Devan pikir kalau dia tidak melakukan apa-apa dan tetap berada di kantor, tidak akan ada gunanya. Mungkin dia harus langsung menemui Tari dan mengajaknya makan siang. Biarlah, apa pun hasilnya itu urusan nanti. Yang penting dia harus menunjukkan niat baiknya dulu.
Pukul setengah dua belas, Devan sudah berada di parkiran mobil. Dia sudah membulatkan tekad untuk menemui Tari langsung di kantornya.
"Kamu nggak usah ikut, biar aku pergi sendiri," ujar Devan pada Bagas.
"Baik, Pak, ini kuncinya." Bagas memberikan kunci mobil pada Devan. Devan memang kerap pergi sendiri pada waktu-waktu tertentu apalagi kalau akan menemui Aurel. Dan, Bagas tidak tahu sekarang Devan akan ke mana. Ingin bertanya, tapi takut kena marah. Apalagi akhir-akhir ini Devan terlihat seperti harimau kelaparan.
***
Tari sedang berada di ruangannya ketika pintu tiba-tiba dibuka dari luar tanpa aba-aba. Tidak ada ketukan atau suara pengetuk yang akan meminta izin ingin memasuki ruangannya. Tari sedikit kaget saat melihat Devanlah orang itu. Perempuan itu hanya bisa menghela napas. Entah apa lagi maksud dan tujuan Devan datang menemuinya.
Devan melangkah mendekat, lalu menarik kursi yang berseberangan dengan Tari dan duduk di sana. Dari dulu hingga sekarang Devan selalu kesulitan dalam pengendalian emosi. Tapi mungkin mulai saat ini dia harus belajar caranya mengendalikan diri agar tetap bisa tenang dalam situasi apa pun.
"Kenapa kamu nggak membalas pesanku?" tanya Devan. Diperhatikannya muka Tari inci demi inci. Auranya terlihat begitu berbeda dari biasanya. Mungkin karena dia sedang mengandung. Devan memang sering mendengar kalau seorang perempuan akan terlihat jauh lebih sesuatu saat hamil. Dulu Devan tidak mempedulikannya. Tapi, sekarang dia membuktikannya sendiri.
"Aku belum sempat balas, kerjaanku lagi banyak." Tari menjawab dengan nada dan muka datar seperti biasa. Sementara itu, tangannya bergerak pelan membolak-balikkan bundelan kertas di atas meja.
Melihat itu semua Devan menjadi canggung sendiri. "Tari, nggak bisa ya kamu tinggalin dulu pekerjaan kamu?"
"Memangnya kenapa aku harus ninggalin pekerjaanku?" Tari bertanya balik.
"Masalahnya aku lagi bicara sama kamu, jadi tolong hargai aku dulu," ucap Devan kesal karena Tari masih saja bersikap acuh tak acuh padanya. "Aku masih suami kamu dan kita belum resmi bercerai," sambungnya lagi.
Tari tersenyum kecil, lantas mengangkat muka menatap Devan. "Jadi kamu maunya gimana?"
"Aku cuma mau kamu hargai aku. Bukan memperlakukanku seperti orang asing."
Minta dihargai tapi tidak pernah menghargai. Kembali setelah pergi, datang setelah kehilangan. Terkadang hidup memang selucu itu.
"Memangnya pernah kamu menghargai aku? Memangnya kamu pernah menganggap aku ada?" Tari membalas semua kata-kata Devan. Semua perlakuan Devan dulu masih membekas dengan jelas di ingatannya dan akan terekam sampai kapan pun. Betapa Devan memperlakukannya lebih dari orang asing di rumahnya sendiri. Padahal Tari adalah istrinya.
"Kamu nggak usah bahas yang lain-lain. Sekarang fokus aja sama obrolan kita."
Devan masih saja egois. Mengoreksi, tapi tidak ingin dikoreksi.
"Aku ke sini cuma mau ajak kamu makan siang bareng, itu aja kok. Itu pun kalau kamu mau, aku nggak maksa."
"Memangnya kamu yakin nggak akan ninggalin aku lagi?" sindir Tari. Berkali-kali pergi dengan Devan endingnya selalu sama.
"Tari, nggak usah bahas yang udah lewat." Devan mulai tidak tahan karena Tari terus mengurai kesalahannya satu demi satu. Dia mulai kehilangan rasa sabar yang dengan susah payah dibangunnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/278055849-288-k479040.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️
Romance[SEBAGIAN CHAPTER TELAH DIHAPUS] Tari dan Devan sama-sama dikhianati pasangan mereka, membuat mereka akhirnya memutuskan untuk menikah. Tanpa rasa cinta. Mereka menjalani kehidupan rumah tangga yang hampa, namun memilih untuk tetap bertahan atas das...