tetap tidak mau menyala saat Tari mengengkolnya. Matanya berpendar menatap ke sekeliling demi mengamati situasi. Berharap ada seseorang yang bisa dia mintai bantuan. Saat itulah Tari menemukan Rayhan yang sedang memperhatikannya.
Lelaki itu lalu berjalan mendekat. "Motor kamu kenapa?"
Sungguh, Tari tidak ingin berbicara pada Rayhan. Namun, dia tidak punya pilihan lain. "Motornya nggak mau nyala, nggak tahu kenapa."
"Sini, aku yang coba, siapa tahu bisa."
Tari menyingkir dan membiarkan Rayhan menyalakan motornya. Tapi, sama saja. Meski lelaki itu sudah melakukan berbagai cara. Menstarter dan mengengkolnya. Motor Tari tetap tidak bisa menyala.
"Tari, kayaknya masalahnya ada di busi, aku nggak ngerti juga. Kalo kamu mau aku bisa mengantarmu pulang," ujar Rayhan menawarkan diri.
Tari menatap langit yang gelap karena digayuti awan hitam. Sebentar lagi hujan deras mungkin akan turun. Tari pikir mungkin lebih baik dia naik taksi online saja. Namun, dia baru teringat kalau ponselnya sudah mati sejak tadi karena kehabisan baterai.
"Sebentar lagi akan hujan. Ayo, kita pulang sekarang," ajak Rayhan sekali lagi.
Tari akhirnya menyerah.
"Pake jaketku dulu, anginnya dingin." Rayhan mengeluarkan jaket dari dalam ransel dan memberikan pada Tari.
"Nggak usah," tolak Tari. Menerima tawaran Rayhan yang akan mengantarnya pulang saja Tari sudah setengah hati, apalagi memakai jaket mantan kekasihnya itu.
Karena Tari menolak, Rayhan juga tidak memaksa. Setelah Tari duduk di boncengannya, Rayhan menyalakan mesin motor dan melaju dengan kecepatan sedang.
Tari masih ingat. Dulu, saat berboncengan seperti ini, dia akan memeluk Rayhan erat-erat dari belakang. Lalu, menyandarkan kepalanya di punggung Rayhan. Biasanya, sesekali Rayhan akan mengusap-usap lutut Tari. Kenangan itu membuatnya sakit. Terlebih saat sang pengukir kenangan berada sangat dekat dengannya, tapi sayang bukan miliknya lagi.
Titik-titik air yang tadi kecil, sekarang sudah menjelma menjadi hujan deras. Rayhan menepi. Kembali mengeluarkan jaket dari ranselnya. "Tari, pake jaket aku. Jangan keras kepala, nanti kamu bisa sakit."
'Tapi kamu lebih suka melihat hatiku sakit, ketimbang fisikku,' gumam Tari di dalam hati. Namun, akhirnya Tari memakai jaket Rayhan. Tubuhnya sudah kedinginan sejak tadi.
Pada akhirnya, mereka pun basah oleh guyuran air langit itu.
Mendekati rumah Devan, hujan mulai reda dan kembali berganti menjadi gerimis. Tari melihat mobil Devan sudah ada di depan rumah. Itu artinya Devan sudah pulang setelah lima hari ini pria itu menghilang. Tari tidak tahu Devan pergi ke mana. Dia sudah tidak peduli lagi. Tari sudah membiasakan diri dengan kehidupannya yang baru. Meski berat, tapi dia harus menjalaninya.
"Makasih," ucap Tari mengembalikan jaket saat Rayhan berhenti tepat di depan rumah. Tari sebenarnya kasihan melihat Rayhan yang kedinginan. Rasanya ingin mengajak lelaki itu mampir. Siapa tahu Devan bisa meminjamkannya baju sebagai pengganti baju Rayhan yang basah. Tapi, Tari kembali mengingatkan diri bahwa Rayhan adalah orang yang dibencinya. Tak perlu basa-basi semacam itu. Bodoh amat Rayhan akan sakit atau mau mati sekalian.
"Tari, aku pulang dulu ya," ujar Rayhan dengan suara gemetar. Tari bisa merasakan kalau saat ini lelaki itu sedang menggigil kedinginan. Tapi, apa pedulinya?
Tari segera memutar tubuh bermaksud masuk ke dalam rumah. Saat itulah dia melihat Devan sedang mengawasi dari beranda. Entah sejak kapan. Mungkin dari tadi, sejak dia baru sampai. Bisa jadi.
====
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️
Romance[SEBAGIAN CHAPTER TELAH DIHAPUS] Tari dan Devan sama-sama dikhianati pasangan mereka, membuat mereka akhirnya memutuskan untuk menikah. Tanpa rasa cinta. Mereka menjalani kehidupan rumah tangga yang hampa, namun memilih untuk tetap bertahan atas das...