Rumah Sakit Harapan, 16.10.
"Mbak Tari baik-baik saja, hanya sedikit kelelahan dan mungkin terlalu banyak pikiran. Nanti saya akan resepkan vitamin." Pria muda dengan kumis tipis serta berjas putih berbicara sambil menuliskan sesuatu.
Saat ini Tari memang sedang berada di ruang praktik dokter. Tidak sendiri, tapi berdua dengan Arga. Tadi, lelaki itu memang mati-matian membujuknya agar mau ke rumah sakit. Arga tidak tega melihat kondisi Tari yang lemah. Awalnya Tari menolak ajakan tersebut, karena tidak enak pada Arga dan takut merepotkan. Namun pada akhirnya, Tari menyerah pada bujukan sahabat suaminya itu.
"Terima kasih, Dok!" Arga mengambil kertas berisi resep obat yang disodorkan dokter padanya. Tari ikut berterima kasih, lantas keluar dari ruangan dokter.
Arga mengajak Tari ke apotek dan memintanya duduk di kursi tunggu, sementara dirinya memberi resep obat tadi pada petugas apotek.
"Tadi aku sudah telfon Devan." Arga memberitahu setelah duduk di sebelah Tari.
"Terus?" timpal Tari tak bersemangat. Dia tidak ingin berharap apa pun. Tari tahu, Devan tidak akan peduli padanya.
"Katanya dia sedang di jalan. Aku sudah kasih tahu kalo kamu sakit."
"Oh." Hanya itu respons Tari. Dia sudah bertekad akan mengikuti cara Devan bersikap padanya. Kalau Devan saja tidak peduli, lalu kenapa Tari harus repot-repot menghiraukan lelaki itu?
***
Acara konferensi pers Aurel masih berlangsung. Perempuan itu terlihat bangga. Terlebih ketika memperkenalkan Devan sebagai seseorang yang sangat istimewa baginya.
"Pak Devan, bukankah anda sudah menikah?" tanya seorang reporter yang meliput acara itu. Setahunya, Devan sudah memiliki istri. Lalu, bagaimana mungkin saat ini Devan begitu ringan menggandeng mesra Aurel?
Pertanyaan itu jujur saja membuat Devan gugup. Tapi sebagai seseorang yang sudah biasa berada di situasi seperti itu, Devan dengan santai merespons. "Iya, saya memang sudah menikah. Tapi bukan berarti saya jadi tidak bisa bergaul. Lagi pula, Aurel adalah sahabat saya, dan memang hubungan kami sebagai sahabat sangat istimewa."
"Sahabat rasa suami," tukas Aurel sambil tertawa. Semua orang di sana pun ikut tertawa menanggapi lelucon perempuan itu. Sementara, Devan hanya tersenyum kecut.
Setelah acara itu berakhir yang ditutup dengan interview singkat seperti tadi, keduanya pun meninggalkan atrium.
"Kita ke apartemenku aja ya, Dev," ajak Aurel setelah berada di mobil Devan.
Sebelum Devan sempat menjawab, Bagas sudah lebih dulu menyela. "Pak Devan, kita harus pulang sekarang, Pak, Mbak Tari sedang sakit," ujarnya mengingatkan. Kali saja Devan lupa karena pesona perempuan cantik di sebelahnya.
Aurel memandang kesal pada Bagas yang sedang menyetir. Dari dulu dia memang tidak menyukai lelaki itu. Tapi, entah kenapa Devan mempertahankan Bagas untuk bekerja dengannya.
"Dev, ke apartemenku ya, Dev...," bujuk Aurel sambil menyandarkan kepala ke bahu Devan. Matanya menatap manja dengan penuh pengharapan pada lelaki itu.
"Tapi aku nggak mampir ya, aku nganterin kamu aja." Devan mengambil jalan tengah. Tubuhnya saat ini sangat lelah dan ingin segera beristirahat.
"Kenapa gitu sih, Dev?" Aurel memberengut tidak terima.
"Nggak ada apa-apa kok, Rel, aku cuma pengen istirahat."
"Kalo cuma istirahat di apartemenku kan bisa."
Devan tersenyum samar. Kalau di apartemen Aurel bukannya istirahat, mereka malah akan melakukan yang lain-lain.
"Kapan-kapan ya, aku janji," bujuknya pada Aurel sambil mengusap-usap pundak perempuan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️
Roman d'amour[SEBAGIAN CHAPTER TELAH DIHAPUS] Tari dan Devan sama-sama dikhianati pasangan mereka, membuat mereka akhirnya memutuskan untuk menikah. Tanpa rasa cinta. Mereka menjalani kehidupan rumah tangga yang hampa, namun memilih untuk tetap bertahan atas das...