Chapter 24

3.7K 235 1
                                    

Entah berapa kali Devan menyebut nama Aurel dalam tidurnya, Tari tidak tahu. Tari menulikan telinga dengan memasang headset dan mendengarkan musik. Bodoh, pikirnya. Meskipun dia perempuan, kali ini dia tidak ingin mendengar lagu-lagu melankolis. Tari memutar lagu hip hop untuk menghibur telinganya, atau lebih tepatnya, hatinya.

Saat terbangun di pagi hari, Devan masih tertidur. Tari meliriknya sekilas, lalu keluar dari kamar. Dia melihat Inah sedang menyiapkan sarapan untuk mereka di ruang belakang.

"Sudah bangun, Mbak Tari?" sapa Inah begitu menyadari kehadiran istri majikannya, atau yang kini juga berstatus sebagai majikannya.

"Sudah, Bi Inah," jawab Tari. "Bi, ada yang mau aku tanyakan pada Bibi."

"Tanya apa, Mbak Tari? Tanya saja."

"Pak Devan biasanya kalo setelah mabuk dikasih apa, Bi?"

"Pak Devan mabuk ya, Mbak Tari?" Inah balik bertanya.

"Iya, semalam," jawab Tari. Sepertinya, dia harus beradaptasi dengan kehidupannya yang baru. Termasuk membiasakan diri dengan kebiasaan Devan yang memang benar-benar baru baginya. Contohnya, minum-minum seperti yang dilakukan Devan tadi malam.

"Biasanya kalau Pak Devan mabuk saya selalu buatin teh jahe hangat, terus kasih obat. Obatnya ada di kotak obat dalam kamar Mbak Tari." Inah memberitahu. Dia sudah biasa menangani Devan yang hangover jauh sebelum lelaki itu menikah dengan Tari.

"Iya, Bi Inah. Bisa Bibi kasih tahu gimana cara bikinnya?"

"Bisa, Mbak Tari."

Tari kemudian memperhatikan Inah. Pertama-tama, perempuan itu memasukkan tiga ruas jahe geprek ke dalam gelas. Lalu, memasukkan madu dan teh celup, diakhiri dengan menuangkan air panas. Inah mengaduknya sampai rata dan mengangkat kantong teh. Kemudian memberikan secangkir teh jahe itu kepada Tari.

"Makasih ya, Bi, tehnya aku bawa ke kamar dulu."

Inah mengangguk sambil tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya.

Membuka pintu kamar, Tari melihat Devan masih tidur. Dia pun berpikir apa tidak terlalu cepat menyediakan teh untuk suaminya itu. Takutnya nanti keburu dingin. Setelah meletakkan cangkir teh di atas nakas, Tari mengambil obat yang dikatakan Inah tadi dan meletakkannya di tempat yang sama.

Sesudahnya, Tari segera mandi. Hari ini dia harus datang lebih awal. Karena motornya masih berada di kantor, mungkin nanti dia akan pakai taksi yang risiko terjebak macetnya lebih besar, ketimbang menggunakan kendaraan roda dua karena dia bisa menyalip ke kanan dan kiri seperti biasa.

Saat Tari keluar dari kamar mandi, ternyata Devan sudah bangun. Hanya saja dia masih berbaring. Lelaki itu memandang Tari sepintas lalu, kemudian memalingkan muka.

"Itu teh sama obat untuk kamu," ujar Tari menunjuk dengan dagunya.

Devan menoleh ke arah nakas. Sedangkan, Tari sudah tidak memedulikannya. Dia segera bersiap-siap. Melalui cermin, medianya berdandan, Tari bisa melihat Devan yang curi-curi pandang padanya. Dan ketika mata mereka bertemu, Devan lekas memalingkan wajah.

"Aku pergi dulu," pamit Tari sebelum meninggalkan kamar. Dia tidak mau Devan menganggap tidak menghargainya. Bagaimanapun sikap Devan padanya, Tari sadar Devan adalah suaminya yang harus dia hargai. Setidaknya, dengan cara berpamitan seperti tadi.

Devan bergeming. Tapi, hidungnya menghirup dalam-dalam aroma white musk yang ditinggalkan istrinya itu. Setelah yakin Tari berada jauh dari kamar, dia langsung menjangkau ponselnya dari tempat tidur. Dia harus menghubungi Bagas sebelum terlambat. Setidaknya, sebelum Tari berhasil memesan taksi.

"Gas, kamu sudah stand by di depan?" tanyanya dengan suara serak setelah mendengar suara Bagas, sang supir sekaligus orang kepercayaannya.

"Iya, Pak, saya sudah siap," jawab Bagas. Setiap hari dia selalu bangun jam empat pagi. Jadwal Devan yang tidak menentu membuatnya harus stand by kapan saja. Itulah sebabnya Bagas tinggal di paviliun belakang rumah Devan, berdampingan dengan Ryan, sang sekuriti. Kebetulan lagi, mereka masih sama-sama melajang.

"Kamu antar Tari ke kantornya, jangan biarkan dia naik taksi. Tapi ingat, dia jangan sampai tahu kalau aku yang menyuruh."

"Baik, Pak Devan," sahut Bagas sigap. Matanya kini menangkap sosok Tari yang sedang mengutak-atik ponsel.

"Satu lagi, Gas, awasi setiap gerak-gerik Tari."

"Baik, Pak Devan, siap!"

Menyimpan ponselnya kembali, Bagas bergegas menghampiri Tari. "Mbak Tari, mau ke kantor?" tanyanya sopan.

"Iya, Gas."

"Kalau begitu biar saya yang antar, Mbak."

Tari melirik sekilas ke arah mobil Devan yang terparkir di depan rumah dan siap untuk melaju. Apa Devan tidak ke kantor hari ini?

"Saya naik taksi saja," jawab Tari menolak. Bagaimanapun dia merasa belum nyaman menggunakan segala sesuatu kepunyaan Devan.

"Nggak apa-apa kok, Mbak, biar saya saja yang antar." Sesuai perintah Devan tadi Bagas tidak mengatakan kalau dialah yang menyuruh.

Mengingat pada jam-jam seperti ini pastilah sedikit susah dan lama mendapatkan taksi, Tari akhirnya menerima tawaran Bagas.

"Terima kasih," ucapnya setelah supir sang suami membukakan pintu mobil untuknya dan menutup kembali.

Perempuan ini terlalu sopan, pikir Bagas. Dia terlalu banyak mengucapkan terima kasih dan menyampaikan kata maaf. Begitu kontras dengan sang suami yang keras dan arogan.

Mobil itu melaju di jalan raya yang ramai oleh kendaraan. Pada jam-jam seperti ini hampir di setiap ruas jalan terjadi kemacetan.

Bosan memandangi jalan yang pemandangannya itu-itu saja, Tari mengambil ponsel di dalam tas dan membuka portal berita online. Maksud hati ingin membaca berita yang bisa membuka pikirannya, Tari malah menemukan artikel yang memuat mengenai kabar Devan dan Aurel. Di sana disebutkan Devan sedang menemani Aurel pemotretan di Bali. Tari tersenyum getir. Jadi, selama lima hari ini Devan ke Bali bersama perempuan itu.

Tari menutup browser dan menyimpan ponsel kembali ke dalam tas. Dilihatnya Bagas yang fokus menyetir sambil memandang lurus ke depan.

"Bagas, apa kamu tahu beberapa hari ini Devan pergi ke mana?" tanyanya hati-hati.

Bagas bingung menjawab pertanyaan jebakan itu. Harus jujur atau malah sebaliknya. Keduanya penuh konsekuensi. Di satu sisi dia harus menjaga rahasia Devan. Namun di sisi lain, Bagas kasihan pada Tari.

"Bagas, jujurlah, saya nggak apa-apa kok. Saya barusan baca berita Devan dan Aurel pergi ke Bali, apa benar begitu?"

Bagas melirik Tari melalui spion tengah. Perempuan itu memang tidak secantik Aurel, meskipun dengan posisinya sebagai istri Devan sekarang, dia bisa melakukan dan mendapatkan apa pun. Dari wajahnya, Bagas bisa merasakan bahwa Tari terlihat kuat dan tegar. Dia sama sekali tidak terguncang dengan pemberitaan mengenai suaminya. Jadi kalau hal itu tidak berarti apa-apa baginya, mungkin lebih baik Bagas jujur saja.

"Iya, benar, Mbak Tari."

====

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang