Chapter 26

3.9K 245 0
                                    

Tari saat ini duduk di mobil di sebelah Devan dengan wajah cemberut. Bagaimana tidak? Tadi Bagas menemui Dhanu Wijaya dengan tujuan meminta izin agar Tari diperbolehkan pulang lebih awal. Tentu saja, Bagas menjual nama Devan. Tari malu. Entah apa penilaian sang manajer padanya.

"Mulai besok kamu nggak usah kerja di sana lagi," kata Devan setelah mereka baru saja melintasi jalan raya.

Sontak Tari langsung menoleh mendengar ucapan frontal itu. "Kenapa?"

"Kamu bikin aku malu."

"Malu? Malu kenapa?

Devan tersenyum miring. "Kamu itu bodoh atau gimana sih? Kamu mikir nggak siapa aku? Apa pantas istri seorang pengusaha ternama kerja sebagai karyawan biasa?"

"Menurutku, pantas saja. Pekerjaanku itu halal, jadi kenapa harus malu?" balas Tari. Dia mempunyai pemikiran yang berbeda dengan Devan. Tari tidak mungkin berhenti bekerja. Kalau dia resign, otomatis dia tidak akan memiliki penghasilan lagi. Lantas, bagaimana hidupnya? Setidaknya, dia harus memiliki pegangan untuk diberikan setiap bulan pada orang tuanya. Seperti yang selama ini dia lakukan. Lagi pula, kalau dia berhenti bekerja, itu artinya dia akan bergantung sepenuhnya pada Devan. Dan tahu sendiri kalau orang tua Devan, lebih tepatnya Melanie, tidak menyukai Tari. Pasti pikiran piciknya yang menganggap Tari menikah dengan Devan hanya karena harta akan semakin menjadi-jadi.

"Tari, mengertilah, posisikan diri kamu sebagai istriku. Tolong jaga nama baikku."

Menjaga nama baik katanya? Sedangkan, dia sendiri tidak menjaga nama baiknya. Lalu, kenapa harus Tari yang memiliki kewajiban itu?

Devan lalu mengambil ponsel dari dalam saku dan mencari kontak seseorang, lalu meneleponnya. "Arga, mulai besok Tari akan bekerja di tempat kamu. Siapkan segala sesuatunya. Paham?"

Tari masih terheran-heran saat Devan menutup telepon. Dari percakapan singkatnya di telepon, Tari menyimpulkan kalau Devan baru saja menelepon Arga, sahabatnya, dan menyuruh Tari bekerja di sana. Tapi, kerja apa? Tari tidak mempunyai banyak informasi mengenai Arga.

"Tari, mulai besok kamu kerja di perusahaan Arga, Bagas akan mengantarkan kamu dan memberitahu tempatnya."

"Tapi nggak mungkin secepat itu, Dev... Kontrak kerja aku masih panjang. Aku nggak mungkin resign gitu aja."

"Kenapa nggak? Kamu takut kena penalti? Kamu nggak usah pikirin itu, aku yang akan bayar semuanya."

Memang itu yang dikhawatirkan Tari, tapi semua ini terlalu cepat baginya. Lagi pula, Tari masih betah bekerja di tempatnya sekarang.

"Belok di depan, Gas!" perintah Devan pada Bagas.

Bagas mengangguk pelan dan melaksanakan perintah Devan. Mereka memasuki halaman sebuah butik.

"Kita ngapain ke sini?" tanya Tari bingung. Semua ini belum jelas baginya.

"Kita beli baju untuk kamu. Nanti malam ikut aku dinner."

"Tapi bajuku masih banyak, Dev..."

"Sudahlah, Tari, nggak usah banyak protes. Kamu jangan bikin aku malu."

Tari tertegun. Apa benar dia sudah membuat Devan malu selama ini? Tapi, kenapa? Tari berpikir sendiri. Baju-baju yang dia miliki mungkin bukan baju-baju branded. Tapi, Tari lumayan modis dan pandai mix and match pakaian.

"Ayo, turun!"

Kalau saja Devan tidak menyergahnya, mungkin Tari masih akan terus termangu di mobil. Perempuan itu lalu mengikuti Devan masuk ke dalam butik.

"Selamat sore, Pak Devan!" Gadis cantik penjaga butik menyapa Devan dengan ramah.

"Sore!" balas Devan sekenanya. "Yanti, tolong carikan gaun malam yang paling mahal dan paling bagus," lanjutnya. Sepertinya memang tidak ada istilah basa-basi dalam kamus hidup Devan.

Yanti melirik Tari yang kini sudah berdiri di sebelah Devan. Lalu, mengamatinya dengan pandangan menilai dari atas kepala hingga telapak kaki.

Dipandangi seperti itu tentu saja Tari menjadi risih. Dia melempar senyum pada Yanti yang menurut Tari sudah kenal lama dengan Devan. Buktinya, suaminya itu tahu nama sang penjaga butik adalah Yanti.

"Bajunya buat Mbak ini, Pak Devan?" tanya Yanti setelah puas mengamati Tari.

"Iya," jawab Devan singkat. Dia sudah tidak sabar ingin pergi dari sana.

"Baik, Pak. Tapi tumben Pak Devan nggak sama Mbak Aurel? Udah lama banget Mbak Aurel nggak ke sini."

Ucapan Yanti membuat wajah Tari berubah. Begitu mengagetkannya. Tapi setidaknya, dia jadi tahu bahwa Devan dan kekasih tersayangnya itu sering ke sini. Mungkin mereka berbelanja bersama dan Devan akan memilihkan mana gaun yang cocok untuk Aurel, lalu membayarnya, tentu saja.

"Dia sedang sibuk, jadi belum sempat ke sini," jawab Devan sambil mengembangkan senyum, tanpa rasa sungkan menyampaikannya di depan Tari.

"Oh, gitu ya, Pak." Yanti balas tersenyum, lalu menunjukkan pada Tari koleksi baju-baju mahal di butik itu. "Yang ini kayaknya cocok sama Mbak-"

"Tari," sambung Tari melanjutkan kalimat Yanti yang ingin tahu namanya.

"Oh iya, Mbak Tari. Ini baju yang paling mahal dan bagus di sini, Mbak. Gaun ini limited edition, cuma ada satu." Yanti menjelaskan sembari menunjukkan gaun berwarna merah pada Tari.

"Boleh saya coba dulu?" tanya Tari.

"Tentu saja boleh, Mbak, silahkan!" Yanti menunjukkan letak fitting room pada Tari.

Tari masuk dan mengganti pakaian kerjanya dengan gaun itu. Dan, kini Tari memandangi dirinya di cermin. Gaun itu memang panjang, tapi belahannya tinggi jauh di atas paha. Lebih tepatnya, di kaki bagian kiri. Gaun itu juga melekat dengan sangat indah di tubuh Tari. Dengan tinggi tubuh 175 sentimeter, kakinya terlihat jenjang sebagai efek dari belahan gaun itu.

"Mbak Tari, gimana?" Yanti mengetuk pintu fitting room. Tari pun keluar dari sana. "Cantik, Mbak," puji Yanti tulus setelah sesaat tertegun melihat Tari yang terlihat berbeda dari saat awal dia datang tadi dengan pakaian kerjanya yang tidak lagi licin.

"Serius?" tanya Tari tidak yakin. Dia merasa kurang percaya diri awalnya.

"Iya, Mbak, serius. Kalo kayak gini Mbak Aurel kalah deh," celetuk Yanti membandingkan Tari dengan kekasih Devan.

Tari tersenyum kecut. Kenapa dia harus dibandingkan dengan perempuan itu?

Tari masih termangu ketika Devan muncul di hadapannya. Rupanya Yanti memanggil Devan sesaat yang lalu, kala Tari membayangkan Aurel.

Devan terpaku di tempatnya berdiri. Tari terlihat memukau dengan gaun merah panjang, berpotongan lurus dan simpel, tapi terlihat elegan. Dan, pahanya yang mulus terekspos dengan jelas. Devan melihatnya dengan bebas. Cantik dan seksi, puji Devan. Tapi, tentu saja hanya di dalam hati dia mengungkapkannya.

"Gimana, Dev?" tanya Tari meminta pendapat Devan.

"Biasa aja. Ya udah, yang itu saja. Nggak usah lama-lama," putus Devan. " Oh iya, Yanti, kalo di sini ada jual peralatan make up tolong dandani dia sekalian," sambung Devan pada Yanti.

"Baik, Pak, ada kok," sahut Yanti sigap.

"Nggak usah, aku dandan di rumah saja," tolak Tari. "Aku juga belum mandi."

"Jangan membantah Tari, jangan membuatku malu. Mandinya nanti saja," ujar Devan.

Tari ingin melawan. Tapi, dia tahu tempat, ini bukanlah tempat yang tepat untuk berdebat. Akhirnya, dia pun mengalah. Untuk kali ini.

====

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang